Friday 23 May 2008

Tentang Senyum

Rasanya sudah banyak orang yang tahu bahwa senyum itu ibadah. Kali ini saya merasakan senyum yang indah dari seorang manusia mungil. Manusia yang kini sudah berhak saya sebut bocah dalam usianya yang memasuki 8 bulan. Bocah yang dilahirkan dari dua orang yang saya anggap abang dan kakak di Jepang.

Orang tuanya masih kuliah master tingkat akhir. Yah, sejak bayi dia belajar tentang pengorbanan. Pengorbanan karena harus rela dititipkan saat orang tuanya harus menuntut ilmu. Tapi dia juga belajar tentang rindu, rindu tentang kehangatan seorang ibu yang juga rela mengorbankan waktu dan tenaganya untuk naik turun bukit ke tempat penitipan untuk menyusui. Dan malam itu saya sadar kalau segala penat orang tua itu bakal hilang saat melihat senyum buah hatinya. Tangan yang serasa mau patah menjinjing buku-buku berat entah mendapat kekuatan darimana hingga kuat mengangkat tubuh itu. Wajah yang sudah lelah bisa berubah menjadi bergairah melihat si mungil.



Darinya saya juga belajar tentang keajaiban manusia. Tentang penciptaan. Proses pembelajaran Al Quran yang bisa disaksikan langsung dan nyata. Bayi mungil itu sudah tumbuh pesat menjadi sosok menggemaskan berusia 8 bulan. Saat telapak kakinya mulai merasakan geli, saat sebulan kemudian dia akan belajar berdiri, berjalan, lalu berlari!



Terima kasih atas senyum itu. Senyum lebar dengan gigimu yang baru ada tujuh. Senyum yang membuatku jadi ingin tersenyum. Senyum dengan pijar mata yang begitu hidup. Lagi-lagi saya merasa bahwa anak kecil itu begitu lucu.

Sayangnya senyum-senyum lucu ini mungkin tak bisa dijumpai sesering dulu di negeri ini. Angka kelahiran menurun drastis seiring dengan banyaknya wanita yang bekerja. Apa hubungannya? Bukankah seorang wanita bekerja tetap mendapat cuti hamil dan melahirkan? Ternyata masalahnya tidak putus sampai di sini.

Karakter orang Jepang yang cenderung tertutup menyebabkan mereka mudah stress. Ini hanya asumsi pribadi, tanpa penelitian atau bukti. Wanita yang bekerja akan dituntut menyelesaikan pekerjaan di kantor tepat waktu, belum ditambah tanggung jawab rumah tangga sebagai istri. Bila dia cuti hamil, otomatis pekerjaannya akan menjadi beban buat rekan di kantor. Dengan munculnya anak, dia harus meluangkan waktu untuk menjemput di tempat penitipan dan tidak bisa kerja lembur. Artinya, pekerjaan yang ada harus bisa selesai dalam waktu yang terbatas.


Lagi-lagi kebiasaan enggan merepotkan orang lain membuat orang memilih tidak memiliki anak supaya pekerjaan tidak terganggu. Selain itu masih berlanjut dengan berbagai keperluan anak, tentang ASI, perhatian, dan kasih sayang. Sekarang sudah mulai banyak tempat penitipan anak di kantor, universitas atau tempat yang dibuka secara khusus di dekat stasiun. Tujuannya supaya wanita bekerja bisa tetap melanjutkan karirnya dengan tenang karena dukungan sosial. Ini dianggap meminimalisir (bukan mengatasi) penyebab menurunnya angka kelahiran karena kurangnya dukungan terhadap ibu yang bekerja.


Tapi bagaimana dengan sisi psikologi anak yang dititipkan? Bukankah dia tak hanya sekedar memerlukan gizi dari susu botol yang diminumkan? Entahlah, tapi bila setiap orang tahu bahwa senyuman seorang anak bisa memberikan energi secara ajaib, mungkin jumlah bayi yang lahir di negeri ini tak perlu membentuk grafik berbentuk lereng menurun.

No comments: