Friday 2 February 2018

Tentang Kenangan & Pelajaran

Kapan kenangan paling lama yang masih bisa terbayang dengan jelas dalam pikiran?  bayi? 2 tahun? 4 tahun?  Untuk saya, nampaknya kenangan yang tergambar dengan jelas adalah saat di TK, berarti sekitar usia 4 tahun. Kenangan masa kecil sebelum itu sama sekali tidak terbayang,  hanya bisa melihat dari foto-foto . Mungkin saja berbagai memori itu terekam dalam alam bawah sadar, dikarenakan otak anak kecil belum sepenuhnya saling bersambungan, dikatakan sebagai golden age bagi anak-anak, yang menyerap segala informasi seperti spons menyerap air.  Sebuah fase awal belajar untuk bisa mandiri dan survive di dunia. 

Ibu tentunya yang paling berperan menanamkan nila-nilai kehidupan sebelum kita mempelajarinya dari orang lain di luar rumah. Lalu saya terhenyak, betapa almarhumah ibu telah membekali saya dengan berbagai keterampilan dasar peradaban manusia dalam keterbatasan rumah tangga waktu itu. Tahun lalu menjadi sebuah kenangan yang menghantam jiwa, saat Allah memanggil ibunda keharibaan-Nya. Istri saya menuliskan USIA dengan sangat apik, mengikat emosi & pelajaran bahwa badan yang sehat, kekayaan, makanan dan segala perhiasan dunia bukan jaminan kita hidup lebih lama. Pertanyaan berikutnya, apakah dengan lebih lama hidup di dunia menjadikan kita lebih bahagia?

Meninggalnya ibu secara mendadak dalam kondisi yang insyaallah sangat baik membuat saya lebih menggaris bawahi bahwa waktu adalah sebuah dimensi yang teramat penting, hingga Allah pun mengabadikannya dalam sebuah surat di Juz ama. Yes, sungguh manusia dalam kerugian. Rugi adalah status yang melekat pada manusia dalam interaksinya dengan waktu. Agar tidak rugi, Allah memberikan jawabannya : beriman DAN beramal sholih DAN saling menasihati dalam kebenaran & sabar. Beriman saja tidak cukup untuk membebaskan diri dari kerugian, harus dilengkapi dengan berbuat baik & saling menasihati. Pertanyaan baru untuk muhasabah sebelum tidur bertambah : Apakah kita sudah "untung" hari ini, ataukah masih rugi?

Dalam dunia modern sekarang muncul cost-benefit analysis untuk mengevaluasi sebuah keputusan/sistem/proyek/apapun. Satuannya tentu saja keuntungan materi. Bagaimana bila kita masukkan dimensi waktu ke dalamnya? Kenapa? Karena waktu kita terlalu berharga. Kita sudah rugi dan terkadang keuntungan materi belum menutup lobang rugi itu. Saat ini concern saya seputar transfer ilmu dan pengalaman dalam keluarga. Salah satu konsep yang ibu ajarkan adalah insourcing. : memberdayakan/memaksimal potensi sumber daya yang dimiliki. (yes, lawan katanya outsourcing, dimana kita memberdayakan 'resource' di luar 'sistem').

Pendidikan di sekolah (kesan saya saat ini, kejar target kurikulum beres) ibarat membangun rumah dikasih tenggang waktu 2 minggu, misalnya, Pondasi harus jadi, inspeksi, ok 80% (lulus), lanjutkan. Padahal semen belum kering kering dkk, akhirnya demi mengejar waktu, pembangunan dilanjutkan ke lantai pertama, inspeksi lagi lulus 60%, dilanjutkan lagi pembangunan lantai berikutnya, dst. Hingga akhirnya ada rumah yang roboh, collapse karena sistem "evaluasi" dari inspeksi yang dilakukan sebenarnya tidak sesuai. Siapa yang disalahkan? inspector? tukang? Di sini, sistem yang salah, eksekutor yang ketempuhan. 

Pendidikan akademis di sekolah  memang penting, namun lebih penting lagi pendidikan tentang bertahan hidup di dunia dan suskes di akhirat. Seberapa banyak hasil belajar di sekolah yang sekarang bermanfaat? lebih banyak mana dengan hasil pendidikan dalam keluarga?

Manusia adalah makhluk organik, bisa berubah bila kondisi sesuai. Musim semi 2016 lalu, ada fenomena menakjubkan , Super bloom di Death valley California. Akhir tahun 2015 gurun yang kering yang selama puluhan tahun tidak mendapat air, dengan kuasa Allah mendapatkan hujan rintik-rintik. Sekitar bulan Maret 2016, bunga-bunga bermekaran di sana, Death valley menadi warna-warni dengan bunga, bukan "lembah mati", dia hanya menunggu saat yang tepat menumbuhkan potensinya.  Demikian pula manusia, dia akan tumbuh kembang  maksimal bila mendapatkan kondisi yang sesuai.


