Friday 21 November 2014

[Catatan Keluarga] Suamiku, Apakah Rejeki Kita Barokah? (1)

Ambil napas dulu. Sudah 3 tahun berlalu dan sekarang Allah begitu banyak memberikan pembelajaran tentang kekurangan saya sebagai seorang suami. 

Fyuh. Baiklah. Sekarang kembali fokus untuk membina dan mengarahkan bahtera yang tengah kami naiki agar bisa berlabuh dengan selamat dan barokah. Rejeki Barokah? Betul. Judul posting kali ini adalah sebuah pertanyaan yang diajukan belahan jiwa kepada saya. Jawaban iya atau tidak meluncur tidak dengan spontan dari lisan ini. Saya harus berpikir. Saya harus melakukan evaluasi. Lagi. 

  "The effects of the collonial infiltration of the western mind-set into the belief system of Muslims in Southeast Asia is clearly in evidence today ... regarding Islam as a religion of rituals than of spiritual or moral substances... Muslim in name only, they are conscious of their faith but not their responsibilities as Muslims. Others, in contrast, seemed to be obsessed with the rituals promulgated in the five pillars of Islam without fully understanding the underlying Islamic values and still others have tended to rationalise their actions as dharurat (which allows exceptions to matters that are normally disallowed). The last mentioned type probably represent a popular "escape" route for the otherwise conscientious Muslims, especially in the case of Southeast Asian Muslims who are not operating in an Islamic economy" (Willet & Sulaiman, 2001, American Journal of Islamic Social Sciences  p 80). 

Saya terdiam namun pikiran ini melesat. Istri tercinta bertanya tentang barokahnya rejeki yang kami terima. Gaji saya. Saya paham bahwa istri saya tidak berterus terang bahwa jatah gaji bulan ini sudah nyaris terpakai semua. Saya juga mengerti bahwa ini baru memasuki minggu kedua setelah tanggal gajian. Jadi, apakah hal ini menjadi indikasi bahwa rejeki kami kurang barokah karena kami terancam kesulitan menyambung hidup setengah bulan ke depan? 

 Dalam sitiran di atas, sekarang ini terlihat jelas bahwa sebagai akibat masuknya pola pikir barat, muslim di Asia Tenggara tinggalah nama (termasuk Indoensia tentunya). Mereka paham mengenai konsep keimanan tetapi tidak sadar akan tanggung jawab sebagai muslim. mereka terlalu fokus untuk pelaksanaan rukun islam secara ritual tanpa memahami value di dalamnya. Sebagian lain menilai beberapa tindakan  adalah karena kondisi darurat untuk melegalkan pilihan, dimana pada kondisi normal haram dilakukan. Hal ini terjadi apada negeri dimana ekonomi islam tidak beroperasi.

Saya menggaris bawahi tidak beroperasinya sistem ekonomi islam dan mencoba mengaitkan dengan kebarokahan rejeki. Well, mungkin ada baiknya  juga saya baca dulu buku lapis-lapir keberkahan karya Salim A. Fillah. 

Ada ulama yang menyatakan bahwa ciri rejeki yg barokah itu membuat penerimanya merasa cukup, tenang dan harta tsb bermanfaat. Istri saya rajin mencatat pengeluaran utk evaluasi bulanan. Selama ini saya percaya bahwa kebutuhan kami bisa tercukupi dengan gaya hidup saat ini. Kami juga sepakat utk menghindari riba dan semaksimal mungkin membersihkan harta kami dari hak orang lain di dalamnya. 

Lebih kurang setengah tahun ini kami hidup dari seperempat gaji saya. Hampir 50% kami alokasikan utk rencana masa depan. 15 persen sisanya untuk menyokong kerabat. Dari 2.5% kami sisihkan utk zakat, 7.5 persen adalah jatah bulanan utk silaturahim dan rekreasi biarpun hanya cukup untuk tol dan bensin saja sebenarnya. Jatah ini pun seringkali habis untuk hal mendesak lain seperti biaya kesehatan atau maintenance aset. Jadi sebenarnya, saya harus menghargai istri saya yang tetap bisa mempertahankan gaya hidup meski dengan alokasi dana yg jauh lbh kecil dibandingkan 6 bulan yg lalu. Well done, honey. 

Dan sungguh, saya merasa Allah mencukupkan rejekinya terhadap kami. Saat kami mendapat informasi bahwa seorang kerabat sedang sakit dan dirawat, kami berniat utk menjenguknya. Saat itu sudah tidak ada alokasi dana tersisa, tinggal jatah makan dan uang transport harian saya ke kantor. Tapi H-1 rencana menjenguk, saya menemukan uang di saku celana. Jumlahnya pas utk ongkos tol dan membawa buah tangan seadanya. 

Cerita lain saat saya harus ke Bandung dan belum mendapat tiket di hari-H. Saya sudah memutuskan utk naik bus dr Jakarta, namun iseng ngobrol dg seorang teman, dia juga mau ke Bandung dg travel dan mengajak saya barengan. Nekad go show dan antri waiting list, ternyata saya jd org terakhir yg bisa naik travel. Alhamdulillah. 

Saat hendak kembali ke Jakarta, tiket travel pagi dan kereta pun sudah habis terpesan. Saat pesan lewat indomaret, tinggal 1 tiket tersisa dan sudah tidak bs diproses. Akhirnya saya lgs ke stasiun dan mendapat tiket terakhir ke Jakarta. Alhamdulillah. Kemudahan dari Allah bukankah merupakan wujud rejeki pula? 

Kesimpulan sementara, insyaAllah rejeki kami barokah. Biarpun gaji yang masuk segera terbagi ke pos-pos kebutuhan dan kewajiban, setiap kali ada keperluan Allah membukakan jalan. Dalam 3 tahun ini, saya merasa bertambah sayang dengan sang belahan Jiwa dan nampaknya harus mulai mengurangi ketergantungan (biar gak terlalu manja sama istri, huehehe) sehingga akal dan qolbu tidak  membatu. Semoga kami tetap dikuatkan hati, pikiran dan raganya untuk membesarkan anak dan mengelola keluarga tanpa riba serta bisa menjaga kebarokahan rejeki plus on-track menuju taqwa.


ReAD MoRE・・・

Setahun Terlewati, Ongkos Naik Lagi.

Dalam suasana kenaikan biaya hidup seiring naiknya harga bbm subsidi, ada hal-hal yang menyejukkan hati.

1. Sepasang renta penjual nasi di sekitaran Senayan. Suatu siang saya digratiskan makan siang karena mereka tidak punya kembalian. Padahal uang sekian ribu rupiah itu lebih berharga untuk menambah modal berjualan keesokkan hari karena nilainya yang tak sampai ongkos tranposrtasi saya dalam sehari. Batin saya gerimis. Mereka keukeuh menolak uang dari saya meski saya katakan besok atau kapan-kapan bisa diambil kembaliannya. Mereka inilah orang-orang yang tidak kalah dengan edannya jaman. 

Saya lebih suka makan di warung rakyat sambil ngobrol seputar kehidupan di Jakarta daripada tempat makan berbau asing. Heum, sebenarnya lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang, kemana dan untuk apa harta dihabiskan. Atau... sensitivitas saya terhadap palakan pendapatan bernama pajak yang  belum meyakinkan saya dikembalikan secara optimal untuk rakyat kecil. Mendingan langsung saya putar dan dimanfaatkan langsung oleh rakyat kecil (menurut definisi subyektif saya tentunya).  PPh saya tahun lalu bisa digunakan untuk membeli  hampir 9000 bungkus nasi pecel, tapi entah dipergunakan untuk apa saja. Well, masalah Pajak ini insyaAalah akan dibahas di lain posting.

2. Ojeg langganan di stasiun Kebayoran. Biarpun langganan, saya tidak membayar sekaligus untuk satu bulan karena terkadang ada tugas ke luar kota (atau luar negeri hehe).Saya sering terbantu karena mereka siap sedia mengantar saya juga dari kantor menuju stasiun atau halte bus alternatif ke BSD di saat gawat (hujan badai, trans BSD over kapasitas, kereta mogok, dll). Sampai saat ini mereka tidak menaikkan tarif. Saya selalu memberikan uang lebih tapi selalu dikembalikan. Mereka juga termasuk golongan yang tidak (belum?) memanfaatkan momen kenaikan harga BBM ini untuk mendongkrak pendapatan. Kebalikannya ojeg di BSD (yang menurut beberapa orang tarifnya paling mahal se Tangerang Selatan, hehe) otomatis menaikkan tarif 2000 rupiah sekali jalan. Trans BSD juga naik 2000 rupiah (sekarang 16 ribu sekali jalan).

 Oktober 2013, ada kenaikan biaya transportasi juga sekitar 30%. Beberapa taksi resmi mengumumkan kenaikan tarif seiring dengan diberlakukannya tarif jalan tol yang baru. Tarif ojeg sendiri naik 50% saat itu. Tarif angkutan umum naik sekitar 25%. Di tambah efek kenaikan BBM per 18 Nopember 2014, berarti dalam satu tahun ini sudah terjadi lompatan biaya tranportasi sebesar 60-70%. Padahal gaji saya tidak naik 70%. Dengan kata lain dengan kenaikan gaji sekitar 10% saja, saya lebih miskin di bandingkan tahun lalu karena daya beli menurun.

Pesimisme ataupun sikap skeptis terkadang menjadi kekuatan menuju kebaikan. Bagi saya, kemakmuran rakyat (termasuk keluarga kecil kami) sulit dicapai bila mengandalkan pemerintah (politisi) saja. Justru pemerintah berperan memiskinkan rakyat dengan menarik pajak dan mempergunakannya dg tidak produktif, bahkan menggerus nilai mata uang dengan ketidakbijakan paksa yang diimplementasikan dan harus dipilih oleh rakyat ataupun penghilangan income negara potensial dan aset generasi masa depan. Tsaaah. :p Intinya agar tidak dikerjai poliTIKUS (dan anteknya) sebisa mungkin menghindari pengaruhnya dalam kehidupan. Misalkan tidak mudah percaya dengan angka ataupun pernyataan yang dikontrol, peroleh data yg muncul sebagai hasil mekanisme pasar. Kuasai aset dan kekayaan sendiri. 

Dalam bidang keuangan, pemerintah melalui BI menyatakan tingkat inflasi, tingkat suku bunga, bla blah. Urgh. Ogah kena jebakan bunga kredit. Naik gaji lebih dr inflasi (yang angkanya ditetapkan pemerintah)? Inflasi riil jauh lebih besar. 

 Tindakan yang mungkin : 
1. Tidak (seumur produktif) menjadi karyawan perusahaan, pendapatan dipotong pajak di luar kontrol, kenaikan gaji dipengaruhi tingkat inflasi yang nilainya diminimalisasi. 
2. Tidak menyimpan uang berlebih di Bank. Tarik tunai kena biaya, cek saldo kena biaya. Menjadikan rakyat kecil punya akses ke Bank? Mereka belum tentu layak dianggap calon debitur. Npwp blom tentu punya, mesin atm entahkah ada di lingkungannya. Uang disimpan, 5 tahun kemudian nilainya turun jd setengahnya. Wedew. 
3. Tidak membiasakan pakai barang subsidi untuk aset pribadi. Nampaknya ini wujud revolusi mental, mental gratisan jd mental mandiri. Punya mobil pribadi bbm subsidi itu tidak keren sama sekali. Pakai LPG 3 kg padahal bisa mengalokasikan penghasilan untuk konsumsi kredit ilusi jutaan rupiah selama bertahun-tahun, apatah patut dipuji?

Saya setuju penghapusan subsidi yang tidak tepat sasaran dan menjadi beban. Namun selama rakyat masih terus dihisap darahnya untuk menggaji para poliTIKUS, entah kapan kemakmuran yang merata itu bisa terwujud. Pada saat harga minyak mentah dunia trennya turun, menghapus subsidi tidak sama dengan menaikkan harga. Tanpa subsidipun, bisa jadi harga gasoline RON88 tidak perlu naik. Saya gagal paham kenapa budget untuk subsidi tidak bisa dialihkan ke sektor prioritas lain saat harga minyak turun, dan harga bbm yang (tidak perlu disubsidi lagi) justru naik. Semoga segera menemukan pencerahan tentang hal ini.


ReAD MoRE・・・