Monday 30 May 2016

Sebuah Kisah Kelahiran

Setiap anak terlahir dengan kisahnya masing-masing. Pun demikian anak kedua kami. Dia dititipkan sebagai kejutan di tengah rangkaian persiapan menuju negeri seberang.  (Berikut Kisah namanya)

 Selama dalam kandungan, tak banyak kesempatan kami bersua. Bentangan jarak dan waktu menjadi penghalang. Namun alhamdulillah saya menunggui proses kelahirannya, menjadi saksi hidup perjuangan ibundanya yang bersusah payah dalam peluh dan darah. 

Masih terbayang jelas saat grafik detak jantung bayi di monitor melemah setiap kontraksi, hingga setelah 15 jam berlalu, persalinan normal tak bisa dijadikan pilihan lagi. Tahapan usaha sudah dilakukan, ketuban dipecahkan, sensor detak jantung bayi dimasukkan langsung lewat jalan lahir, sumsum tulang belakang pun disisipkan jarum epidural. 

Ya, saya tidak bisa membayangkan semules apa kontraksi melahirkan itu, senyeri apa rasa yang menjalar sepanjang malam itu, lalu beberapa saat setelah matahari terbit, dokter, bidan dan suster masuk ke ruangan. Operasi harus dilakukan, sekarang juga kata mereka. Detik itu hanya doa yang terpanjatkan, semoga ibu dan bayi Allah selamatkan. 

 Tahukah, nak, ibumu begitu kuat. Lebih tabah dibandingkan ayah yang gelisah. 

Melahirkan adalah sebuah perjuangan memindahkan jiwa yang murni ke alam yang sama sekali berbeda. Tiba waktunya kehangatan rahim dan asupan dari plasenta ditinggalkan, digantikan sebuah proses menuju kemandirian. 

 Pejuang itu, sang ibu, masih belum tuntas perjuangannya. Lihat saja semua orang akan begitu takjub dengan bayi mungil yang lucu. Segenap perhatian dan kasih sayang akan tercurah. Begitu luar biasa Allah merancang perasaan manusia, si bayi yang belum bisa bicara itu sudah diajak komunikasi dengan segala ekspresi, didendangkan syair, diperdengarkan ayat suci. 

Tapi bagaimana dengan ibunya? Siapa yang akan memperhatikannya? Saya paham bahwa seorang ibu yang baru melahirkan akan sangat berpotensi mengalami tekanan batin. Orang menyebut baby blues, atau depresi pada tahap yang lebih parah. 

Saya mulai mengerti saat seorang wanita yang membuat saya jatuh cinta lagi ketika dia memakai blus dan rok panjang, berdandan agar pantas menghadiri interview untuk posisi impian di sebuah gedung Senayan nampak begitu bersinar, namun akhirnya tidak berlanjut karena ada bayi mungil lucu di rumahnya yang tak tega ditinggal sa'i antara Tangsel dan Jaksel 5 hari dalam seminggu. Pejuang itu memilih sejenak meredupkan kemilaunya, kembali berkutat penuh dengan amanah dari Tuhan yang selama sembilan bulan berada dalam satu badan. Ini cerita 3 tahun yang lalu... 

Itu bukan pilihan mudah. Menunda impian demi seutuhnya menempuh jalan panjang investasi kehidupan. Menunda gelora yang akan muncul ketika tombol start aktualisasi diri di luar rumah terpencet. Lalu saya berpikir, bagaimana pijar antusias itu akan tetap berpendar di bawah atap rumah ini? Bagaimana kondisi si pejuang yang biasa tampil berkilau lalu "karat" mulai tumbuh dan ada kalanya disebut lusuh? Siapa yang akan peduli ketika lebih banyak atensi tertuju ke yang dilahirkan, bukan yang melahirkan? 

Yang paling berperan tentu saja zaujah, pasangan sang pejuang. Batinnya perlu disegarkan saat fisiknya lelah, Batinnya lebih lelah, apalagi bila amanah bernama anak itu bertambah. Sebelum lahir pun sudah berbagi makanan, komunikasi lewat sentuhan dan gerakan, ada banyak momen beberapa kenyamanan sang calon ibu tercabut, ada saat rada sakit menjalar di sekitar perut. Dan saya sangat kecewa ketika tidak sempat menemani saat-saat kelahiran buah hati pertama. 

Saya membayangkan akan menggenggam erat tangan istri sambil membisikkan semangat untuk menguatkan. Saya membayangkan akan hadir di dekatnya saat bayi itu terlahir ke alam fana... dan Alhamdulillah saya bisa turut merasakan perjuangan itu dalam proses kelahiran anak kedua kami, meski tidak sepenuhnya mengerti seberapa dahsyat nyerinya 18 jam dalam bilik rumah sakit, melalui tahapan untuk persalinan normal, hingga akhirnya didorong menuju ranjang operasi...

Maka doa-doa tersembunyi dipanjatkan untuk menguatkan kami yang terlebih dahulu menjejak dunia, saat ucapan selamat dan doa-doa yang terlontar biasanya tercurah untuk bayi yang baru terlahir. Semoga kami lebih dieratkan lagi sebagai pasangan, diberikan ilmu dan kesabaran sebagai orang tua, diberikan keleluasaan untuk berbakti sebagai anak, dikaruniai peluang untuk menjadi orang- orang yang bertakwa yang senantiasa bertambah keimanan dan berperilaku ihsan.

Semoga anak-anak kami menjadi generasi yang kuat. Tajam pikirannya, trengginas fisiknya, tunduk hatinya, indah akhlaknya. Semoga dari kami dan mereka lahir penyejuk hati yang menjadi pemimpin bagi orang bertakwa.


ReAD MoRE・・・