Saturday 8 September 2018

Hal Penting Saat Ini

Hidup di negeri dimana lingkungan seolah menuntut untuk mengejar uang-uang-uang, apakah itu yang sebenarnya saya inginkan? Jelas bukan. Uang adalah alat dan bukan tujuan. Di hari usia bertambah setahun ini, saya berpikir hal-hal yang menurut saya penting. 

1. Menjaga badan tetep prima. Yes, tubuh ini adalah titipan Allah juga yang harus dirawat: jaga makanan, jaga kesehatan. Punya uang berlimpah tapi kesehatan buruk, terdengar tidak menyenangkan. (Usia saya sudah 30+, harus lbh concern )
2. Mengelilingi diri dengan orang-orang terbaik. Bisa berupa lingkungan yang baik untuk perkembangan diri dan orang-orang yang punya visi sama. Pentingnya punya pasangan hidup dan keluarga yang mendukung sangat terasa. 
3. Mendidik anak agar tumbuh menjadi pribadi bermental kuat, pekerja keras, mumpuni dalam adaptasi dan teguh memegang prinsip. : Perlu bantuan istri dalam hal ini. 
4. Hidup di tempat yang : masih kental suasana gotong royong, air bersih tersedia melimpah (subur), kaya sumberdaya (SDM dan SDA) : Penting untuk menjaga dan meningkatkan kondisi spiritual dan finansial. 
5. Berpetualang! Ayo keliling dunia!! : Hmm, perlu modal dan akal untuk hal ini, setidaknya dimulai dari menjelajahi California dan Amerika. 
6. Nambah ilmu setiap hari : baca buku, baca artikel, dengerin podcast/ceramah. (Harus pinter cari waktu karena disibukkan 2 anak kecil super aktif yang kadang jam 11 malam blom bobo). 
7. Kontribusi ke masyarakat : volunteering! Yes, saya ngajar di sunday school. Tapi sekarang mulai kewalahan karena murid bertambah dan ada tuntutan dari "sekolah", helppp!! Saat ini saat anak-anak sedang perlu perhatian lebih dari ayahnya, urusan domestik rumah tangga kadang kurang optimal karena kegiatan di luar rumah. Semoga diberikan jalan keluar terbaik.
8. Hidup adalah perkembangan dan petualangan. Tanpa ada hal baru setiap hari, hidup akan terasa hampa (bosan sih pasti) karena rutinitas yang sama. Pengen merasa tenang saat mau tidur karena sudah melakukan hal-hal baik hari itu, dan bersemangat saat bangun tidur untuk menebar kebaikan lain. -ideal ini sih-


ReAD MoRE・・・

Tuesday 20 February 2018

Tentang Sekolah (Anak)

Tak hanya kaum elitis di Indonesia , di Amerika, persaingan orang tua terkait  sekolah anak-anaknya juga terjadi, khususnya di kelas menengah (ke atas). 

“…parents will spend down their last dollar (and their last borrowed dollar) on their kids’ education: In a society with dramatic income inequality and dramatic educational inequality, the cost of missing out on the best society has to offer (or, really, at the individual scale, the best any person can afford) is unfathomable.”



Secara umum, pola pikir mengenai masalah perekonomian terbagi menjadi 2 : kebijakan elit politik dan golongan super kaya yang mengeruk sebagian besar 'kemakmuran", di sisi lain adalah  pola hidup masyarakat yang over-konsumtif. Saya pikir hal inilah yang menjadi dua pemeran utama dalam panggung politik : Demokrat yang cenderung"membela' rakyat kecil dengan berbagai subsidi (rakyat kecil semakin miskin karena sistem kapitalis, harus dibantu secara sistemik),  Republik yang cenderung "mendukung" orang kaya dengan potongan pajak karena subsidi dinilai tidak tepat sasaran (orang-orang itu harusnya bekerja dan penghasilannya cukup untuk hidup tanpa subsidi). 

Pola pikir dengan polaritas berbeda ini menjadi tarik ulur kebijakan pemerintah, dan  ya, presiden yang menjadi motor pengatur arah kebijkan memerankan fungsi penting. Berdasarkan pengalaman 2 tahun terakhir,  memang betul bahwa potongan terbesar dari gaji adalah 'jaminan sosial'. Pajak penghasilan memang progresif namun dengan memiliki pendapatan "median", pajak ini relatif kecil, bahkan dengan kondisi khusus (migrasi, biaya kesehatan, biaya pendidikan anak, dkk) yang terjadi tahun sebelumnya, kita bisa mendapatkan tax credit dari Pemerintah  (tidak perlu bayar pajak, malah dapat bantuan langsung tunai). 

Terkait sekolah, setiap wilayah dibagi menjadi zona-zona sekolah berdasarkan daerah tempat, hanya anak-anak yang tinggal di sekitar sekolah tersebut yang boleh mendaftar. Akibatnya, wilayah dengan sekolah favorit lebih diminati oleh orang tua sehingga harga properti  naik. Dalam jangka lebih panjang  mucullah kawasan elit dan slum. Sekolah memang "gratis", namun ada dinding tak terlihat yang membatasi mobilitas manusia. Sisi sekonomi inilah yang cenderung memisahkan tempat tinggal orang-orang berdasarkan kelasnya... (golongan super kaya akan tinggal di kawasan super ekslusif di tebing pinggir pantai atau pulau pribadi :-p )

Golongan menengah yang peduli dengan  sekolah anak akan berusaha  untuk tinggal di kota dengan ranking yang bagus : biaya hidup lebih tinggi dan secara umum  lebih kompetitif (banyak les tambahan untuk anak-anak di luar sekolah : biola, piano, renang, kum*n, dkk).  Terkadang jarak kota seperti ini dengan kantor tempat bekerja cukup jauh, sehingga anak-anak harus dititipkan setidaknya dari jam 6 pagi sampai jam 7 malam. (Ya, ya, dulu manusia cenderung bekerja dan beraktivitas tak jauh dari lokasi rumahnya, kaki dan sepeda sudah cukup menjangkau segala tempat untuk keperluan sehari-hari.  Saat ini lokasi tempat mencari nafkah yang jauh dari rumah pun tetap dijadikan pilihan seiring pergeseran nilai, kebutuhan dan makin kuatnya daya tarik ekonomi kota besar..., Tapi ini isu lain...)

Bagi kami pendidikan anak juga penting. Bukan ke arah kualitas sekolah, namun lebih cenderung lingkungan yang kondusif. Kenapa? Banyak kasus dar-der-dor! yang menyasar sekolah di Amrik. Dikarenakan belum bisa commit 100% untuk homeschooling, lingkungan dimana orang tua saling sapa dan peduli cukup penting. Manfaatkan statistics seberapa banyak keluarga yang suami istri bekerja di luar rumah :-P.  Sekolah yang kami pilih harus berbeda lokasi antara SD, SMP dan SMA untuk meminimalisir pengaruh dari perbedaan umur. Yes, ada beberapa school district yang menjadikan lokasi SD, SMP dan SMA berdekatan. Selain menciptakan kemacetan lokal yang cukup parah saat bel masuk dan pulang, menurut saya ada efek yang kurang bagus bagi anak-anak SD.

Di luar sekolah beberapa hal berikut patut dijadikan pertimbangan :
1. Say no to TV cable & broadcast TV service. Sebagai gantinya harus ada akses internet super cepat, komputer/laptop & HP. Selain itu ada pilihan untuk langganan Netf*ix, H*lu, dkk tanpa harus memakai pilihan 100+ channel yang belum tentu ditonton.
2. Menjaga akses minimal akan mobil, selalu siap berjalan/bersepeda : menambah waktu mengenal lingkungan sekitar tempat tinggal, berpartisipasi dengan tidak menambah polusi udara dan pemakaian BBM.
3.Memaksimalkan akses ke alam (Yes, banyak sekali national park (gunung, gurun, pantai) di California, kesempatan untuk tafakkur alam yang sulit ditemukan di belahan bumi lain). Berkemah dengan sedikit akses akan memicu insting survival dan insourcing, selain menguatkan ikatan dalam keluarga.
4. Memaksimalkan akses olahraga untuk anak-anak di sekitar rumah (taman bermain, sepeda, kolam renang, etc). Beladiri juga berkuda, hehe.
5. Meminimalisir kegiatan terjadwal untuk anak-anak dengan menambah self-guided activities. Rasa bosan  dan keterbatasan bisa menjadi trigger untuk kreativitas.
6. Mainan edukatif (sedikit mahal gpp :-P ): Lego Mindstorm ; VEX IQ robotic ;  Kemah kode gratisan --- dimana kita harus “figure things out” daripada “buy a solution”  yang akan memberikan cara pandang yang keratif dan berbeda tentang dunia. Computer time (pada komputer beneran, bukan PeEs / Wii) akan memberikan efek yang sangat-sangat berbeda dari melihat iklan TV dan kartun, dan bukan tak mungkin menumbuhkan minat menuju computer competency. :-). Anak juga bisa belajar sendiri dari Khan Akademi  untuk hampir semua mata pelajaran.

Yes, kesimpulan sementara, sekolah di luar rumah hanyalah sebagai alternatif pendidikan di dalam rumah, tempat anak-anak mengenal dunia luar. Pendidikan di rumah tetap harus menjadi pilar utama kegiatan anak. Selain menambah kedekatan anggota keluarga juga ramah dompet (apalagi  kalau anak tidak perlu disekolahkan dengan biaya tinggi plus antar jemput pakai mobil :-) )



ReAD MoRE・・・

Friday 2 February 2018

Tentang Kenangan & Pelajaran

Kapan kenangan paling lama yang masih bisa terbayang dengan jelas dalam pikiran?  bayi? 2 tahun? 4 tahun?  Untuk saya, nampaknya kenangan yang tergambar dengan jelas adalah saat di TK, berarti sekitar usia 4 tahun. Kenangan masa kecil sebelum itu sama sekali tidak terbayang,  hanya bisa melihat dari foto-foto . Mungkin saja berbagai memori itu terekam dalam alam bawah sadar, dikarenakan otak anak kecil belum sepenuhnya saling bersambungan, dikatakan sebagai golden age bagi anak-anak, yang menyerap segala informasi seperti spons menyerap air.  Sebuah fase awal belajar untuk bisa mandiri dan survive di dunia. 

Ibu tentunya yang paling berperan menanamkan nila-nilai kehidupan sebelum kita mempelajarinya dari orang lain di luar rumah. Lalu saya terhenyak, betapa almarhumah ibu telah membekali saya dengan berbagai keterampilan dasar peradaban manusia dalam keterbatasan rumah tangga waktu itu. Tahun lalu menjadi sebuah kenangan yang menghantam jiwa, saat Allah memanggil ibunda keharibaan-Nya. Istri saya menuliskan USIA dengan sangat apik, mengikat emosi & pelajaran bahwa badan yang sehat, kekayaan, makanan dan segala perhiasan dunia bukan jaminan kita hidup lebih lama. Pertanyaan berikutnya, apakah dengan lebih lama hidup di dunia menjadikan kita lebih bahagia?

Meninggalnya ibu secara mendadak dalam kondisi yang insyaallah sangat baik membuat saya lebih menggaris bawahi bahwa waktu adalah sebuah dimensi yang teramat penting, hingga Allah pun mengabadikannya dalam sebuah surat di Juz ama. Yes, sungguh manusia dalam kerugian. Rugi adalah status yang melekat pada manusia dalam interaksinya dengan waktu. Agar tidak rugi, Allah memberikan jawabannya : beriman DAN beramal sholih DAN saling menasihati dalam kebenaran & sabar. Beriman saja tidak cukup untuk membebaskan diri dari kerugian, harus dilengkapi dengan berbuat baik & saling menasihati. Pertanyaan baru untuk muhasabah sebelum tidur bertambah : Apakah kita sudah "untung" hari ini, ataukah masih rugi?

Dalam dunia modern sekarang muncul cost-benefit analysis untuk mengevaluasi sebuah keputusan/sistem/proyek/apapun. Satuannya tentu saja keuntungan materi. Bagaimana bila kita masukkan dimensi waktu ke dalamnya? Kenapa? Karena waktu kita terlalu berharga. Kita sudah rugi dan terkadang keuntungan materi belum menutup lobang rugi itu. Saat ini concern saya seputar transfer ilmu dan pengalaman dalam keluarga. Salah satu konsep yang ibu ajarkan adalah insourcing. : memberdayakan/memaksimal potensi sumber daya yang dimiliki. (yes, lawan katanya outsourcing, dimana kita memberdayakan 'resource' di luar 'sistem').

Pendidikan di sekolah (kesan saya saat ini, kejar target kurikulum beres) ibarat membangun rumah dikasih tenggang waktu 2 minggu, misalnya, Pondasi harus jadi, inspeksi, ok 80% (lulus), lanjutkan. Padahal semen belum kering kering dkk, akhirnya demi mengejar waktu, pembangunan dilanjutkan ke lantai pertama, inspeksi lagi lulus 60%, dilanjutkan lagi pembangunan lantai berikutnya, dst. Hingga akhirnya ada rumah yang roboh, collapse karena sistem "evaluasi" dari inspeksi yang dilakukan sebenarnya tidak sesuai. Siapa yang disalahkan? inspector? tukang? Di sini, sistem yang salah, eksekutor yang ketempuhan. 

Pendidikan akademis di sekolah  memang penting, namun lebih penting lagi pendidikan tentang bertahan hidup di dunia dan suskes di akhirat. Seberapa banyak hasil belajar di sekolah yang sekarang bermanfaat? lebih banyak mana dengan hasil pendidikan dalam keluarga?

Manusia adalah makhluk organik, bisa berubah bila kondisi sesuai. Musim semi 2016 lalu, ada fenomena menakjubkan , Super bloom di Death valley California. Akhir tahun 2015 gurun yang kering yang selama puluhan tahun tidak mendapat air, dengan kuasa Allah mendapatkan hujan rintik-rintik. Sekitar bulan Maret 2016, bunga-bunga bermekaran di sana, Death valley menadi warna-warni dengan bunga, bukan "lembah mati", dia hanya menunggu saat yang tepat menumbuhkan potensinya.  Demikian pula manusia, dia akan tumbuh kembang  maksimal bila mendapatkan kondisi yang sesuai.


Kesimpulan saya saat ini, pendidikan formal akan membantu kita mendapat pekerjaan diperusahaan orang lain, cukup baik untuk menghasilkan active income selama sekitar 20 tahun, lalu modal finansial itu kita maksimalkan dengan kebiasaan dan gaya hidup untuk bisa "pensiun" dini dengan aset-aset produktif. Bila kita harus bekerja lebih dari 20 tahun dan masih ada tanggungan (cicilan?), rasanya pendidikan formal itu tidak cukup baik untuk menjadi perantara rejeki, atau ada yang salah dengan pola hidup kita. (Saat ini saya sudah bekerja selama 7 tahun selepas dari bangku kuliah. 2018 adalah tahun ke-8 saya bekerja, target saat ini, 12 tahun lagi saya tidak perlu bekerja untuk tujuan materiil). Untuk kasus tertentu ada bidang-bidang dengan gaji sangat besar yang memungkinkan pensiun dini kurang dari 10 tahun bekerja, bila resource dikelola dengan baik.

Dengan konsep Insourcing yang dipraktikan ibu kami di rumah, kami belajar menanam, beternak ayam, menyajikan makanan di atas meja makan hampir semuanya dari halaman sendiri. Saat harga ayam/daging mahal, ibu menggantikan menu dengan ikan, tahu dan tempe sebagai sumber protein. Jadilah menu ajaib garang asam lele (biasanya ayam), lintingan ikan (pepes dengan balutan kelapa muda parut bumbu kuning) dan berbagai "inovasi" lainnya. Masa itu menjahit baju sendiri lebih murah dibandingkan beli (kami hanya beli baju baru saat lebaran) dan menambal baju sobek adalah hal biasa. Alih-alih melakukan outsourcing untuk membersihkan rumah, kami mendapat jadwal dan wilayah masing-masing untuk menyapu dan mengepel lantai, seminggu sekali membersihkan kaca jendela dan 'memfurnish' meja kursi dengan kemiri.

Kadang saya kelewat kreatif, mau membetulkan radio, tapi malah rusak. (saya belum lulus SD saat mulai main-main dengan elektro). Prestasi saya adalah membetulkan bel rumah saja :-P 

Insourcing ini benar-benar membentuk mindset saya, bahwa resource adalah sesuatu yang harus optimal, tidak boleh mubazir, sekaligus menjadikan kami super kreatif saat melihat bahan-bahan yang berserak di sekitar. Istilah keren saat ini adalah gaya hidup minimalis, selain terhindar dari impulsive consumption, juga menjadikan jalan menuju kebebasan waktu (atau bebas finansial  pada frame yang lebih luas). Waktu adalah salah satu resource itu dan jatah kita sudah tertulis...  saat ini waktu bersama keluarga menjadi prioritas, commuting sesingkat mungkin, interaksi harus maksimal, komunikasi harus optimal, transfer ilmu dan pengembangan diri harus difasilitasi.

Dari Ibu saya belajar bahwa kita hanya akan mengantarkan anak-anak kita pada gerbang kemandirian dengan pola pikir yang dibiasakan sebelum dewasa, lalu mereka akan bebas bertebaran mencari rejeki Allah di muka bumi, belum tentu orang tua akan "dirawat" oleh anak-anaknya saat tua. Belum tentu anak-anak kita akan bersama saat masa tua. Ibu meninggal saat kami belum puas berbakti, tetap berkarya menjahitkan baju buat cucu-cucunya, memasakkan makanan kesukaan anak-anaknya,  berkontribusi ke keluarga besar dan lingkungan tempat tinggal, hingga akhir hayatnya. Saya sempat kaget saat melihat tabungan ibu, jumlahnya cukup besar sehingga saya berpikir bahwa ibu tidak menggunakan uang yang saya kirimkan. Mungkin ibu tidak butuh. Saat kakak saya memeriksa lemari, ada lembaran uang seratus ribuan diniatkan untuk qurban (kira-kira setengah harga kambing).  Ada juga sejumlah uang untuk "menikahkan" adik saya kelak. Betapa banyak urusan yang lebih diutamakan daripada kebutuhan pribadi almarhumah.....


Tahun ini anak sulung saya akan mulai mengenang berbagai peristiwa dan pelajaran dalam alam sadarnya, sel-sel otaknya akan mulai bersambungan secara sempurna, menyajikan logika, mulai paham sebab-akibat, kesimpulan dan mengambil keputusan. Saya tidak tahu jatah usia ini, semoga cukup untuk mendidik anak-anak kami menjadi insan yang bebas dari rugi.


ReAD MoRE・・・

Friday 26 January 2018

Tentang Mubazir (di OC)

Masih tentang hidup di US, khususnya di Southern California, lebih khusus lagi di Orange County (OC). Berdasarkan pengamatan selama 3 tahun terkahir, berikut adalah hal-hal yang mubazir/tidak efisisen. 

1. Dryer. OC mendapat cahaya matahari hampir 100% sepanjang tahun. Saya tidak melihat keuntungan memakai dryer untuk cucian. Pemakaian listrik bertambah, serat pakaian lebih cepat rusak, warna baju lebih cepat pudar. Dryer berfungsi bila kita perlu baju motor jadi bersih dan dikeringkan pada hari yang sama, namun di OC, saya tidak merasa ada kebutuhan ini. Solusinya : pakai mesin cuci, jemur di bawah matahari (bila memungkinkan) atau dalam ruangan. Insyallah pakaian lebih awet dan kita telah berpartisipasi dalam penghematan energi dan biaya. 

 2. Mobil. Saya setuju bahwa mobil jadi kebutuhan wajib di amerika secara umum. Pemakai sepeda hanya sekitar 1% dari populasi. Tapi, lebih dari satu mobil dalam 1 rumah tangga tidak efisien. Secara teori kita beraktivitas bebas tanpa mobil dalam radius 3 mile (sekitar 5 km) dari rumah. Artinya tempat kerja, sekolah Dan tempat belanja harus bisa terjangkau tanpa mobil. Di OC, selain diberkahi dengan cahaya matahari juga tidak pernah turun salju. Sistem sekolah umum berdasarkan wilayah tempat tinggal ternyata tidak menjadikan kaki lebih ringan melangkah, anak tetap antar jemput dengan mobil ke sekolah. Akibatnya? Kemacetan lokal karena antrian mobil untuk ratusan siswa berlangsung bersamaan pada bel masuk Dan pulang sekolah. 

3. Commuting. Selain waktu yang terbuang, ada konsumsi energi dan pikiran (stress?), juga resiko kesehatan dan keselamatan dalam perjalanan. Solusinya : cari tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerja. Waktu pagi akan lebih produktif untuk komunikasi keluarga, berkebun atau membereskan rumah.

4. Ruangan. Rekomendasi pemerintah (bukan regulasi) yang diterapkan sbg aturan sewa membuat sulit mencari apartment yang sesuai kebutuan. Kami yang saat ini cukup dengan 1 bedroom, harus menyewa 2 bedroom, karena max occupant utk apartement 1 kamar adalah 3 orang. (Anak2 masih balita dan tidur dlm kamar yg sama meski pisah kasur). 1 ruangan tidak terpakai. Solusinya : bila memungkinkan, jadikan alat menambah income : sewa/a**bnb. 

 5. Makanan. Secara umum, porsi makan di restaurant lebih dari kebutuhan perut, sehingga hampir selalu ada sisa. Yes, dibuang. Solusinya : bawa pulang atau pesan sesuai kebutuhan. Kebiasan meminimalisir sampah perlu diterapkan. Bila membuat memasak makanan sendiri, habiskan. Energi,waktu, pikiran untuk berbelanja, memikirkan menu, memasak dan menyajikan menguap sia-sia setara dengan makanan jadi yang masuk bak sampah. 

6. Tungku Api/Pemanas. Musim dingin tidak terlalu mnggigit tulang, namun ada rumah/bangunan (tua?) yang dilengkapi dengan tungku di ruang keluarga. Biasanya memakai bahan bakar gas dan dibayar lewat HOA. Artinya dipakai atau tidak, tetap bayar iuran. saya jadi ingat kotatsu atau selimut listrik saat di Jepang, menghangatkan lokasi di sekitar manusia saja, tidak perlu seluruh ruangan. (AC terkadang masih diperlukan karena musim panas bisa panas & lembab sekali, tapi tidak perlu menyala 7 hari seminggu terus menerus) 

7. Garasi. Mobil biasa diparkir di carport atau pinggir jalan, garasi dialih fungsikan menjadi gudang. Jadi sebenarnya.... tidak perlu garasi, ya? barang-barang yang digudang sebagian besar adalah barang-barang yang tidak terpakai. Sewa gudang sebenarnya wajar bila kita pindahan, satu atau dua bulan lah ya, buat penyimpanan sementara. Tapi di Amerika sewa gudang bisa bertahun-tahun, artinya, sebenarnya barang-barang itu tidak diperlukan bukan? Saya jadi ingat tentang acara TV dimana gudang sewaan yang sudah tahunan tidak diakses pemiliknya akhirnya dilelang. Eh, jadi peluang usaha :P

 *saya termasuk yang geregetan dengan perilaku 'mubazir' : membuang makanan (bukan anak kecil); tidak menutup kulkas; menyalakan TV tanpa ditonton; naik mobil untuk jarak dekat; meyimpan barang yang tidak terpakai; setiap tindakan mubazir ada konsekuensinya, entah berupa tambahan biaya atau pemborosan energi = penghamburan harta. Dalam skala kecil kebiasan seperti ini damapak buruknya tentu tidak besar, tapi bila setiap orang dalam sebuah negara perilakunya sama, dampaknya bisa ke stabilitas ekonomi negeri itu. Bacaan : buku2 Juliet Schor*


ReAD MoRE・・・

Friday 19 January 2018

Tentang Sewa atau Beli Rumah

Keputusan sulit bagi setiap keluarga. Kabar baiknya, NY Times pernah menuliskan artikel dan membuat simulasi keuangan untuk kebutuhan dasar manusia akan papan ini, di Amrik tentu saja. Silakan telusuri. Bisa juga diseusaikan untuk negara lain saya kira, akan sangat membantu memberi gambaran apakah uang yang akan kita bayarkan sebanding dengan biaya/harga. Ada juga versi video penjelasan soal sewa vs beli di US, silakan akses video di  khan academy, excel file juga tersedia.

Faktor pertimbangan dalam link di atas jauh lebih kompleks dibandingkan kesimpulan sementara saya selama ini :

 +=+=+=+=+ 
Sewa : kalau sewa bulanan kurang dari 0.5% nilai properti. 
Beli : kalau sewa bulanan lebih dari 1% nilai properti. 
Antara 0.5% - 1% ,nilai wajar, pertimbangkan kemampuan finansial saat itu :-) 
Nilai bangunan rumah di amrik berkisar $100-200 per square feet, atau 15-30 juta per meter persegi, karena harga tanah relatif murah, biasanya orang menaksir nilai properti dari luas bangunan saja. 

Untuk harga di Indonesia saat ini (dengan kualitas yang bagus), perkiraan saya harga per meter perseginya 2-6 juta rupiah. Bila harga suatu properti satu milyar dengan luas tanah 100 meter persegi dan luas bangunan 60 meter persegi, nilai bangunannya paling mahal 360 juta, harga tanah sekitar 6 juta per meter persegi. Ini untuk rumah baru dibangun, tentu saja.  Harga sewa yang masuk akal adalah kurang dari 60 juta setahun. (6% dari 1 Milyar).

Untuk rumah tipe 36 , luas tanah 72 m2, dengan 2 kamar tidur, 1 kamar mandi  untuk keluarga muda, nilai intrinsiknya sekitar  300jutaan. Harga sewa yang masuk akal kurang dari 18 juta rupiah setahun.

Bila rumah sudah dibangun lebih dari sepuluh tahun yang lalu, nilainya tidak akan setinggi ini. Namun... harga tanahnya yang mahal, biasanya, karena kota berkembang. Dipilih karena lokasi...

Selanjutnya menyesuaikan dengan budget masing-masing.
 +=+=+=+=+=+


Dengan harga rumah di OC yang tinggi, secara umum, lebih baik baik menyewa, apalagi jika kurang dari 5 tahun. masalah tempat tinggal ini benar-benar menyesuaikan visi misi jangka menengah/panjang sebuah keluarga.

Rumah adalah kebutuhan dasar, memiliki sertifikat rumah adalah pilihan. Secara ideal rumah menjadi pusat aktivitas, bukan hanya sekedar tempat tidur dan menyimpan barang. Artinya, lokasinya harus cukup dekat untuk aktivitas dengan berjalan kaki atau sepeda sehari-hari : sekolah anak dan kantor orang tua, tempat belanja kebuthan sehari-hari.

Sangat tidak efisien jika untuk aktivitas sehari-hari ini perlu ditunjang kendaraan roda empat. Terkecuali darurat : ada orang tua atau anak balita. Bila anggota keluarga cukup sehat fisik dan matang akalnya untuk kegiatan mandiri, rumah yang dekat dengan fasilitas aktivitas anggota keluarga sudah jelas pilihan utama. (halaman belakang, garasi, luas rumah dkk bukan faktor pokok).

Istri saya sudah menyatakan dengan jelas keinginan memiliki (sertifikat) rumah. Artinya bila ingin memaksimalkan rumah tersebut, kegiatan sosial-ekonomi anggota keluarga harus terpusat dalam jejari 5 km, maksimal 30 menit naik sepeda. Terkadang masalah sekolah anak yang jadi pertimbangan, namun insyallah akan saya bahas di tulisan berikutnya tentang solusinya.

Pengalaman pribadi saya sendiri, SD saya berada di seberang rumah. Bila saya lupa minum susu atau sarapan, maka almarhumah ibunda akan membawa gelas/nampan ke depan gerbang sekolah, lalu teman-teman & kakak kelas (yang sebagian besar tetangga) sudah hafal kebiasaan ini dan mencari saya untuk dihadapkan ke ibunda. :-P Itu kalau saya lagi rajin. Kalau sedang malas, maka baru berangkat  5 menit sebelum bel masuk berbunyi. Nyaman sekali bukan? Ortu tidak perlu antar jemput. Sebuah kemewahan sederhana.

Saya sendiri memimpikan rumah sederhana yang efektif, tidak banyak barang dan pemakaian ruang bisa maksimal. Pengalaman hidup di Jepang banyak berpengaruh. Ruang tidur dengan tatami dan futon akan menghemat ruang, tidak memerlukan dipan, jemur "kasur" lebih mudah, juga lebih sehat karena tempat tidur bisa 'disterilisasi' dengan sinar matahari. Kasur pegas? terlalu berat untuk dijemur.

Saya akan memerlukan halaman yang cukup luas untuk ternak ayam & ikan, serta menanam buah dan sayuran. Mahal donk... Mungkin saja. Namun bila tinggal di rumah seperti ini, artinya saya tidak commuting ke kantor dan bekerja 8 jam di luar lagi. Dengan memiliki sertifikat rumah dan rumahnya ditempati sendiri, kebutuhan dasar berupa sandang, pangan dan papan insyallah terpenuhi, saatnya pensiun dini, bekerja menekuni hal yang disukai. Yey! PR besar lagi :family resilient and flexibility.


Satu lagi, memilih rumah = memilih lingkungan, hal ini terkait dengan tetangga, keamanan, dan ketentraman batin. Pola  Keep up with the Joneses, tentu saja bukan pilihan lingkungan yang bagus. Saya masih mengalami lingkungan dimana kita akan meminta tolong ke tetangga sebelum memanggil tukang saat ada masalah di rumah, saling memberi/meminta bumbu dapur lalu mengembalikan dalam bentuk masakan, pengajian lingkungan dari rumah ke rumah, saling sapa saat ketemu di jalan, dsb. Interaksi dengan manusia sangat menentukan kenyamanan. Bila waktu sehari-hari dipakai untuk 3-4 jam commuter, 8 jam bekerja lalu weekend digunakan untuk jalan-jalan, akan lebih sulit membangun koneksi 'batin' dengan tetangga. Ketergantungan akan mobil lebih mengikis lagi nilai sosial ini. Fenomena tidak kenal/bicara dengan tetangga kanan kiri sudah terjadi.


ReAD MoRE・・・

Thursday 18 January 2018

Tentang Skill Dasar

Tercetus dari komentar mertua tentang pekerjaan rumah tangga dan laki-laki, pikiran saya melompat tentang keahlian manusia dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Yes, betul. Pangan, sandang dan papan. Saat ketiganya sekarang ini sudah terbeli dengan uang, bagaimana keterkaitannya dengan biaya hidup? Seberapa banyak generasi muda yang terbiasa menanam di pekarangan, menyembelih unggas dan membersihkan bulunya, memancing ikan, memasak, mencuci dan menjahit, serta memiliki skill dasar tukang kayu, tukang cat, tukang las dan tukang listrik? 

Untuk saya sendiri, alhamdulillah bisa dikatakan saya menguasai skill terkait sandang dan pangan.  Pahala untuk almarhumah ibunda yang menghadirkan lingkungan kondusif saat masa kecil saya belajar skill tsb. Tapi mengenai papan, jauh panggang dari api. Saat kecil (SD, SMP), saya bisa membetulkan atap, tapi tidak hal-hal yang berhubungan dengan kayu atau besi. Sekarang keahlian dasar mengelas (besi), tukang kayu dan tukang listrik menjadi 3 skill yang ingin saya kuasai.

Saya mendambakan sebuah keluarga yang berdikari. Hal ini sulit terwujud bila makanan yang tersaji selalu terbeli, baju yang dipakai selalu dipendekkan orang lain, dan perbaikan rumah harus selalu dimintakan bantuan orang lain.

Hal-hal mendasar seperti ini akan terasa sangat besar manfaatnya secara finansial saat hidup di amerika. Serius. Bahan-bahan mentah di Amerika boleh dikatakan lebih murah dari Indonesia. Makanan (sembako, sayur, ayam, daging sapi dan buah), baju dan tanah, boleh dikatakan lebih terjangkau. 

Bila bisa memasak sendiri, bisa me-adjust ukuran baju sendiri dan membangun rumah sendiri, biaya hidup di Amerika akan lebih ekonomis. 

Berikut hitungan kasarnya (untuk single di gretater Los Angeles) selama satu tahun: 
1. Makanan 
  Masak sendiri :Bahan pangan $20/minggu, gas/listrik untuk memasak sangat murah, $3/minggu, sebulan $92
   Beli Makan 3x sehari (murahnya $8 sekali makan) = 3x$8x30 hari = $720 (belum buah dan snack, tidak termasuk tips)
 (Penghematan : $628/bulan)
2. Angkutan (asumsi jarak rumah-kantor 10 mile)
    Bus + sepeda : $70/bulan (perlu fisik yang sehat untuk bike to work) 
    Mobil : 2 x 10 x 0.545 (biaya commuter dari IRS)x 20 hari = $218 + asuransi $100 = $318, cicilan bulanan $300 = $618 (belum PKB dan parkir, resiko kecelakaan, dkk) 
 (Penghematan : $548/bulan) 
3. Pakaian 
   Baju tidak beli tiap bulan, biaya adjustment jahit sekitar $10 dolar. (kadang jadi lebih mahal dari bajunya sendiri)
4. Rumah 
   Harga rumah jadi sangat mahal, bahkan bila beli rumah rusak dan diperbaiki dengan membayar orang lain, masih tetap mahal. Bila dilakukan sendiri, dari beberapa referensi, biayanya sekitar 20-30% dari membayar tukang. Biaya membangun rumah rata-rata $200/sq ft. Memiliki rumah masih menjadi tantangan besar saat ini.  Untuk perhitungan kali ini, harga sewa untuk apartement studio sekitar $1200/bulan. 

Sekilas biaya hidup single dengan memiliki skill dasar :$16,344 (si A) versus (si B) $30,456 (hampir 2 kali lipat!). UMR di California untuk 2018 adalah $11/jam (gross). 

B perlu bekerja setidaknya 230 jam/bulan atau 11.5 jam sehari untuk bertahan hidup. A perlu bekerja 123 jam/bulan atau 6.2 jam sehari -masih wajar- 

 Bila si A dan B bekerja dengan income yang sama namun gaya hidup yang berbeda, dalam 10 tahun perbedaan tabungannya sebear $140,000! (sayangnya $140K belum cukup untuk membeli condominium/rumah di LA atau OC :-P, intinya kalau mau bisa beli rumah dalam 10 tahun, jangan terima gaji UMR! Berita bagusnya $140K bisa dipakai DP, lalu sebagian renovasi rumah dilakukan sendiri, biaya sewa apartemen untuk cicilan bulanan, masih masuk akal, bukan?) 

Kesimpulan sementara untuk mengakali biaya hidup di Amerika : 
1. Tinggal dalam jarak kurang dari10 mile ke tempat kerja, gunakan sepeda/transportasi umum.
2. Bila perlu kendaraan, beli mobil bekas yang reliable dan hatcback (ScI0N X/H0nD@ Fit/TOY**a Y*RI*, kalau perlu sedan, Coro*a adalah salah mobil bekas terlaris, reliable dan murah). Max mileage pemakaian adalah 200K, cari yang dibawah 50K miles. 
3. Masak sendiri, bawa bekal makan siang. 
4. Bentuk mindset bahwa mobil adalah sebuah kemewahan yang dipergunakan sesekali untuk kebutuhan penting, bukan untuk dipakai setiap hari.
5. Bentuk Mindset bahwa Credit/Hutang adalah hal emergency yang harus segera di atasi (budaya gaya hidup dengan hutang = normal, di negeri ini, waspadalah!)

Terkait dengan skill dasar, semoga kami bisa mengajarkan anak-anak kami kemampuan dasar bertahan hidup dengan mengenali Tuhannya, mahir membaca lingkungannya serta punya financial literacy (baca: bebas secara finansial sebelum 30 tahun). Kemampuan ini akan membuat mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan dimanapun mereka nantinya bertebaran di muka bumi.


ReAD MoRE・・・

Thursday 11 January 2018

Tentang Kartu Kredit & Hutang

Salah satu hal yang membuat shock di tahun pertama saya di amerika adalah betapa negara ini sangat mengandalkan kredit untuk kegiatan ekonomi. Kartu kredit sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal jebakan kartu kredit dan system ini sudah beberapa kali terbukti gagal meningkatkan taraf hidup rakyatnya. Kesenjangan ekonomi menjadi semakin lebar.
Tahun pertama harus dilalui dengan memutar otak agar bisa menyewa apartemen atau membeli kendaraan. Alasannya? Saya tidak punya kredit score. 

Yes, dengan system perekonomian yang berdasarkan hutang, bila anda belum pernah berhutang dan membayar transaksi terkait hutang, anda tidak punya kredit skor. Tidak punya skor itu lebih buruk daripada memiliki skor yang buruk. Wew. 

Saya pada akhirnya bisa menyewa apartemen dan membeli kendaraan dengan bunga 0%, tapi pilihan untuk itu tidak banyak. 

Saya tahu bahwa krisis finansial tahun 2008 diakibatkan oleh kredit subprime, gagal bayar sebab bank mengucurkan kredit untuk masyarakat yang sebenarnya tidak sanggup membayar angsuran. Namun saya baru ‘ngeh’ bahwa krisis itu disebabkan karena keserakahan bank! Bunga untuk pinjaman ditetapkan dari credit score seseorang, secara rata-rata 5%. Tapi bila terlambat membayar akan kena administration fee dan denda. Tahun 2008 pendapatan 60% keluarga amerika ditopang oleh 2 sumber, suami dan istri yang bekerja di luar rumah, dual income family sudah menjadi hal yang lumrah.

Keluarga menengah ke bawah biasanya bekerja dengan gaji yang dihitung per jam. Bila terjadi sesuatu dalam keluarga, maka salah satu suami atau istri harus sementara tidak bekerja untuk mengurus keluarganya. Taruh anak sakit, sumber pendapatan keluarga akan berkurang karena ibu tidak bekerja, sementara tagihan bulanan (rumah, mobil, asuransi mobil, kesehatan) harus dibayar. Pada suatu titik, tagihan tersebut tidak lagi mampu dibayar karena gap pendapatan dan pengeluaran makin lebar. Salah satu penyebabnya adalah orang cenderung mengambil barang termahal yang sanggup dicicil, bukan barang paling terjangkau yang bisa berfungsi sebagai kebutuhan. 

Dalam hal cicilan rumah, bank menawarkan re-financing : melunasi hutang pada bank lain, lalu peminjam mencicil ke bank baru. Bunganya? Naik secara rata2 jadi 15%. Dengan kata lain, pencicil rumah hanya terbebas dari satu hutang, ke hutang lain yang lebih jahat, hingga akhirnya meletus lah krisis dan para pencicil gagal bayar harus kehilangan rumahnya. 85% credit sub-prime ini di re-finance. Apakah ini membantu keluarga miskin? Orang tua, keluarga muda yang tidak paham dan kaum minoritas yang akses finansialnya terbatas adalah sasaran kredit jahat ini!

Dengan gagal bayar, kredit skor seseorang menjadi jelek dan akses untuk mendapat hutang sehat menjadi tertutup. Ada solusinya? Yes, kartu kredit bisa diberikan dengan bunga sangat tinggi, hingga 41% dalam setahun. Karena kebutuhan dasar harus dipenuhi, pilihan buruk ini pun diambil dan semakian dalamlah  hutang itu tergali….

Belum selesai sampai di situ, bila kredit skor sudah sedemikian buruk, sekarang bank tidak lagi memberikan akses. Buka rekening di bank? Tidak bisa. Sementara itu gaji biasanya diberikan bukan dalam uang tunai, namun cek. Bila seseorang tidak punya rekening di bank, dia harus mencairkan cek itu ke ‘lembaga pencair cek’ dengan membayar komisi dan fee lainnya. Biaya lagi.

Dengan system perekonomian yang semakin canggih, tidak mempunyai akses rekening elektronik/digital menjadi sebuah problema sendiri. Tidak bisa membeli sesuatu dengan uang tunai, maka harus membuat ‘kartu transaksi sendiri’ dengan lembag keuangan bukan bank. Anda memasukkan uang tunai, yang kemudian diubah menjadi uang elektronik. Dan tentu saja ini tidak gratis. Terbaca polanya? Cek –uang tunai—uang elektronik. Seseorang tanpa akses perbankan harus mengeluaran biaya ekstra untuk bisa melakukan transaksi ekonomi.

Data dari biro sensus pemerintah menunjukkan bahwa gaji rata2 keluarga amerika tahun 2011 sama dengan gaji pada tahun 1989, padahal tahun 2011 lebih banyak keluarga dengan dual income.
Sekolah di amerika gratis dari TK sampai SMA, namun wilayah dibagi  menjadi distrik2 sehingga para keluarga akan berebut untuk tinggal di distrik yang ranking sekolahnya bagus. Akibatnya, harga rumah dan sewa apartemen di distrik sekolah yang bagus akan meroket. Secara rata-rata naik 70% dalam 30 tahun. Saya membaca kontrak sewa property dalam 5 tahun, tiap tahun naik 5%. Bila sewa apartemen per bulan saat ini 1500 dolar, dalam 20 tahun akan naik dua kali lipat!

Seiring dengan meroketnya harga property, sebagian besar keluarga hanya akan mampu menyewa. Kepemilikan property akan berubah dari individu ke perusahaan-perusahaan besar, sehingga control terhadap kenaikan harga property semakin dikuasai konglomerasi raksasa. Siapa yang memiliki asset riil rumah itu? Saat krisis dan Saham yang berguguran, siapa yang sekarang menjadi pemiliknya?
Bayangkan bila pendapatan stagnan, mau tidak mau harus ada sumber pendapatan lain untuk kelurga. Istri harus bekerja, bukan pilihan.

Penegluaran untuk rumah 70% up, kendaraan harus punya dua, 12% dari income untuk membayar cc, dan….kelas menengah dalam satu tahun membayar 90 milyar dolar untuk bunga kartu credit! Bunganya saja.

Untuk mencapai taraf kehidupan yang setara dengan orang tuanya, generasi milenial harus bekerja dengan sangat-sangat-sangat keras. Status kelas menengah yang dahulu bisa dicapai dengan pendidikan SMA sekarang bahkan sulit digapai dengan gelar sarjana. Sementara itu biaya pendidikan tinggi juga teramat tinggi, memunculkan solusi perampas kesejateraan masa depan : student loan.

Lulus dengan gelar sarjana belum tentu langsung mendapat kerja, para mantan mahasiswa ini akhirnya kembali tinggal dengan orang tuanya, bekerja paruh waktu untuk membayar tagihan bulanannya. Mereka yang diterima bekerja sudah terkena beban cicilan student loan, membayar cicilan mobil dan paling besar biaya tempat tinggal. Tingginya biaya hidup membuat usia menikah menjadi semakin tua, solusi lain pun hadir : tinggal bersama tanpa ikatan, terkadang beberapa anak biologis terlahir dari pola hidup seperti ini, sebaliknya ada pula, menikah dengan status DINK, double income no kid(s).

Orang tua yang menikah dan memutuskan untuk mempunyai anak akhirnya harus terus ‘berlari’ untuk sekedar survive. Bisnis daycare pun berkembang pesat.

Satu tahun ini saya merasa sangat tidak nyaman dengan system yang berlaku di negeri ini. Di negara bagian tempat sekarang saya tinggal, biaya hidup termasuk yang paling tinggi di US. Orang-orang terasa ‘berlari terus’ untuk sekedar memompa jantung keuangan. Semua dihitung dengan materi  yang sarat perangkap di sana-sini, digelembungkan dengan hutang yang menghancurkan. 

Saya jadi ingat supernova yang cahayanya akhirnya sampai bumi dan bisa dilihat  dengan mata telanjang bulan Juni 2015 di Chile. Para ilmuwan menamakannya, ASASSN-15lh: Supernova paling benderang yang pernah tercatat dalam sejarah, kalau terjadi di galaksi kita, bumi bisa mengalami siang terus selama berminggu-minggu. Alhamdulillah, bintang ini berasal dari galaksi yang jauh.

Usia bintang yang mengalami supernova ini 3.80 milyar tahun cahaya. Artinya supernova terjadi 3.8 milyar tahun yang lalu dan kita baru bisa menyaksikannya di bumi, 3 tahun lalu…. MasyaAllah.

Saya teringat dengan hutang, dia terjadi sekarang, akibatnya bisa bertahun-tahun kemudian, kita kenal dengan krisis keuangan. Krisis ini bisa terjadi di negeri yang jauh dan kita hanya mendengar beritanya saja, tidak tahu dahsyatnya seperti apa.

Bila kita tidak punya uang, tapi perlu suatu barang, kita akan berhutang. Malu-malu pinjam ke orang, perlu saksi dan tercatat, bila mengikuti ajaran islam. Hutang adalah beban, tapi di negeri ini akses hutang semudah menggesek kartu dalam genggaman. Tidak punya kartu kredit? Jangan kuatir, begitu anda punya kredit skor yang bagus, kartu kredit diantarkan sampai pintu rumah anda, tawaran datang bertubi-tubi. 

Jangan sampai budaya hutang mendarah daging hingga orang sudah tidak tahu arti “uang” lagi. Financial literacy terasa penting sekali.


ReAD MoRE・・・

Wednesday 10 January 2018

Tentang Mobil di Amerika

What? Udah tahun ke-3 aja, gak kerasa... padahal anak kedua saya yang lahir di negeri ini akan 2 tahun umurnya tahun ini. Ha! Tahun ini si sulung akan masuk TK, jadi, apa perlu mobil satu lagi untuk antar jemput? Ya, itu pikiran yang umum muncul di keluarga murica.

Yang cukup mengherankan saya saat ini adalah betapa populernya mobil sebagai sarana transportasi di sini. Secara umum, jumlah mobil dalam satu rumah tangga = jumlah orang dewasa yang tinggal di rumah tersebut. Padahal mobil termasuk barang terseier di Indonesia, dimana tanpa memiliki mobil pun kehidupan berlangsung baik-baik saja....

Mobil adalah salah satu expense terbesar bagi warga yang tinggal di US. Tata kotanya kurang mendukung masyarakat untuk aktivitas tanpa mobil. Jalan-jalan baru dibangun untuk mempermudah akses mobil, pengguna mobil bertambah karena akses mudah, macet, tambah jalan, dst, menjadi lingkaran setan. 

 Mobil yang dulunya adalah ancaman bagi kehidupan di kota, sekarang menjadi prioritas. Jalan khusus (tol/freeway); pejalan kaki dibatasi aksesnya, hanya boleh menyebrang di zebra cross, bahkan bila mobil menabrak pejalan kaki, diusut sebagai pelanggaran lalu lintas, bukan kasus criminal. Lokasi parkir dibuat sangat Luas, bahkan untuk membangun gedung, dibuat aturan alokasi lahan untuk parkir. Luar biasa sekali perlakuan terhadap mobil. Tambahan biaya lagi, asuransi mobil adalah wajib, bila ketahuan tidak memiliki asuransi akan didenda. Untuk satu mobil biasanya $100-$200/ bulan.

 Kebiasaan orang secara umum akan memilih mobil paling mahal yang mampu dibeli. Rata-rata cicilan $400/bulan. (yes, betul, orang jarang beli mobil dengan tunai) Tentu saja berkendaraan perlu bahan bakar, rata-rata $200/bulan (dengan jarak tempuh 1,000 miles per bulan). Maintenance resmi (6 bulan sekali), $300 Parkir di area rekreasi atau bandara (asumsi 1 bulan sekali ) : $50 Dalam satu tahun biaya untuk 1 mobil :$10,800. Income Percapita di California $29,527 ! (untuk kasus di atas 36% gaji untuk mobil, belum termasuk waktu yang terbuang)

Tahun ini saya meniatkan untuk tidak menambah populasi mobil. Pemakaian mobil hanya untuk jarak tempuh PP lebih dari 40 miles. Ke kantor pakai sepeda, pilihannya adalah cari tempat tinggal yang cukup dekat sehingga memungkinkan bike to work. 

Di negeri ini mobil dipakai ke segala tempat, jauh maupun dekat. Belanja sehari-hari, antar jemput anak ke sekolah, commuting ke tempat kerja. Hal ini menyadarkan saya betapa desain suatu kota sangat mempengaruhi gaya hidup penduduknya. Dengan memakai mobil ke tempat kerja (1 mobil dipakai sendiri), memubazirkan seat lain di mobil, menambah resiko kecelakaan mobil di jalan, terperangkap dalam kemacetan dan sulit melakukan kegiatan produktif selama macet, depresiasi mobil lebih cepat, dll. 

Rata-rata orang akan membeli mobil termahal yang masih terjangkau. Tunai? Credit donk. Biaya siluman mobil baru dengan credit ini banyak sekali : bunga cicilan, asuransi mobil baru (lebih mahal dibanding mobil bekas,), efisisensi (galon/mile), biaya parkir, PKB, maintenace, dkk... Hitungan kasar pengeluaran tahunan per jarak 1 mile ke kantor adalah $795 bila dilakukan dengan mobil. Mendekati 1 mile ke tempat kerja = hemat $1590 setahun. (Biaya per mile/tahun = $170 per untuk materiil (ingat bahwa harga bensin di amerika murah sekitar Rp9.000/liter) +  6 menit (waktu tempuh) x $25/jam (harga waktu anda) x 25 hari kerja x 12 bulan =$625)

Rekan kerja di kantor menganggap commuting 40 miles sehari (3 jam) adalah wajar. Salah satu alasannya adalah  tinggal di school district yang bagus. Tapi bagaimana bila waktu 2 jam untuk commuting bisa dimanfaatkan untuk belajar dan bermain bersama anak? Seberapa besar pengaruh "sekolah bagus" untuk anak kecil? Saat ini saya merasa bonding orang tua dan anak sebelum mereka baligh adalah sangat penting. SD tidak perlu yang favorit/competitive, tapi yang dekat dengan rumah dan tempat kerja. Anak lebih perlu belajar cooperative dibandingkan competitive.

Saya rindu saat-saat naik sepeda di Jepang untuk belanja keperluan sehari-hari dan memakai transportasi publik untuk bepergian. 


ReAD MoRE・・・