Monday 30 November 2015

Oleh-oleh dari Masjid Raya Bogor

Kali ini ringkasan dari kajian Ust. Budi Ashari di Masjid Raya Bogor, 29 November 2015.

Bogor diguyur hujan deras, jalanan macet karena banyak acara berlangsung di hari dan kota yang sama. Sedang berlangsung festival bunga buah nusantara, ada pula seminar wirausaha di salah satu hotel, belum aliran mobil yang hendak menuju Puncak maupun Jakarta. 

Saya sendiri naik kereta dilanjut angkot, PP hanya 14 ribu rupiah saja. Dari stasiun Bogor naik  03 turun di depan Masjid Raya. Pulangnya naik angkot 03 juga jurusan ke stasiun. Ongkosnya 4000 perak sekali jalan.

Berikut ringkasannya :

Kategori pendidikan dalam islam ada 5. 

1. Pendidikan spiritual. 
Ini yang paling utama, kata beliau. Pendidikan itu tidak hanya fokus pada IQ dan fisik saja, tapi juga soal ruh. Malaikat diperintahkan sudjud kepada Nabi Adam setelah ruh ditiupkan ke dalam jasadnya. Manusia itu baru lengkap saat ruhnya lengkap. Contohnya, belajarlah soal iman baru kemduian belajar al quran, sehingga dengan mempelajari Al Quran maka bertambahlah iman. 

2. Pendidikan akhlak 
Apa itu akhlak? Bisa dikatakan sebagai reaksi/tindakan spontan yang PERTAMA kita lakukan terhadap sesuatu. Jadi lebih mudah untuk evaluasi. (?). Bisa jadi beberapa waktu setelah reaksi itu kita menyesal, tapi potret akhlak kita adalah reaksi pertama kita. Apakah itu yang tercetus dihati atau keluar sebagai lisan ataukah terpancar dari ekspresi di wajah. --Yang ini cukup JlebBbB--- 

Adab sebelum ilmu. Terkedang kita lebih memerlukan segelas adab daripada seember ilmu, supaya tidak menjadi orang pintar yang punya banyak ilmu tapi miskin adab. 

3. Pendidikan sosial 
 Bekali anak agar punya karakter yang kuat, berprinsip, tidak mudah terbawa lingkungan. Kenapa? Supaya tidak mudah ikut-ikutan. 

4. Pendidikan ekonomi Salah satu yang dikhawatirkan rasullah bukanlah saat umatnya menjadi kaum fakir, tapi justru saat akses harta dunia dibuka seluas-luasnya, lalu orang-orang itu dibinasakan oleh (harta) dunia sebagiaman orang-orang terdahulu. Korupsi? Bisa jadi karena ada yang salah tentang pendidikan ekonomi dalam keluarga. Biasakan melakukan evaluasi. Nak itu uang darimana? Mau dipakai buat beli apa?. Well, nampaknya bisa dibiasakan untuk menanyakan DARIMANA dan UNTUK APA uang itu diperoleh. InsyaAllah akan tumbuh pola pikir yang betul tentang uang. Mau korupsi? mikir-mikir dulu.... 

5.Pendidikan Militer 
 Dimaksudkan agar anak punya fisik yang kuat dan siap berjihad. Tapi tentunya bukan untuk jadi teroris. Kurang lebih ringkasannya seperti di atas. 

Setelah didiskusikan dengan istri, maka kami setuju untuk lebih fokus untuk membentuk akhlak anak terlebih dahulu. Ini yang paling berat. Contohnya sudah ada, Muhammad SAW, tapi untuk bisa seperti beliau, adakah jalan yang mudah? Sebelum menjadi Rasul, Muhammad SAW sendiri sudah dikenal memiliki akhlak yang mulia. Lah, kami pegimane? Memperbaiki akhlak sendiri jadi PR besar sebelum bisa dicontoh oleh anak.

Saya teringat salah satu kisah saat beliau berkumpul di Masjid lalu datanglah seorang badui menghadiahkan anggur. Rasulullah memakan anggur itu sambil tersenyum. Lalu, diambil lagi satu anggur, dimakan sambil tersenyum. Begitu seterusnya sampai anggurnya habis. Para sahabat yang ada di masjid heran, karena mereka tidak kebagian. Penjelasan Rasulullah sangat menyejukkan, anggur yang dihadiahkan tadi rasanya tidak enak, sehingga beliau khawatir kalau dibagikan ke sahabat ada yang masam mukanya atau mengeluarkan perkataan yang menyakitkan si pemberi hadiah. MasyaAllah. Rupanya begitu caranya kita menghargai seserorang akan pemberiannya.

 Tentunya masih banyak contoh lain. Namun saat ini saya mendapat bahan introspeksi yang baik :hati-hati dengan ekspresi, kata-kata yang keluar pertama kali dan celutukan yang menjerit dalam hati.


ReAD MoRE・・・

Monday 10 August 2015

Empat Tahun Pernikahan : 25 Syawal 1432-1436H

Peringatan tanggal pernikahan seringkali menjadi momen yang tepat untuk melakukan refleksi. Menerawang kembali kejadian-kejadian di masa lampau: mengambil pelajaran, bersyukur, menyesal, menghadirkan kembali rasa-rasa yang bergelora. Sekaligus memproyeksikan segala rekam jejak dalam rumah tangga itu untuk mempererat hubungan, membuncahkan kasih sayang dan membuat rencana-rencana masa depan. Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmussholihaat. Segala puji bagi Allah, dengan nikmat-Nya lah segala kebaikan menjadi sempurna. 

Hei, ternyata sudah 4 tahun kami mengarungi bahtera rumah tangga. Bahtera, ya, perahu ini terus melaju melewati badai, bebatuan karang, gelombang ombak dan tentunya perbedaan pendapat para awak. Hehe, Perumpamaan yang terinspirasi dari skenario Bandung 2030 tentang bangsa Indonesia dan problematikanya.

Tentu saja tak selamanya berada dalam bahtera itu dalam kondisi seuriueous menghadapi rumitnya soalan rumah tangga seperti ilustari di atas. Hiasan-hiasan hangatnya mentari, semilir angin, renda-renda langit serta satwa lautan dan mahkluk yang ditahan kepak-kepak sayapnya di angkasa pun menjadi suatu nikmat sendiri. Belum gemerlap benda langit yang muncul silih berganti menurut kadarnya.

***
Berikut refleksi 4 tahun pernikahan yang penulisannya dicicil. :-P

Tahun Pertama (2011-2012)

Babak belur, karena seminggu setelah kami menikah LDM harus dijalani. Istri harus kembali meneruskan kuliah di Jepang, sementara saya memulai kerja di Indonesia. Sekarang saya sadar betapa 'polosnya' saya saat itu.  Salah satu momentum yang membuat deg-deg-an adalah saat 5 bulan kemudian saya ada tugas ke Jepang dan sealigus kesempatan untuk menemui istri, saya takut salah orang. Saat istri akan menjemput di stasiun, saya berdoa semoga dia datang sendiri. Doh, masa lupa wajah istri sendiri T_T. Bukan-bukan, saya membayangkan sebuah pertemuan yang romantis di tengah salju yang memutihkan bumi, saya menapakkan kaki dari keluar wicket lalu seorang putri anggun dengan gaun putih berkerudung merah yang berkibar tertiup angin musim dingin datang mendekat. Yah, ibarat di film-film romantis begitu lah. (eh, lalu saya jadi serigalanya gituh?)  Eh, tapi khan di stasiun besar pasti ramai dan banyak orang, bagaimana....?! 

Eum, singkat cerita, alhamdulillah, kami langsung bertemu dan terjadilah hal-hal yang diinginkan :-P

Ada revolusi tempat tinggal selama tahun pertama ini. Diawali dengan menempati rumah senior saya yang sedang tugas ke Thailand (gratisan)--* Tinggal di kost-kostan (300k/bulan) --* Rumah petak (well, bahasa kerennya : cluster kecil yang baru selesai dibangun) ---* Kontrak rumah di kompleks lumayan elit dengan 4 kamar yang akhirnya 2 kamar kami kost-kan wkwkw. Setahun pindah tempat tinggal 4 kali tanpa merasakan Pondok Mertua Indah. :-P 

Lumayan juga pindahan dengan mulai memboyong kasur, lemari, karpet, elektronik, perlengkapan masak... Ya, kami mulai mengisi tempat tinggal kami dengan berbagai barang keperluan sehari-hari. Semakin bertambah banyak meskipun belum tinggal di rumah sendiri.

Setelah selama kurang lebih LDM 7 bulan, akhirnya kami bisa tinggal satu rumah. Bila berkunjung ke sanak famili (yang tidak ngeh bahwa kami LDM segera setelah menikah) pertanyaan pokoknya adalah : istri sudah hamil? Saat saya (dan mungkin juga istri) mulai risih dengan pertanyaan ini, eh, alhamdulillah orang-orang mulai lupa dan mengganti pertanyaan pokoknya. hehe. Yaps, selama satu tahun pernikahan, Allah belum mempercayakan amanah anak kepada kami. 

Tahun pertama menjadi ajang penyesuaian emosi, kebiasaan, budaya.... *saya juga belum paham bahasa sunda sebagaimana istri belum mengerti bahasa Jawa* juga belajar memilih aset keluarga (belanja aset rumah masih ditemani mamah mertua). 

Tahun Kedua (2012-2013)

Tepat pada tanggal pernikahan kami di tahun masehi, ada pertanda berita bagus tentang akan hadirnya amanah seorang anak. Kami berencana untuk ke dokter kandungan yang paling direkomendasikan di kota Kembang berdasar hasil survei kami. Hasilnya?

 "jangan senang dulu. Ukuran janinnya lebih kecil dibanding usia dan perhitungan seharusnya. Bisa jadi gagal tumhuh." gitu kata bu profesor dokter kandungan. 

 Eh, gagal tumbuh? Apa nih maksudnya? Kerusakan kromosom? nutrisi tidak tersalurkan? menurut bu dokter, kalau memang gagal kromosom, si janin akan gugur dengan sendirinya, karena kalaupun lahir akan kasihan anaknya nanti. 

Pagi itu kami berencana akan memberikan kabar ke keluarga setelah tahu istri positif hamil kata test-pack. Tapi setelah pulang dari rumah sakit (dengan tujuan make sure hasil test pack), segala gegap gempita antusiame itu terbang entah kemana. Yang ada justru kami yang dihibur dan disemangati bahwa si janin tidak akan apa-apa, akan tumbuh dan berkembang dengan sempurna.

Tahun kedua ini kami difokuskan urusan calon bayi dan pindahan rumah (lagi) karena saya pindah tempat dinas ke Jakarta. Selain survey rumah, kami pun berpindah dari dokter satu ke dokter yang lain, termasuk survey rumah sakit bersalin/klinik di seputaran tempat tinggal yang baru. 

Amanah pertama ini penuh drama karena istri juga sedang menyelesaikan amanah lain di kampus, ukuran jabang bayi yang tetap masih di bawah standard normal kedokteran sehingga harus didukung dengan telur ayam kampung dan es krim. Hingga akhirnya, segala puji bagi Allah, anak pertama kami lahir. Diberi nama : Juara terpuji lembut hati yang diberkahi, Ei-yuu-ra Yumna. Yah, bayi kecil ini telah berjuang dan menjadi juara dengan kelahirannya. Sifat yang tersemat dalam namanya adalah doa-doa yang diharapkan diijabah oleh Tuhannya.

 *Fyuh* 

Tahun Ketiga (2013-2014) 

Masa adaptasi masih berlanjut, terutama dengan bertambahnya anggota dalam keluarga kecil kami. Tahun sebelumnya kami berpindah dokter kandungan, tahun ini kami mencari dokter spesialis anak yang cocok. Kebutuhan lain mulai muncul. Rasanya tidak tega kalau membiarkan anak periksa malam-malam dengan memakai motor dan menghirup asap polusi. Selain itu istri tidak bisa mengendari motor sehingga bila terjadi hal mendesak dan perlu keluar rumah, cukup merepotkan. Akhirnya dikerahkanlah upaya untuk mengandangkan sebuah mobil ke garasi. 

Hadirnya seorang anak memotivasi saya untuk memberikan kehidupan yang lebih nyaman. Alhamdulillah istri sangat mendukung untuk sementara menunda kenymanan di bidang lain sehingga target memiliki mobil bisa dicapai. Mobil juga sebagai sarana agar baby blues tidak menghinggapi istri. Gap yang besar antara mahasiswa aktif dengan ibu rumah tangga di rumah tentunya menjadi tantangan tersendiri buat istri. Apalagi kami tinggal jauh dari sanak keluarga... Lingkungan yang mendukung dan aktivitas pilihan untuk mengisi kesibukan jadi pertimbangan. 

Tahun ini menjadi trial dan eror untuk proyeksi target keluarga. Saya tersadar bahwa pundi-pundi ilmu dan pengalaman saya masih terbatas untuk menjawab tantangan yang ada.

 Tahun Keempat (2014-2015) 

Tantangan lain hadir saat anak sudah mulai aktif secara motorik dan verbal. Namun alhamdulillah, bahtera rumah tangga mulai stabil sehingga tahun ini sedikit memberikan kelonggaran untuk mulai fokus lagi ke visi jangka panjang. Sebagai kepala rumah tangga, saya mulai mempelajari (lagi) isu-isu ekonomi dan memetakan potensi keluarga serta opportunity yang kami miliki. 

Yah, tantangan tahun ini adalah komunikasi dan eksekusi visi-misi. Setelah agak tersendat oleh rutinitas rumah tangga, kami mulai leluasa merambah lagi majelis-majelis ilmu di luar kota baik di Bandung maupun Jakarta. Istri pun mulai beraktivitas di luar rumah untuk mengembangkan potensi dirinya. Silaturahim lebih mudah dijalin dan dijaga. Alhamdulillah mobil menjadi aset produktif yang mempermudah langkah kami menjadi manusia-manusia yang lebih baik. 

 *** 

Memasuki tahun kelima ini, entah apalagi cara Allah untuk mendidik kami. Skenarionya selalu luar biasa.

Ya Allah, jadikanlah keluarga yang kami bina ini menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Tahapan pertama, sakinah, sepertinya sedang dalam proses. Sakinah, akar katanya sama dengan pisau. Pisau? ya, betul. Dan ini dikaitkan dengan keluarga. Dengan banyaknya konflik dan adaptasi yang terjadi, sebuah keluarga diibaratkan hewan yang akan disembelih. Berontak dan berpotensi merusak. Namun setelah disembelih, hewan itu menjadi tenang dan nyaman. Konon seperti hendak tidur saja rasanya. Saya rasa ini perumpamaan yang cukup mewakili kondisi rumah tangga. Ketenangan itu menjadi buah setelah masa-masa tegang, berontak, berdamai, berantem lagi dan akur lagi terlewati. 

Dear my wife, Happy 4th anniversary. Sorry and Thank you for everything.


ReAD MoRE・・・

Thursday 6 August 2015

Menjangkau Pendidikan Kelas Dunia

Kasus siswa meninggal dalam masa orientasi siswa terjadi (lagi) di tahun ajaran 2015 ini. Sedih. Kini setelah saya berstatus sebagai orang tua, selain merencanakan jalur pendidikan formal yang mungkin akan dijalani oleh anak-anak saya nantinya, penting juga untuk melihat pendidikan sebagai wujud investasi. Betul, investasi dengan modal awal minimal untuk memperoleh hasil maksimal. 

Tapi mengingat biaya pendidikan di Indonesia sudah membuble, nampaknya pilihan negara lain akan menjadi keharusan. Kasusnya mungkin tak tauh berbeda dengan saat saya harus ke luar negeri dengan beasiswa karena kuliah di Indonesia itu mahal.Serius! Beberapa teman pun akhirnya melanjutkan pendidikan ke luar negeri meskipun dengan biaya sendiri. 

Kenapa? kualitas pendidikan lebih baik, biaya lebih murah dibanding universitas dalam negeri. Listrik stabil, sehingga topik penelitian yang membutuhkan dukungan ini seperti bio-molekuler atau bidang kasat mata yang perlu data dari elektron-akselerator bisa dilakukan. Siapa tahu anak orang penting -yang jalur karirnya sudah disiapkan- menjadi rekan satu kampus (dari berbagai negara tentunya). Satu lagi alasan saya, ini sesuai dengan visi keluarga untuk menjadikan keturunan kami SDM global, bisa hidup mulia dimana saja di dunia dan selamat di akhirat. *tsaah* 

Pertanyaannya, negara mana yang menjadi tujuan?

 Hasil pengumpulan informasi per tahun 2015, setidaknya ada 3 negara yang bisa dijadikan pilihan.

1. Jerman 
Untuk Bachelor, tidak dipungut tuition fee. Hanya ada kontribusi operasional semester sekitar 300 euro atau 5 juta/6 bulan. Itu pun kembali dalam wujud tiket bus untuk transportasi. Sisanya untuk dana BEM, administrasi dan bantuan sosial. Biaya pendidikan? gratis. Jadi biaya untuk meraih gelar bachelor selama 4 tahun lebih kurang 40 juta rupiah (90 gram emas). Weits, biaya hidup dan ongkos pesawat kalau mau mudik atau orang tua menengok putranya mungkin patut diperhitungkan. Oh, mungkin perlu kemampuan bahasa Jerman. Tahun ini adik kelas saya ada yang berangkat ke negeri ini. Pilihan kampusnya bisa di sini atau sini.

2. Swiss 
Yah, tidak jauh-jauh dari Jerman. Sekarang sih hanya beda mata uang. Salah satu universtias yang patut dijadikan pilihan adalah ÉCOLE POLYTECHNIQUE FÉDÉRALE DE LAUSANNE. Kampus ini diversikan memiliki kualias pendidikan di atas beberapa universitas ternama di US seperti Cornell, Brown, Northwestern, Rice, Carnegie Mellon, Dartmouth, UC Berkley, BU, Duke, McGill, NYU,.... Dan kuliahnya boleh dalam bahasa Inggris. Biayanya? setahun kurang lebih 1200 Franc. (16 juta rupiah/tahun?) Lebih mahal dikit dari Jerman sih.... (Jerman 50% lebih murah dibanding Swiss) 

3. China 
Masalahnya mungkin buat etnis lain yang tidak terbiasa dengan kanji, harus belajar dulu. Hurufnya dan pelafalannya. Peking University bisa dijadikan salah satu pilihan. Biaya setahunnya mungkin 60 juta rupiah, eh, mahal juga yak. Tapi konon disinilah anak-anak elit bisnis China berkumpul (selain yng disekolahkan ke luar negeri). Well, dari segi biaya sih Jerman masih 80% lebih murah dan err... tidak jauh berbeda dengan Indonesia untuk beberapa jurusan.

Bila ternyata 15 tahun ke depan, saat anak pertama saya masuk usia kuliah, Indonesia pun menyediakan lebih banyak peluang untuk kuliah di dalam negeri dengan biaya masuk akal atau luar negeri dengan beasiswa, maka pilihannya akan lebih bervairasi dan kompetitif tentunya. Bisa jadi universitas di negara-negara Arab naik peringkat pendidikannya dan mulai lebih terbuka untuk mahasiswa internasional. Mungkin bila Allah berkehendak anak saya belajar dan tinggal di kota nabi, ibadah umroh dan haji bisa dilakukan dengan mudah sekali. :-) 

Skenario saat ini, untuk menjangkau pendidikan tidak lagi harus dilakukan dengan investasi konvensional (asuransi/tabungan pendidikan, emas, saham, dkk) tapi dengan memperluas pilihan yang ada. Banyak negeri-negeri yang begitu memperhatikan pendidikan. Bukankah lebih menyenangkan bila mengeluarkan biaya (lebih) rendah tapi mendapatkan pengalaman internasional dengan bonus penguasaan bahasa asing dan jaringan pertemanan lintas benua? 

Sebelum menginvestasikan harta kita ke tempat lain, investasi ilmu (dan informasi) ke dalam otak agar setiap saat bisa di re-call dengan cepat lebih utama dilakukan. Setelah paham 'ilmunya'  barulah kita kerahkan harta untuk memuluskan jalan menuju tujuan. Saya rasa ini simpulan dari riset kecil-kecilan ini :-). 

catatan tambahan : Ternyata tak sedikit orang Indonesia yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri sejak tingkat SMA. Termasuk Pak Presiden. kata saya PR besarnya adalah menanamkan akhlak dan prinsip hidup sebelum anak-anak dilepas sendiri saat baligh, deuh berat juga tanggung jawab jadi orang tua...


ReAD MoRE・・・

Monday 3 August 2015

Mendadak Ekonom (2)

Ilustrasi di atas bisa berlaku untuk banyak kasus. Termasuk seorang pembelajar yang punya banyak ilmu tapi tidak bisa membuatnya terstruktur untuk mencari solusi, ilmu-ilmu itu tidak akan banyak bermanfaat. Well, sedikit ada irisannya dengan tulisan tentang portofolio yang lalu.


Dalam rangka membuat koneksi antar cabang pengetahuan agar membentuk struktur yang bagus dalam membaca fenomena dan mencari solusi, kita harus dipaksa untuk berpikir dan mengerahkan pundi-pundi pengetahuan itu. Dalam kasus saya, akhir-akhir ini sedang mencoba menjadi ekonom. Bukan level  negara, belum lah. Ekonom level keluarga saja, yang sedang mencerna fenomena dunia dan cari solusi untuk menyelamatkan keluarga. Tujuan yang sederhana, bukan? wkwkw.  *ekonom = orang yang paham manajemen (keuangan) keluarga, sesuai kata aristoteles.



Dalam tulisan sebelumnya saya menuliskan hasil penelitian tentang ciri suatu sistem (negara, imperium) menuju kehancurannya. Allah pun menyebutkan dalam Al Quran bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereba mengubahnya sendiri. Tuhan sudah mencukupkan rezeki manusia dimana dia berada.  Rejekinya setara dengan kebutuhan masyarakat. Bila mereka bertakwa, bertambahlah nikmatnya. Kalau merasa kurang, berarti ada yang salah. Bila ternyata kondisi suatu tempat secara obyektif sangatlah tidak layak untuk hidup, maka opsinya adalah hijrah. Simple?


Sejarah mencatat bahwa awal-awal peradaban manusia adalah dimulai di tempat yang subur, dimana alam begitu terberkahi dengan hasil buminya. Kebutuhan manusia masih tercukupi tanpa merusak hukum Allah tentang keseimbangan. Peradaban berkembang dikomandoi manusia dengan bekal akal yang dipakai berpikir.

Pertanian memegang kunci pembuka peradaban. Tumbuhan menyimpan kelebihan hasil fotosintesis. Tanaman ini dioptimalkan lewat pertanian dan perkebunan. Surplus pertanian disimpan atau diperdagangan ke luar wilayah. Kebiasaan menyimpan sesuatu yang berlebih adalah sesuatu yang alami, natural. Tumbuhan saja begitu.Manusia dengan akalnya sering menjadikan 'kelebihan' sebagai bahan spekulasi atau investasi atau hiper-konsumsi.

Kini dengan teknologi (dan utang modal?), daerah gersang dan panas pun bisa diubah menjadi kawasan elit untuk golongan tertentu. Perubahan yang baik dengan me-utilisasi sebuah kawasan sehingga naik nilai tambah dan manfaatnya. Persoalannya muncul saat hukum ekonomi tentang permintaan dan penawaran mulai termanipulasi. He? Maksudnya, ada kalanya permintaan itu muncul karena diciptakan pihak lain, bukan karena lahir dari kebutuhan. Ini salah satu sisi Marketing. ---ya, baiklah, sekarang bidang ilmu ini jadi pekerjaan saya saat ini--

Prinsip yang saya pahami sekarang, kita harus bisa melakukan valuasi terhadap suatu materi berdasarkan nilai intrinsiknya untuk menghindari spekulasi dan tertipu. Memajukan perekonomian bisa dilakukan dengan memberdayakan sumber yang ada. Bila ternyata uang tidak cukup, bisa diubah dengan bentuk sumber daya yang lain : manusia.

Hal ini dilakukan sejak jaman manusia membangun piramida di mesir, atau candi Borobudur di Indonesia atau, tidak perlu terlalu jauh kembali ke masa lampau, India melakukannya tahun 1956-1969 : membangun Bendungan dengan puluhan ribu tenaga kerja. Hal ini dilakukan  sebab kekurangan dana sehingga untuk menghindari utang luar negeri, dipergunakanlah sumber daya mereka : populasi dan batu (bukan beton). Menariknya proyek ini berhasilkarena kerjasama yang baik anatara pekerja, arsitek, insinyur dan pemerintahnya.

Di periode yang sama, Indonesia sibuk dengan berbagai manipol, peleburan Irian (Ikoet Repoeblik Indonesia Anti Netherland), Ganyang Malaysia, sampai hiperinflasi tahun 1965.  Baiklah, di Indonesia pun sebenarnya  ada infrastruktur yang terbangun pada masa yang sama seperti  GBK, jalan layang (?) semanggi dkk sebagai persiapan Asian games tahun 1962. Tapi.... beda fungsi  dengan bendungan tadi donk.

Bangunan di Indonesia manfaat langsung ke produktivitas rakyatnya tidak terasa selain sebagai ajang pamer saat para tamu asing bertandang ke Jakarta. Indonesia dimunculkan agar nampak kaya makmur dan sejahtera. Duitnya pun dari USSR a.ka. ngutang. Saya pun baru ngeh kalau ternyata dari awal Republik ini berdiri pemerintah sudah hutang ke sana-sini, kalau dulu cenderung ke blok timur, sekarang cenderung ke blok barat (?).

Okay. Baiklah. Cukup sudah contoh yang ditunjukkan oleh pemerintah dan pelajaran yang berharga telah dicatat dalam 70 tahun Indonesia dalam sejarah. Kedaulatan suatu bangsa bersumber dari kedaulatan setiap keluarga dalam wilayahnya. Mau bicara tentang kedaulatan pangan, kedaulatan beragama, kedaulatan berpendapat dst, suatu bangsa terlihat dari kondisi komunitas terkecilnya.

Sewaktu liburan Lebaran lalu, saya sempat berbincang dengan banyak saudara. Saya bertanya sewaktu para paman yang menjalani hidup sekitar tahun 60-an, apakah benar terjadi kekuarangan pangan? Pelaku-pelaku sejarah itu menceritakan bahwa mereka sempat makan bulgur (pakan kuda?), berbagai umbi pengganti nasi, sampai cerita beras artifisial dari plastik, eh, dari singkong untuk menghiasi meja makan. Tapi ada pula yang berkata, eh? kami tidak pernah kekuarangan pangan, beras selalu tersedia, karena keluarga punya sawah dan tidak pernah membeli beras.

Kenapa kondisinya berbeda? Ada yang sampai tidak tahu negara kekurangan pangan, ada yang menderita kekurangan pangan? Well, karena masih kecil, bisa jadi pelaku sejarah itu tidak terlalu ngeh dengan kondisi bangsa saat itu. Saya melihat ada keluarga yang berdaulat pangan, ada yang tidak.

Ceita lain saya dengar tentang suatu "kompleks kota mandiri' dimana wilayahnya terbagi menjadi sarana pendidikan, pertanian, rumah sakit dan pasar. Biaya hidup di 'kota' itu tidak berubah selama puluhan tahun. Nilai dolar naik terus terhadap rupiah pun tidak berpengaruh. Saya rasa inilah potret negeri yang berdaulat, efek luar tidak banyak berdampak terhadap kelangsungan kehidupan warganya. Sumber daya yang berada di wilayah kedaulatannya diberdayakan dengan baik dan dikelola dengan penuh amanah.

Saat mulai melihat gejala suatu negeri menuju kehancuran, maka protofolio yang terbangun dan informasi yang berserak harus segera disusun. Aset-aset riil produktif akan lebih banyak manfaatnya dibandingkan aset-aset dalam nominal besar tapi nilai riilnya tak lebih dari kertas bertanda tangan. Yah, saya bisa memahami saat dalam suatu ceramah ada ajakan untuk membangun suatu komunitas mandiri. Produksi dan konsumsi barang hasil buatan sendiri, menghindari produk asing agar bisa berdikari. Sistemnya pun secara bertahap melepaskan diri dari uang fiat yang terlanjur menggurita, heum, naiss.

Ya, saya rasa di sinilah peran golongan menengah yang sudah punya keleluasaan untuk mengalokasikan kemana uangnya hendak dipergunakan. Gaya hidup diproyeksikan agar menjadi permanen muzakki, aset-aset riil segera dimilki, bermain di pasar modal bila ilmu sudah mencukupi. Uang sejati yang mempertahankan daya beli (emas & perak) boleh disimpan, kertas-kertas bertandatangan gubernur bank central disimpan secukupnya untuk sehari-hari,  kelebihannya dirubah ke aset riil. Itu kesimpulan saya saat ini.

Intermezzo : Anak saya dibelikan anak ayam seharga 10 ribu/ 3 ekor akhir tahun lalu. Lebaran ini anak ayamnya sudah berumur 7 bulan (baca : jadi ayam betina dewasa), siap dijadikan lauk (;p) dan sudah bertelur 2 hari sekali. Tidak sampai satu tahun, aset anak saya sudah bernilai 10 kali lipat dengan bonus belasan telur. Aset yang produktif, bukan? :-p

Intermezzo 2: peta negara dunia beberapa kali berubah disebabkan gejolak keuangan/keruntuhan suatu negara ataupun perang. Bila suatu negara bangkrut, bagaimana kelanjutannya? jual wilayah? Jual kewarganegaaan untuk orang asing yang mau invest besar? terima dana talangan asing dengan kontrak eksploitasi (kalau punya SDA)? heum, menarik diikuti kelanjutan kisahnya.










ReAD MoRE・・・

Sunday 28 June 2015

Mendadak Ekonom (1)

Kata Aristoteles, ekonomi itu ilmu manajemen (keuangan) keluarga. Kini maknanya sudah bergeser cukup jauh. Intisari yang saya peroleh, perekonomian suatu negara pada dasarnya adalah cerminan dari pola yang terjadi dalam level keluarga. Tentu saja, juga berlaku sebaliknya karena berbagai kebijakan seputar perekonomian banyak ditetapkan oleh pemerintah (negara). 

Sebagai kepala keluarga sekarang saya harus melek ilmu ekonomi. Alasannya cukup jelas: Agar tetap berada pada jalur yang benar menuju visi hidup mulia dimanapun di dunia dan selamat di akhirat. Tsaahh. Saya coba memahami apa-apa saja yang sudah terjadi di dunia ini, dari sejarah dan kejadian-kejadian terkini.

Dalam ekonomi, kita tidak bisa lepas dari transaksi yang selalu berhubungan dengan uang. Ini berlaku sejak manusia mengenal perdagangan. Emas dan perak dijadikan standar nilai suatu komoditi. Sampai perang dunia ke-2, sebetulnya segala transaksi keuangan itu, termasuk level suatu negara, masih mempergunakan standar emas atau perak.

