Saturday 2 July 2011

Bulan ke Tujuh

Suhu udara makin menggila menuju puncak musim panas. Keringat diperas.Tangan seolah tak mau berhenti mengipas kipas. Sementara itu, pemerintah Jepang menggalakkan program hemat listrik karena pasokannya turun akibat beberapa PLTN tidak beroperasi normal. Artinya? Pemakaian AC diminimalisir, perusahaan di Toyota group mengubah libur menjadi Kamis-Jumat untuk pemerataan pemakain listrik selama satu minggu, libur musim panas di Nagoya University dipercepat agar mahasiswa cepat enyah dari kampus dan tidak menikmati listrik gratisan. Musim panas ini menjadi yang ke-8 bagi saya, namun tetap saja tidak membuat saya menjadi tahan panas. Produktivitas saya biasanya turun pada bulan-bulan ini. Deuh.

Bulan Tujuh tahun ini bersamaan dengan bulan Sya'ban. Saya buka-buka memori di kepala, sudah saatnya membuat evaluasi menjelang ramadan. Tahun lalu saya menuliskan tentang usia-usia. Tahun ini, apa tema yang tepat yah? Silaturahim? Ehm, dicoba saja.

Tiba-tiba saya teringat seseorang yang kediamannya saya inapi pada musim dingin 2009 di Kyoto. Beliau seorang dosen di ITB dan waktu itu sedang postdoc setelah menyelesaikan S3 dalam bidang Fisika di sebuah universitas lain di wilayah Hokuriku. Orangnya ramah dan tampak selalu ceria. Setelah pulang tengah malam dan pastinya lelah mengantar tamu-tamu (termasuk saya) waktu itu, masih beliau sempatkan sholat lail dengan bacaan yang panjang. Well, tapi bukan ini yang membuat saya terkesan. Bukan ini saja.

Pada saat makan malam, tiba-tiba beliau menceritakan pengalaman masa muda beliau. Saat kecil dan masa kuliah yang penuh perjuangan.

"Saya ke Jepang untuk membayar hutang..." selorohnya. Rupanya beliau menjadi korban penipuan. Seorang kawan beliau meminjam uang, namun karena tak punya, beliau meminjamkannya dari orang lain. Nah, si orang yang ditolong ini tiba-tiba hilang tak ada khabar, meninggalkan beban hutang pada pundak beliau.



"Jangan pernah menunjukkan air mata ke orang tua. Jangan membuat mereka khawatir. Menangis saja di hadapan Allah saat bermunajat dengan-Nya." Beliau bercerita bahwa orang tuanya tidak pernah tahu segala penderitaan dan perjuangan yang beliau lalui. Bahkan orang-orang Indonesia di Kyoto yang saya temui waktu itu sepertinya tak ada yang tahu kalau beliau mempunyai masa lalu yang jauh dari kata gembira. Yah, beliau selalu nampak ceria, menyimpan rapat segala derita dengan canda tawa.

Ada lagi kisah saat beliau harus mencari tambahan penghasilan untuk kuliah di ITB. Menjadi tutor, guru les privat. Murid pertamanya adalah seorang yang cacat. Saat itu kondisi beliau sedang dalam kondisi yang sempet, sesempit-sempitnya. Sedang mempertanyakan kemudahan dari sang Rahman. Lalu beliau dipertemukan dengan orang dengan keterbatasan fisik. Beliau bercerita bahwa sepulang dari rumah murid itu, pikirannya bimbang. Hujan mengguyur Bandung dan sepeda tua beliau rubuh, tubuh beliau telentang menghadap langit. Entah apa yang ada dalam pikiran beliau, yang pasti air mata turut mengalir bersama air hujan yang mengguyur.

"Jangan cerita, yah!"
Saya sendiri hampir lupa dengan beliau hingga melihat sebuah foto acara waktu itu. Saya sendiri masih heran, mengapa beliau tiba-tiba bercerita mengenai masa lalunya? Waktu itu sekilas saya menceritakan tentang kondisi Ayahanda dan mungkin kondisi keluarga kami yang kurang berkecukupan membuka simpul memori dan emosi beliau.

Apa khabar, Pak A**p?

Seorang lagi sudah saya kenal sejak tahun-tahun awal di Jepang. Kebetulan saya seumuran dengan adik laki-lakinya. Si Mbak ini sudah saya anggap sebagai Kakak sendiri dan anaknya yang pertama biasa saya gendong sejak masih bayi. Hmm, sekarang anak itu tumbuh menjadi anak kecil sholihah yang lincah. Si Mbak ini hanya tinggal dua batang kara dengan adiknya, hingga adiknya meninggal tahun lalu. Hidupnya pun penuh perjuangan dan keluarga besarnya sepertinya enggan memberikan bantuan. Sekarang memang si Mbak sebatang kara tanpa keluarga sedarah, tapi kini sudah ada suami dan dua anak lucu-lucu yang menemani sehari-hari.

"Sunu, bersyukur masih bisa merawat Ayah. Mbak sendiri tidak pernah ingat wajah Ayah sendiri..." itu katanya saat saya sedih dengan kondisi Ayahanda.
"Waktu kuliah di Indonesia dulu, saat minta uang 10 ribu aja ke keluarga, tidak pernah dikasih..." itu katanya saat saya capek kerja partime untuk bisa mengirimkan uang ke Indonesia.

Diskusi dengan si Mbak selalu membuka hati untuk bersyukur. Jangan dibutakan kesulitan sesaat yang terkadang membuat futur.

Ya Allah, ternyata masih begitu banyak nikmat yang engkau berikan kepada hamba. Silaturahim sering membuka pikiran, mengingatkan bahwa setiap takdir adalah harus diterima, disabari dan disyukuri.




3 comments:

Igniel said...

subhanallah...
maha besar allah dengan segala keajaiban dan rizki yang ga pernah manusia sangka..

kapan ya Allah mendengar doa saya dan mempermudah saya ke Jepang, sepert mas Sunu...

# sunuhadi # said...

Allah mah Maha Mendengar, insyaAllah Dia selalu memberikan apa-apa yang kita butuhkan, meski kadangkala itu yang bukan kita inginkan.

Keep fighting dalam berdoa!
Selain berdoa, tentunya harus ngumpulin nfo dan bergerak ^_^ insyaAllah jalannya pelan-pelan terlihat

Igniel said...

amin...
saya percaya Allah selalu ngasih jalan yang paling bener buat saya...
mungkin nggak sekarang, tapi ntar. Entah kapan, yang jelas disaat yang tepat.

mudah2an aja saya bisa bertahan sampai saat yang ditunggu itu tiba.