Kesimpulan saya saat ini, pendidikan formal akan membantu kita mendapat pekerjaan diperusahaan orang lain, cukup baik untuk menghasilkan active income selama sekitar 20 tahun, lalu modal finansial itu kita maksimalkan dengan kebiasaan dan gaya hidup untuk bisa "pensiun" dini dengan aset-aset produktif. Bila kita harus bekerja lebih dari 20 tahun dan masih ada tanggungan (cicilan?), rasanya pendidikan formal itu tidak cukup baik untuk menjadi perantara rejeki, atau ada yang salah dengan pola hidup kita. (Saat ini saya sudah bekerja selama 7 tahun selepas dari bangku kuliah. 2018 adalah tahun ke-8 saya bekerja, target saat ini, 12 tahun lagi saya tidak perlu bekerja untuk tujuan materiil). Untuk kasus tertentu ada bidang-bidang dengan gaji sangat besar yang memungkinkan pensiun dini kurang dari 10 tahun bekerja, bila resource dikelola dengan baik.

Dengan konsep Insourcing yang dipraktikan ibu kami di rumah, kami belajar menanam, beternak ayam, menyajikan makanan di atas meja makan hampir semuanya dari halaman sendiri. Saat harga ayam/daging mahal, ibu menggantikan menu dengan ikan, tahu dan tempe sebagai sumber protein. Jadilah menu ajaib garang asam lele (biasanya ayam), lintingan ikan (pepes dengan balutan kelapa muda parut bumbu kuning) dan berbagai "inovasi" lainnya. Masa itu menjahit baju sendiri lebih murah dibandingkan beli (kami hanya beli baju baru saat lebaran) dan menambal baju sobek adalah hal biasa. Alih-alih melakukan outsourcing untuk membersihkan rumah, kami mendapat jadwal dan wilayah masing-masing untuk menyapu dan mengepel lantai, seminggu sekali membersihkan kaca jendela dan 'memfurnish' meja kursi dengan kemiri.

Kadang saya kelewat kreatif, mau membetulkan radio, tapi malah rusak. (saya belum lulus SD saat mulai main-main dengan elektro). Prestasi saya adalah membetulkan bel rumah saja :-P 

Insourcing ini benar-benar membentuk mindset saya, bahwa resource adalah sesuatu yang harus optimal, tidak boleh mubazir, sekaligus menjadikan kami super kreatif saat melihat bahan-bahan yang berserak di sekitar. Istilah keren saat ini adalah gaya hidup minimalis, selain terhindar dari impulsive consumption, juga menjadikan jalan menuju kebebasan waktu (atau bebas finansial  pada frame yang lebih luas). Waktu adalah salah satu resource itu dan jatah kita sudah tertulis...  saat ini waktu bersama keluarga menjadi prioritas, commuting sesingkat mungkin, interaksi harus maksimal, komunikasi harus optimal, transfer ilmu dan pengembangan diri harus difasilitasi.

Dari Ibu saya belajar bahwa kita hanya akan mengantarkan anak-anak kita pada gerbang kemandirian dengan pola pikir yang dibiasakan sebelum dewasa, lalu mereka akan bebas bertebaran mencari rejeki Allah di muka bumi, belum tentu orang tua akan "dirawat" oleh anak-anaknya saat tua. Belum tentu anak-anak kita akan bersama saat masa tua. Ibu meninggal saat kami belum puas berbakti, tetap berkarya menjahitkan baju buat cucu-cucunya, memasakkan makanan kesukaan anak-anaknya,  berkontribusi ke keluarga besar dan lingkungan tempat tinggal, hingga akhir hayatnya. Saya sempat kaget saat melihat tabungan ibu, jumlahnya cukup besar sehingga saya berpikir bahwa ibu tidak menggunakan uang yang saya kirimkan. Mungkin ibu tidak butuh. Saat kakak saya memeriksa lemari, ada lembaran uang seratus ribuan diniatkan untuk qurban (kira-kira setengah harga kambing).  Ada juga sejumlah uang untuk "menikahkan" adik saya kelak. Betapa banyak urusan yang lebih diutamakan daripada kebutuhan pribadi almarhumah.....


Tahun ini anak sulung saya akan mulai mengenang berbagai peristiwa dan pelajaran dalam alam sadarnya, sel-sel otaknya akan mulai bersambungan secara sempurna, menyajikan logika, mulai paham sebab-akibat, kesimpulan dan mengambil keputusan. Saya tidak tahu jatah usia ini, semoga cukup untuk mendidik anak-anak kami menjadi insan yang bebas dari rugi.

No comments: