Monday 15 August 2016

i.d.e.n.t.i.t.a.s

Kenapa menikah? Bukankah hal-hal yg diperoleh dg menikah juga bisa didapatkan tanpa menikah? Anak bisa adopsi. Sperma bisa dibeli. Tinggal pilih fenotype seperti apa yg diinginkan. Bosan dg pasangan toh bisa putus hubungan dan cari pasangan baru. Pengen punya temen hidup pun bisa tinggal bersama tanpa harus menikah.  

Pertanyaannya, mentalitas seperti apa yg dimiliki generasi penerus yg dihasilkan dari generasi bebas seperti di atas? Saat di Jerman saya punya seorang teman yang ibunya belum pernah menikah. Dia punya 2 adik dari 2 ayah yang berbeda. Adik lain dr pihak ayah biologis dr ibu yang berbeda. Dan dia baru tau ada saudara separuh darah saat sudah dewasa. Terdengar rumit bagi saya. Nasab keluarga tidak telas. 

Anak seolah hanyalah perpaduan genetik hasil pembuahan sel kelamin. Binatang pun secara natural berkembang biak. Kalau perilakunya sama saja, apa yang membedakan manusia dengan hewan? Akal, dimana akal? Oh, iya, manusia bisa adopsi, memilih dan membeli sperma, atau bahkan minta legalitas hubungan anonoh sejenis. Metode seperti ini gak bisa ditiru binatang. Apakah ini bedanya?

Bagaimana dengan identitas diri? Ketika anak-anak yang menjadi sebuah generasi ternyata adalah seonggok tulang-daging yang bisa bicara. Nilai seperti apa yang mereka bawa? Kehidupan seperti apa yang akan mereka atur? Identitas apa yang akan mereka wariskan?
Identitas. Siapa saya? Nama yang disandang adalah pemberian orang tua. Tanpa sebuah nama, individu seperti apa diri ini? Ketika segenap aksesori diri, nama, jabatan, profesi, gelar, bangsa/kewarganegaraan, jaringan, keturunan diibaratkan pakaian, bila semua itu dilepaskan, siapakah anda saat 'telanjang' sendirian saja?

 Identitas apa yang anda cari? Apakah itu berarti ketika misalkan anda seorang diri di pulau terpencil yang tak dihuni? Apakah itu berarti saat kita kembali ke pemilik Jiwa yang sejati? Mungkin saat seperti inilah manusia mendekati fitrahnya. Mendekati rasa ketika jiwa bersaksi siapa tuannya. Mendekat ke arah penciptanya. Seperti Ibrahim as mencari lalu menemukan Tuhan. Seperti Muhammad saw ketika menerima wahyu. Ya, hakikat diri ternyata adalah hamba yang tidak berdaya tanpa kasih sayang dan kemurahan yang Maha Kuasa. Lalu kenapa masih tidak mau mengikuti aturanNya? Bukankah Petunjuk itu adalah anugerah yang wajib disyukuri dan dipatuhi agar tak tersesat? 

Identitas manusia dimulai dari orang tuanya, lalu lingkungan yang memasukkan informasi. Seseorang bisa menjadi orang tua biologis dan itu sumber identitas pertama. Dalam islam, setiap anak yg terlahir dari hasil pembuahan diluar nikah tidak mendapat Nasab ayahnya. Artinya hukum-hukum syariah tidak berlaku, si ayah tidak bisa menjadi wali si anak saat menikah, mereka tidak saling mewarisi.

Berbagi DNA tidak selalu berarti berbagi hak dan kewajiban, apalagi berbagi harta. Anak yang lahir diluar nikah dan tau ayahnya siapa dengan anak yang lahir dr hasil pembuahan donor sperma, serupa dihadapan hukum. Apakah si anak bisa menuntut warisan dari pemilik DNA yang menjadi penyusun tubuhnya? Atas dasar apa? 

 Saat berada di negeri multi etnis, dimana kewarganegaraan seseorang tidak hanya mutlak dinilai dari warna kulit atau penampakan fisik saja, identitas apa yang harus dimiliki? Hukum apa yang harus diikuti? 

Politik dipakai untuk menguasai orang-orang, kemudian membuka akses kepada kepemilikan, entah melalui pajak atau kekuasaan atas bumi, air dan kekyaan alam di dalamnya. Maalik, Malik. Pemilik dan Raja. Maalik disandingkan dengan hari kemudian seluruh alam, tidak terbatas zaman. Malik disandingkan dengan manusia. Manusia saja yang cukup rakus, ingin menjadi malik bagi manusia lain, lalu tambah rakus ingin menjadi maalik untuk menyatakan kepemilikan atas harta benda, bahkan bumi pun dikotak-kotak diberi batas wilayah plus sertifikat lalu diperjualbelikan, padahal siapa yang sebenarnya yang punya? 

 Seberapa sadar atas identitas diri sendiri?
 
***Identitas berupa kotak-kotak kewarganegaraan inilah yang akhirnya menjadi sekat bagi seseorang untuk menjalanakan suatu peran di negeri yang terkotaki politik. Saya teringat obrolan dengan Bapak Mertua seputar perlu tidaknya khilafah. Hmm, khilafah terdenger lebih mudah bagi saya, dalam artian sekat kewarganegaraan itu pupus tanpa tali bahasa, suku atau wilayah. Identitas yang sama dalam kedudukan yang setara. Permainan identitas ini kadang dipakai untuk membunuh karakter seseorang sehingga segala kebaikan besar yang bisa terjadi melalui dia akhirnya tidak pernah menjadi kenyataan seiriing dengan lenyapnya sosoknya bersama potensi kewenangan yang ada.... Phffhh.***Jaman sekarang tidak perlu membunuh untuk menghilangkan musuh, cukup sosok/nama baiknya dihancurkan, lalu segenap dukungan akan menghilang. Ngeri. Pengalihan isu?***

No comments: