Friday 25 January 2008

Pilar-Pilar Mimpi

Aku tertegun. Jawaban sensei (dosen pembimbing) berputar di luar dugaan. Hasil percobaan yang negatif, membuatku harus mengulang semuanya dari awal. Kerja keras selama ini harus bisa diulang sekali lagi dalam waktu kurang dari satu bulan, dengan metode lain. Presentasi terlanjur dijadwalkan pada akhir Februari.

"Ya sudah. Terpaksa. Ujian akhir sudah dekat, percobaan diakhiri sampai di sini saja. Silakan konsentrasi untuk ujian," kata-kata ini yang sebenarnya aku inginkan. Jawaban yang bisa membuat segala beban yang terasa menghimpit lepas bebas. Tapi kenyataan tidak semanis itu.

Kecewa? Kalau aku mengatakan tidak, bohong jadinya. Saat seperti inilah aku kembali memutar pita memori yang mulai kusut. Mencoba meraba pahatan-pahatan tekad saat aku memilih kuliah di negeri ini.

Saat duduk di bangku SMA, tak ada teman yang mengajakku bermimpi. Ah, ada satu. Dia menanyakan apa yang aku inginkan di masa depan. Aku mencari-cari dalam kepalaku, namun aku tak menemukan kata-kata. Bahkan kata pun enggan muncul saat aku hendak mengajak memetakan masa depan. Dia memilih pergi bersama angan yang mengambang.

"Apa?" kawanku kembali bertanya.
"Aku ingin kuliah di luar negeri."
"Kuliah bidang apa? Apa yang ingin kau dalami?"
"Hmm, apa ya. Aku belum tahu..."


Dia diam, sepertinya kehilangan pijakan untuk merangkai kalimat berikutnya. Mungkin kawan itu berpikir kalau aku ini lelaki tanpa mimpi. Ya, batas masa depan dalam benakku waktu itu ada saat kelulusan sekolah. Dua tahun. Itu yang menjadi batas impian masa depanku. Impian yang bahkan buram tanpa wujud yang jelas.


Waktu kecil, aku bisa menjawab dengan senyuman yang mantap untuk pertanyaan serupa.
"Ingin jadi presiden!"
"Aku ingin menjadi dokter!"
Setelah bertemu seorang paman aku punya jawaban baru,"Ingin jadi insinyur!"
Saat lewat bandara Maospati aku spontan berkata, "Ingin seperti Habibie, bisa bikin pesawat! Ntar aku bisa mengantar ibu naik haji!"
Ketika bertemu pengamen di lampu merah, aku berbisik "Aku ingin menjadi Menteri Pendidikan. Aku bisa bikin sekolah gratis sampai SMA supaya gak ada anak-anak yang jadi pengamen."


Tanpa aku tahu seberapa banyak biaya yang diperlukan, tanpa paham seberapa besar usaha yang dilakukan, waktu kecil aku punya mimpi yang lebih besar dari sekedar ingin kuliah dengan bidang yang belum terbayang. Apakah menjadi dewasa itu demikian rumit, hingga aku takut bermimpi lagi?


Dua tahun kemudian, mimpi kecilku terwujud. Aku mendapat kesempatan untuk kuliah di luar negeri, kuliah di Jepang yang menjadi impian beberapa kawanku yang lain. Pada hari pengumuman kelulusan, tiba-tiba aku teringat pertanyaan itu dalam sujud syukurku. Apa yang kau inginkan di masa depan? Aku harus mencari jawaban baru. Jawaban yang bisa memuaskan si penanya dan hati kecilku.


Aku membaca sebuah artikel tentang Jepang. Bagaimana penetapan kebijakan target dalam perusahaan Jepang? Ternyata sama sekali terbalik dengan pola pikirku waktu itu. Mereka menetapkan target besar dalam jangka panjang. Setelah itu, ditetapkan target-target kecil dengan jangkauan waktu yang lebih singkat. Misalnya, Menghubungkan Tokyo-Osaka dalam satu jam. Target waktunya 20 tahun. Dari situ dibuat target mundur ke belakang, 19 tahun lagi sudah dilakukan uji coba, 18 tahun lagi kereta rampung dan relnya terbangun, 5 tahun lagi material tercukupi, satu tahun lagi rencana jalur, model, dan sistem jadi, terus mundur hingga muncul apa yang harus dilakukan pada masa yang disebut sekarang.


Bandingkan dengan pola pikirku dulu. Setelah lulus SD, masuk SMP. Lulus SMP, lanjut SMA lalu kuliah. Lulus kuliah lalu kerja, punya anak, hidup bahagia. Target-target sederhana yang nyaris tanpa mimpi. Tak ada keinginan spesifik yang muncul. Target yang bisa digapai hampir semua orang, tak ada sesuatu yang khusus, sesuatu yang hanya bisa dilakukan olehku.


Akan seperti apa kehidupanku saat berusia 25 tahun nanti? Bekerja? Lanjut S2 atau S3? Perlukah aku ijzah kelulusan untuk mencapai mimpiku? Hmm, aku tersadar untuk membangun pilar mimpi yang lebih kokoh. Pilar yang menyangga bayangan kehidupan di masa mendatang.
Aku ingin punya perusahaan perkebunan pada usia 35, misalnya, bagaimana mewujudkannya? Perlukan aku lulus kuliah yang sekarang? Apa yang perlu aku lakukan untuk persiapan? Bagaimana kalau gagal? Perlukah membuat mimpi kedua, ketiga, keempat,...?


Semakin banyak pilar mimpiku, semakin kuat pula semangatku, semakin kokoh bangunan kehidupanku. Di sini, di negeri ini aku sedang menuntut ilmu untuk masa depanku. Bukan untuk gelar atau ijasah. Ilmu yang harus bisa bermanfaat, ilmu yang yang didapat untuk memperoleh ridho Allah. Bukan untuk uang, ketenaran, pangkat, jabatan, atau kekuasaan. Untuk mencapainya jalan yang harus aku tempuh masih panjang. Yah, mengulang percobaan bukanlah hal yang besar dibandingkan itu semua. Aku tak ingin tersandung rasa kecewa.
Ya Allah mudahkanlah langkah ini. Aku harus lulus dari sini untuk bisa berlari menuju impian itu. Tak ada sesuatu terjadi dengan kebetulan. Keberadaanku di negeri ini pasti ada maksud Allah dibalik ujian, cobaan, tempaan, binaan, yang aku temui melalui perpanjangan tangan-Nya. Semoga aku bisa memetik hikmah. Kembali ke niat, kembali pada tekad, kembali membangun pilar-pilar mimpi. Setidaknya aku merasa mampu berpikir lebih jernih esok hari.

No comments: