Sunday 26 April 2015

[Catatan Keluarga] Potret Meja Makan Kita

Saya terlibat obrolan ringan dengan bos di kantor seputar perkembangan Indonesia. Posisi Indonesia sepertinya melewatkan tahapan sebagai negeri agraris. Belum sempat mencapai kemandirian pangan, kini potret negera industri menjadi target. 

Bila para petani berubah profesi menjadi buruh pabrik, siapa yang akan menyediakan pangan di atas meja makan kita? Para petani-nelayan-peternak di luar negeri? wew, mereka baik sekali....

Saya berpikir potret meja makan sebuah keluarga menjadi cerminan pola yang ada di suatu negara. Itulah gaya hidup rakyatnya. Seberapa banyak produk lokal yang tersaji di sana? Meja makan ini bisa berada di dalam rumah, di warung ataupun restoran. Meja tempat makan, dimana pun lokasinya.

Saat saya masih numpang hidup di Jepang, setiap berbelanja terpampang lokasi suatu produk dihasilkan. Misalkan Apel dari Nagano, Sawi dari Ibaraki, brokoli dari Amrika (impor), jeruk dari Ehime, dsb. Beberapa produk sayuran juga dilengkapi dengan foto petani penghasilnya untuk memastikan keamanan dan ketelusuruan. Bila ingin tahu darimana produknya berasal, bisa juga bertanya ke penjual.

Hal yang cukup berbeda saat berbelanja di negeri ini. Terkadang penjual pun tidak tahu darimana barang dagangannya berasal. 
"Dari pasar induk, Mas" 
Baiklah. Dari jawaban ini ada 2 poin. 
1. Penjual hanya fokus pada barang dagangan, bukan produsennya. 
2. Produsen belum memiliki akses untuk diakui sampai tangan konsumen.

Petani produsen perlu lahan yang luas di pedesaan. Sebagian besar profesi tani adalah buruh yang mengerjakan lahan luas milik tuan tanah. Dari Jaman kumpeni (Baca : company) Belanda (VOC) sampai jaman kumpeni Endonesiah moederen tidak banyak berubah. Mungkin perkapita petani Indoensia tidak memiliki lahan hingga 100 hektar untuk menghasilkan produk tanaman yang bisa mensejahterakan diri dan keluarganya. 


Beberapa hutan juga berubah fungsi menjadi lahan sawit sehingga tidak mungkin dilakukan proses pertanian di sekitarnya. Hama pertanian, tikus, tidak doyan makan kelapa sawit. Mereka masih memepertahankan selera terhadap padi dan umbi-umbian. Petani harus bersaing dengan tikus untuk mendapat sumber karbohidrat. Akhirnya profesi petani harus ditinggalkan bersama lengan-lengan perkasa dan ketekunan mengelola tanah. Buruh perkebunan menjadi pelarian menyambung hidup.

Petani bisa makmur? Bisa tapi dia nampaknya harus menguasai lahan setidaknya 100 hektar per kapita dan memiliki sistem pertanian yang sudah modern. Tidak tergantung pada pupuk kimia yang bahan bakunya masih impor. Punya jalur distribusi ke konsumen tanpa 'pertolongan' tengkulak. 

Sudah sekitar empat tahun saya kembali menjejak bumi Indonesia tapi masih belum paham kenapa harga buah-buahan di negeri ini mahal sekali. Untuk produk impor bahkan lebih mahal dari harga di Jepang. Padahal buah lokal sangat beragam, tapi tidak bisa menembus tempat perbelanjaan moderen sedalam penembusan buah impor. 

Buah-buahan lokal yang 20 tahun lalu jadi cemilan saya seperti duwet (anggur jawa), buah mentega (apel beludru) sulit sekali ditemukan. Punah? Kebun buah berubah wajah menjadi kebun beton? Entahlah.

***

Sebisa mungkin keluarga kami ingin berkontribusi terhadap negeri ini.
1. Belanja di toko milik lokal yang pemiliknya kelihatan, atau dikenal.
2. Memprioritaskan konsumsi produk negeri sendiri. Sayur dan buah sebisa mungkin yg didatangkan dari sekitar tempat tinggal. Memilih protein dengan prioritas ikan-ayam (kampung)-daging (non-impor). Walau sebenarnya ada rasa was-was dg asal ikan tsb. Lautnya tidak tercemar bahan berbahaya khan yak... (kalau di pasar tradisional bisa tanya ke penjual ttg darimana ikan itu berasal).
3. Memberdayakan pedagang kecil (misal : tukang sayur yang narik gerobak dg tenaga manusia ; kakek yang masih teguh jualan buah), kalau semua orang memenuhi kebutuhannya dengan mendorong kereta belanja saja, bagaimana nasib pedagang kecil ini?
4. Kalau makan di luar : Memastikan kehalalan, sebisa mungkin menu yg bahannya banyak kandungan lokalnya.

Alhamdulillah tetangga sebelah rumah kami menyediakan berbagai bahan kebutuhan sehari-hari. Beras yang didatangkan langsung dari penggilingan padi, gas LPG serta air mineral galon yang 2 tahun lalu bahkan belum dijadikannya komoditi. Belanja jadi mudah (iklan? haha), tinggal mengetok pintu, bahkan sebelum jam 6 pagi.

Negeri ini subur dan kaya sumber protein. Seharusnya bila petani berdaya dan nelayan perkasa, nasi dan ikan bisa menjadi makanan yang membudaya. Tidak perlu impor sapi atau ayam-ayam berumur 40 hari jadi penghias meja makan kita sehari-hari.

Sayuran dan buah murah, protein hewani tercukupi, asupan gizi menjangkau seluruh generasi. Perut kenyang dari kontribusi bumi dan air, tahapan industri melaju dengan dukungan pondasi kokoh. Tinggal dilengkapi budaya jujur anti korupsi, pewaris negeri ini akan berjaya dengan kehalian dan daya juang tinggi, berdikari dengan sumber daya sendiri. Bilakah terjadi? Jika kebangkitan islam bisa dilihat dari indikasi ramainya jamaah Subuh setara sholat Jumat, mungkin kebangkitan negeri ini bisa terindikasi dari 'hiasan'meja makan penduduknya.

No comments: