Saturday 15 March 2008

pasca wisuda

Upacara pengukuhan kelulusan berlangsung dengan khitmad selama 3 jam. Untung saja kami tidak harus bertahan dalam "posisi sempurna" ala baris-berbaris selama tenggang waktu itu. Kursi Balai Budaya Kota Hitachinaka cukup empuk menjaga kesadaran saya.

Mungkin sama dengan rangkaian acara wisuda di Indonesia, ijazah kami dibagikan setelah wisuda selesai. Bedanya, tak ada lempar toga (topi?) karena tak seorang pun yang mengenakannya. Kakak saya cukup terkejut karena wisuda di Jepang ternyata tidak identik dengan baju toga.



Begitu semua wisudawan menerima ijazahnya, kami menuju ke salah satu hotel untuk menginap menikmati acara syukuran. Kalau enggan mengakui orang Jepang pun bersyukur, sebutlah acara ini sebagai perayaan kelulusan. Intinya makan-makan. Saya sendiri merasa nyaman, karena :


1. Di Hotel ini ada ruang khusus yang bisa dipakai untuk sholat.
2. Tak ada minuman keras dalam pesta ini.
3. Banyak menu yang bisa saya nikmati.



Pesta ini berlangsung sekitar 90 menit. Kemudian dilanjutkan dengan sya0n-kai, pesta balas kasih. Secara singkat, para wisudawan akan menampilkan drama, lelucon, atau apapun untuk menghibur dosen yang telah mengajarkan banyak hal. Alhamdulillah saya tidak terlibat dalam lawakan jorok. Meski adaaa juga yang tampil dengan tema itu, untungnya hanya satu. Drama komedi yang kami tampilkan (kolaborasi lab Suzuki & Sato) mendapat sambutan yang meriah. Tak ada ruginya kami berlatih, mencari ide, menyiapkan kostum, memoles dialog dan akting selama satu minggu ini. Hehe.



Tapi yang berkesan bukan hanya penampilan kami-kami ini. Saya diingatkan kembali oleh sambutan dosen wali saya. Beliau mengatakan bahwa hasil kerja keras seorang pendidik itu tak ada wujud nyatanya. Berbeda dengan arsitek yang menghasilkan gedung atau jembatan. Berbeda dengan peneliti yang bisa menghasilkan penemuan baru yang "booming". Hasil kerja keras pendidik dapat disaksikan dari anak didiknya. Kebahagiaan anak didiknya. Oleh karena itulah, kebahagiaan anak didik saat berhasil dalam studinya, atau pekerjaannya, atau karirnya, akan menjadi kebahagiaan sang pendidik.


Kadang saya kurang menghargai diri sendiri. Mungkin. Saya sering dipuji oleh beliau, "Kamu begitu bersungguh-sungguh selama belajar di sini! Sebenarnya tak banyak yang saya lakukan sebagai pembimbing." Benarkah? Saya merasa sama sekali jauh dari bersungguh-sungguh. Di tengah jalan, motivasi saya untuk menjadi yang terbaik berbelok untuk meraih nilai A saja. Makanya setiap kali dipuji, saya merasa tak pantas. Saya merasa menipu dosen wali dengan wajah serius yang terlanjur menempel di kepala. Tapi mendengar sambutan beliau di syaon-kai ini, mungkin saya tidak sepenuhnya memberikan kepalsuan kepada beliau. Yah. Saya bahagia selama menempuh pendidikan di sini. Nilai saya memang bukan yang tertinggi, prestasi akademis saya pun hanya sedikit melampaui rata-rata. Biarpun begitu, saya bahagia karena bisa melampiaskan energi saya di bidang yang lain.



Dan hal inilah yang beliau tuliskan dalam pesan untuk saya. Berbeda dengan dosen wali untuk mahasiswa asing lain yang kebanyakan bernada pujian (berlebihan), beliau menuliskan kebimbangan, kekhawatiran seseorang yang pertama kali menjadi dosen wali dan mendapat amanah untuk membimbing seorang mahasiswa asing yang belum diketahui kemampuan komunikasi, adaptasi dan sebagainya. Beliau juga menuliskan hal-hal kecil, obrolan ringan yang pernah kami lakukan, tulisan tangan saya, laporan yang saya kumpulkan, juga kesan tentang masakan yang saya buat sewaktu menginap bersama mempersiapkan festival kampus 2 tahun lalu. Tak ada dibahas sedikitpun tentang nilai atau angka-angka. Hanya jalinan ikatan yang terbangun dalam 3 tahun ini yang dirangkaikan dengan hati.

Dengan itu saja, saya merasa tersanjung dan diperhatikan. Ternyata bukan angka-angka yang saya raih, hal yang membuat beliau berbangga. Prestasi saya dalam beradaptasi, kelancaran saya dalam studi, keberhasilan saya mendapat perpanjangan beasiswa, ketenangan saya saat mendapat kepastian tempat tinggal, ternyata hal-hal ini lebih menentramkan dibandingkan nilai yang tertera dalam selembar ketras yang dibagikan tidap akhir semester. Saya tersenyum saat membaca tulisan itu di buku kenangan. Tak ada pujian yang bertaburan. Hanya kesan keseharian sederhana yang ada. Saya suka. Saya bahagia karena saya dikenal bukan melalui angka. Begitu berbeda dengan pikiran dangkal saya dulu bahwa ukuran bangga bisa ldilihat dari nilai. Sekali lagi kesalahan pikiran ini saya rasakan begitu bergejolak.

Gejolak di batin saya masih ditambah dengan bisikan, "Sunu, di Nagoya pun berusaha dengan sungguh-sungguh yah!" dalam rangkulan beliau di penghujung syaon-kai. Saya sempat menyaksikan bulir bening berjatuhan dari kedua mata beliau. Ada ketulusan di sana. Dengan itu saya pun mendapat suntikan semangat baru untuk benar-benar berusaha sekuat tenaga, agar tak ada penyesalan dan kekecewaan yang terbentuk karena tindakan setengah-setengah. Terima kasih dosen waliku, terima kasih, Miyashita sensei! Maaf selama ini saya kurang belajar dengan sungguh-sungguh. Maaf di tahun terakhir saya hanya berpikir untuk memenuhi persyaratan minimal untuk lulus. Maaf, terima kasih banyak, dan sampai jumpa...


3 comments:

Anonymous said...

subhanAllah...

Anonymous said...

Maaf yang tadi belum selesai.., Just Call me Ano.., terima kasih..banyak pelajaran yang saya dapat dari anda.., sekali lagi terima kasih

# sunuhadi # said...

Sama-sama ^_^