Friday 21 November 2014

Setahun Terlewati, Ongkos Naik Lagi.

Dalam suasana kenaikan biaya hidup seiring naiknya harga bbm subsidi, ada hal-hal yang menyejukkan hati.

1. Sepasang renta penjual nasi di sekitaran Senayan. Suatu siang saya digratiskan makan siang karena mereka tidak punya kembalian. Padahal uang sekian ribu rupiah itu lebih berharga untuk menambah modal berjualan keesokkan hari karena nilainya yang tak sampai ongkos tranposrtasi saya dalam sehari. Batin saya gerimis. Mereka keukeuh menolak uang dari saya meski saya katakan besok atau kapan-kapan bisa diambil kembaliannya. Mereka inilah orang-orang yang tidak kalah dengan edannya jaman. 

Saya lebih suka makan di warung rakyat sambil ngobrol seputar kehidupan di Jakarta daripada tempat makan berbau asing. Heum, sebenarnya lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang, kemana dan untuk apa harta dihabiskan. Atau... sensitivitas saya terhadap palakan pendapatan bernama pajak yang  belum meyakinkan saya dikembalikan secara optimal untuk rakyat kecil. Mendingan langsung saya putar dan dimanfaatkan langsung oleh rakyat kecil (menurut definisi subyektif saya tentunya).  PPh saya tahun lalu bisa digunakan untuk membeli  hampir 9000 bungkus nasi pecel, tapi entah dipergunakan untuk apa saja. Well, masalah Pajak ini insyaAalah akan dibahas di lain posting.

2. Ojeg langganan di stasiun Kebayoran. Biarpun langganan, saya tidak membayar sekaligus untuk satu bulan karena terkadang ada tugas ke luar kota (atau luar negeri hehe).Saya sering terbantu karena mereka siap sedia mengantar saya juga dari kantor menuju stasiun atau halte bus alternatif ke BSD di saat gawat (hujan badai, trans BSD over kapasitas, kereta mogok, dll). Sampai saat ini mereka tidak menaikkan tarif. Saya selalu memberikan uang lebih tapi selalu dikembalikan. Mereka juga termasuk golongan yang tidak (belum?) memanfaatkan momen kenaikan harga BBM ini untuk mendongkrak pendapatan. Kebalikannya ojeg di BSD (yang menurut beberapa orang tarifnya paling mahal se Tangerang Selatan, hehe) otomatis menaikkan tarif 2000 rupiah sekali jalan. Trans BSD juga naik 2000 rupiah (sekarang 16 ribu sekali jalan).

 Oktober 2013, ada kenaikan biaya transportasi juga sekitar 30%. Beberapa taksi resmi mengumumkan kenaikan tarif seiring dengan diberlakukannya tarif jalan tol yang baru. Tarif ojeg sendiri naik 50% saat itu. Tarif angkutan umum naik sekitar 25%. Di tambah efek kenaikan BBM per 18 Nopember 2014, berarti dalam satu tahun ini sudah terjadi lompatan biaya tranportasi sebesar 60-70%. Padahal gaji saya tidak naik 70%. Dengan kata lain dengan kenaikan gaji sekitar 10% saja, saya lebih miskin di bandingkan tahun lalu karena daya beli menurun.

Pesimisme ataupun sikap skeptis terkadang menjadi kekuatan menuju kebaikan. Bagi saya, kemakmuran rakyat (termasuk keluarga kecil kami) sulit dicapai bila mengandalkan pemerintah (politisi) saja. Justru pemerintah berperan memiskinkan rakyat dengan menarik pajak dan mempergunakannya dg tidak produktif, bahkan menggerus nilai mata uang dengan ketidakbijakan paksa yang diimplementasikan dan harus dipilih oleh rakyat ataupun penghilangan income negara potensial dan aset generasi masa depan. Tsaaah. :p Intinya agar tidak dikerjai poliTIKUS (dan anteknya) sebisa mungkin menghindari pengaruhnya dalam kehidupan. Misalkan tidak mudah percaya dengan angka ataupun pernyataan yang dikontrol, peroleh data yg muncul sebagai hasil mekanisme pasar. Kuasai aset dan kekayaan sendiri. 

Dalam bidang keuangan, pemerintah melalui BI menyatakan tingkat inflasi, tingkat suku bunga, bla blah. Urgh. Ogah kena jebakan bunga kredit. Naik gaji lebih dr inflasi (yang angkanya ditetapkan pemerintah)? Inflasi riil jauh lebih besar. 

 Tindakan yang mungkin : 
1. Tidak (seumur produktif) menjadi karyawan perusahaan, pendapatan dipotong pajak di luar kontrol, kenaikan gaji dipengaruhi tingkat inflasi yang nilainya diminimalisasi. 
2. Tidak menyimpan uang berlebih di Bank. Tarik tunai kena biaya, cek saldo kena biaya. Menjadikan rakyat kecil punya akses ke Bank? Mereka belum tentu layak dianggap calon debitur. Npwp blom tentu punya, mesin atm entahkah ada di lingkungannya. Uang disimpan, 5 tahun kemudian nilainya turun jd setengahnya. Wedew. 
3. Tidak membiasakan pakai barang subsidi untuk aset pribadi. Nampaknya ini wujud revolusi mental, mental gratisan jd mental mandiri. Punya mobil pribadi bbm subsidi itu tidak keren sama sekali. Pakai LPG 3 kg padahal bisa mengalokasikan penghasilan untuk konsumsi kredit ilusi jutaan rupiah selama bertahun-tahun, apatah patut dipuji?

Saya setuju penghapusan subsidi yang tidak tepat sasaran dan menjadi beban. Namun selama rakyat masih terus dihisap darahnya untuk menggaji para poliTIKUS, entah kapan kemakmuran yang merata itu bisa terwujud. Pada saat harga minyak mentah dunia trennya turun, menghapus subsidi tidak sama dengan menaikkan harga. Tanpa subsidipun, bisa jadi harga gasoline RON88 tidak perlu naik. Saya gagal paham kenapa budget untuk subsidi tidak bisa dialihkan ke sektor prioritas lain saat harga minyak turun, dan harga bbm yang (tidak perlu disubsidi lagi) justru naik. Semoga segera menemukan pencerahan tentang hal ini.

No comments: