Tuesday 29 April 2008

Runutan Boga

Akhir pekan kemarin, saya diajak ke rumah seorang senior yang bakal kedatangan tamu, kawan lama dari Tokyo. Persiapan pun dilakukan : pengosongan perut. Hihi... Maksudnya sih supaya empunya rumah senang kalau hidangan yang disajikan disantap dengan lahap. Bukan begitu?

Namun ternyata ada hal lain yang menarik perhatian saya untuk ditelaah lebih lanjut. Selain saya, hadir pula rekan lain dari Surabaya, Yogya, Jakarta, Padang, errm... bisa dikatakan kami berasal dari daerah yang berbeda di Indonesia. Lalu apa yang menarik? Kebiasaan makan, lebih spesifik lagi urutan makan. Kenapa? Hmm, saya sudah bersilaturahmi ke beberapa rekans Indonesia yang di Jepang, dan dari lawatan itu saya mempelajari pola makan mereka. Oopss...saya melakukan pengamatan tanpa ijin. Tapi boleh, khan?


Kebetulan seorang sahabat mengingatkan tentang kebiasaan makan kami Ramadhan tahun lalu. Buka puasa langsung dikebut sampai kekenyangan. Memang sih berhubungan dengan pola makan, tapi kali ini bukan, bukan itu. Dia membaca sebuah bab tentang adab makan dalam buku yang ditulis oleh Ibnu Qudamah berjudul Minhajul Qaashidin. Isinya cukup mencenangkan karena bertolak belakang dengan kebiasaan makan selama ini. Dalam bab tersebut ditulis bahwa salah satu adab menghidangkan makanan adalah menghidangkan buah-buahan sebelum yang lain.

Beliau berargumentasi pada ayat al Qur'an surah al Waqi'ah ayat 20-21 yang menyatakan bahwa di surga buah-buahan dihidangkan terlebih dahulu sebelum daging (burung) itu "Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan".

Dari segi iptek sendiri, rasa lapar kenyang sebenarnya terkait dengan kadar gula dalam darah. Saat konsentrasinya melewati batas minimal, itu saat kita merasa lapar. Sayangnya batas atas untuk menyatakan kekenyangan kadang kabur oleh semangat mengisi perut hingga puas. Apa hubungannya dengan kebiasaan makan? Sebenarnya kita bisa memanipulasi rasa kenyang dengan mengatur urutan menu dalam makanan.


Berikut rangkuman dari bahan yang saya baca, dengar, atau saksikan :

1. Awali makan dengan berdoa. Menu pertama adalah yang mengandung banyak air, untuk mengondisikan perut, bisa buah-buahan, yoghurt, atau sup.
Orang Jepang biasa menghidangkan miso-shiru, sup dari dengan kaldu dari kedelai fermentasi dengan isi beragam : sayur, tahu, rumput laut pertama kali sebelum sajian utama.


2. Lanjutkan dengan makanan yang mengandung banyak serat. Manfaatkan gigi yang masih ada untuk mengunyah. Saya menyaksikan di salah satu TV Jepang (hmm... kebenarannya entahlah), seseorang bisa merasa kenyang dengan mengkonsumsi 200 gram kubis setelah mengunyahnya selama 5 menit. Dikatakan sensasi kenyang juga bisa diperoleh dari seberapa lama rahang digerakkan untuk mengunyah.


3. Akhiri dengan makanan yang disukai untuk menciptakan sensasi kepuasan.
Saya mengamati kalau sebagian besar orang Indonesia langsung menuju ke poin ke-3, langsung ke intinya saja. Belum ditambah penggunakan gula berlebih, konsumsi lemat yang tidak sehat dan menu tanpa pertimbangan gizi yang seimbang. Oke lah, itu tidak bisa disalahkan, tingkat kesadaran penduduk untuk menerapkan pola makan dan hidup sehat masih kalah dengan sibuknya pikiran untuk memenuhi kebutuhan primer. Namun, saya pikir itu hanyalah pilihan. Pola makan sehat bukanlah sebuah pola makan dengan menu mewah yang tidak terjangkau. Sebaliknya, bisa jadi menjadi sebuah solusi menuju pola hidup sehat dan hemat. Kok bisa?

Dengan sedikit mengubah pola makan, menyediakan sup (atau sayur berkuah banyak) dan buah di awal perjamuan, akan membantu mengurangi konsumsi makanan pokok (beras dan lauk). Saya membuktikan dengan melakukan percobaan sendiri. Saat saya langsung makan nasi dengan lauk pauk, saya menghabiskan nasi lebih banyak dibandingakan saat saya mengawali dengan makan buah dan yoghurt terlebih dahulu untuk memperoleh rasa kenyang yang sama.


Sekalian ingat, saat belajar membuat kue eropa akhir maret lalu, saya menyadari bahwa kue erora sangat manis. Kenapa? Karena mereka mengambil gula dari sini. Tak ada gula ditambhakan dalam teh/kopi, tak ada gula dalam resep masakan. Oleh karena itulah kue yang manis menemani saat minum teh pahit. Sama dengan upacara minum teh di Jepang. Teh hijau kental, berbusa dan pahit, disantap dengan kue tradisional yang terlalu manis di lidah saya.

Di Indonesia, sepertinya teh dan kopi belum bisa merdeka dari gula, padahal kita juga makan kue, mengkonsumsi kecap, dan mendapat asupan gula dari menu lain. Hmm, nampaknya untuk mengubah kebiasaan makan yang turun-temurun bukan hal mudah. Kecuali ada kesadaraan tentang pola makan dan hidup sehat.


1 comment:

jemiro said...

hahaha, :) surveinya unik, mengenai pola makan iah, memang tiap orang punya ploa makan yang berbeda, tidak bisa dipakasa, tapi diarakahkan :)
nice info mas