Friday 22 July 2011

Tergampar-gampar

Plak! Plak! Plak!
Saya tergampar-gampar. Seketika.

Kali ini latarnya adalah Islamic Center Nagoya lantai 3. Dasar saya masih suka bermental murid, masih ingin diajari sedikit demi sedikit. Tak sadar dengan usia yang numpuk perlahan menjadi bukit.

Sekali seminggu kami belajar tajwid. Yah, di sini, di dalam masjid. Tiap pertemuan para peserta sibuk berkomat-kamit. Tugas mingguan adalah hafalan Quran yang dibaca pada pertemuan sebelumnya. Cara ceknya? Melanjutkan bacaan Syaikh Ahmad, sang Imam Masjid. Jangan disangka tidak sulit. Kadang-kadang Syaikh Ahmad memulai dari tengah-tengah surat. Penunjukan pun dilakukan acak tak sesuai urutan biarpun kami duduk melingkar. Tuh, khan, saat-saat deg-deg-an di akhir pekan...


Yah, awal-awal dahulu saya masih santai-santai saja karena punya stok hafalan yang lumayan (biarpun cuman se-uprit juga sebenernya, huhu). Tapi kalau tiap minggu satu halaman, bayangkan saja kalau kegiatan ini sudah berjalan selama satu tahun. Yah, benteng hafalan saya kebobolan juga akhirnya. Tiba saatnya untuk menghafal lagi bersama para murid yang lain. Namun jangan disangka semua peserta di sini sudah lancar semua bacaan Qurannya. Ada yang baru belajar a-ba-ta-tsa, ada yang hafiz sejak sebelum datang ke Jepang, ada yang lancar membaca tapi tajwidnya belum purna. Levelnya macam-macam. Ada yang stok hafalannya msih melaju lebih cepat dibanding 1 halaman/minggu, ada pula yang terseok-seok, ada pula yang ketinggalan.

Nah, ini yang membuat saya tergampar-gampar. Seorang Jepang yang menjadi muslim baru 7 tahun, sekarang sudah lancar membaca Al Quran dan paling istiqomah dengan hafalan per minggu satu halaman.

Plak! Plak! Plak! Saya tergampar-gampar. Seketika, setiap kali bertemu dengannya.

Tujuh tahun. Secara kasar, dia menjadi muslim hampir bersamaan dengan kedatangan saya di Jepang. Dia belajar islam dari nol. Belajar membaca huruf hijaiyah dari awal. Belajar bacaan sholat pun dari dasar. Hmm, kisahnya berkesan seperti cerita Hafalan Shalat Delisa (link untuk donlot ebook-nya, gratis kok).

Kalau saja niat untuk berinteraksi dengan Al Quran itu kuat sejak menapakkan kaki di Jepang, mungkin sekarang saya sudah hafal 30 juz, bukan juz 30. Hikz.Pertemuan dengan seorang sahabat mengingatkan untuk menguji kemampuan hafalann kita. Fungsinya? Untuk memproyeksikan target hafalan. Misalnya, kalau dalam sehari kita bisa menghafal satu ayat saja, berarti kita bisa menjadi hafiz 30 Juz Al Quran dalam 18 tahun. (Eh, lama amat yak... ). Itu kalau satu ayat loh. Ada sebuah kisah dimana seorang nenek memulai menghafal Quran pada usia 75 tahun dan beliau khatam hafalannya pada usia 82 tahun (artinya sang nenek ini jadi hafizah dalam 7 tahun). Ini seorang nenek loh! Masak kita yang muda dengan ingatan dan kapasitas otak yang belum terisi penuh mau kalah? Masak mau kalah dengan kawan Jepang saya yang 7 tahun lalu masih buta huruf arab?

Tuh, khan?! Bagaimana tidak tergampar-gampar seketika?!
Cek kemampuan ingatan anda sekarang juga. Mumpung masih ada waktu beberapa hari sebelum bulan suci tahun ini. Ups. Mumpung ada jatah umur yang masih diberi...

Tapi perlu diingat pula bahwa sumber hukum dalam islam bukan hanya Al Quran:





Jadi? Selain Al Quran masih ada hadits yang patut dipelajari juga! Huaaa~~ PR nya nambah lageeeeeeeeeeee~~~~

*reminder buat diri sendiri yang sudah tergampar-gampar sampai berdarah-darah kok yah masih saja bandel. hiks hiks. Ampun ya Allah, nanti saya mau jawab apa kalau ditanya kok hafalann kamu segitu-gitu saja. *

1 comment:

Feranisa Prawita Raras said...

Inspiratif, mas. Saya juga tergampar-gampar.