Kepemilikian emas yang terbatas, menjadi limit berbelanja. Kredit tetap ada, tapi dengan ‘cadangan’ emas sebagai jaminannya. Saat perang dunia 2, emas banyak berpindah ke amerika karena surplus perdagangannya dalam menyedikan perlengkapan perang. Akhirnya dipakailah dolar amerika sebagai standar baru perdagangan antar bangsa, setara dengan emas (tersisa) yang dimiliki ke-44 negara penandatangan Bretton Woods. 

Tapi karena keinginan konsumsi yang semakin meingkat dan jaminan emas sudah tidak cukup untuk menahan laju kerakusan manusia, akhirnya Nixon melepaskan keterkaitan dolar dengan jaminan emas. Akibatnya? Sejak tahun 1971 standar emas sudah tidak berlaku, digantikan dengan standar USD yang bisa dicetak sekehendak Bank Central Amerika.

Untuk menggelembungkan perekonomian, dihembuskanlah kredit. Boleh menikmati fasilitas barang sekarang, bayarnya dicicil dengan tambahan bunga. Yaps. Sistem riba berlaku dengan sangat-sangat leluasa. Tak ada batasnya. Gak punya emas atau cadangan emas tak cukup lagi? No problem.

Betulkah tidak akan ada masalah? Jumlah uang yang tercetak lebih banyak dari jaminan emas. Akibatnya, nilainya turun. Gaji buruh berpendidikan rendah tahun 1971 gajinya (dalam emas) masih lebih tinggi dibandingkan karyawan berpendidikan tinggi di tahun 2010. Kata orang, inilah inflasi, penurunan daya beli. 

Masalah masih memberikan bonus berupa  riba yang harus dibayar. Bagaimana mau dibayarkan kalau jumlah uang yang dicetak itu hanya setara dengan pokok pinjaman saja? Harus cetak uang lagi dunk, nilai uang trurun lagi… dan beginilah siklus yang terjadi. Inflasi terjadi setiap tahun karena orang-orang melakukan konsumsi lebih dari sumber daya yang dimilki. Kekuatan utang tanpa agunan.

Yang saya rasakan, daya beli anak-anak yang lahir setelah 1971 lebih rendah dibandingkan orang tuanya pada usia yang sama. Untuk membeli rumah dengan luas dan lokasi yang setara, akan dicapai dengan usia yang lebih tua. Pada beberapa kasus bahkan sampai akhir hayat pun ada yang tidak pernah memiliki cukup uang untuk ditukar dengan rumah.

Waktu saya kecil di awal tahun 1990-an, harga sebungkus sarapan sekitar 75 rupiah. Saat pulang kampung tahun 2015, harga sebungkus sarapan menjadi 3000 rupiah. Naik 40 kali lipat dalam 20 tahun. Saya tidak ingat ongkos transportasi, karena waktu SD tinggal menyebrang jalan kalau sekolah dan tidak ada angkutan umum berupa angkot atau bis kota di kota kecil saya. :-P saya juga tidak suka jajan, jadi tidak ingat juga harga jajan atau jumlah uang jajan saya.

Indonesia sudah berumur 70 tahun pemerintahannya. Seharusnya belajar banyak dari sejarah tentang penyebab runtuhnya berbagai kerajaan di masa lalu. Saya membaca kalau Otto Von Bismarck, pemersatu Jerman, pernah memerintahkan seorang sejarwan sekaligus ekonom, Gustav Ruhland, untuk meneliti penyebab runtuhnya imperium romawi, yunani, juga para penjelajah dunia : Inggris dan Spanyol.

Kesimpulan Ruhland : Akar penyebab keruntuhkan imperium itu adalah kebijakan moneternya. Ruhland juga menemukan cirri-ciri suatu imperium menjelang keruntuhannya. Biarpun saat sampai pada kesimpulan, Bismarck sudah tidak menjabat sebagai kanselir, hasil penelitian ini tetap bagus untuk menjadi masukan seorang pemimpin negara -juga pemimpin keluarga, hehe- 

Saya tidak yakin apakah negera modern sejahtera pertama di dunia di bawah pimpinan Otto terbangun karena bisikan mujarab hasil penelitian Ruhland, atau memang karena Otto adalah seorang bervisi jauh ke depan dengan mengambil keputusan-keputusan strategis. Dari langkahnya, saya bisa membaca kalau Otto memerintahkan orang-orang yang komepeten untuk melakukan riset dan mengumpulkan informasi yang benar dan terpercaya untuk mendesain negerinya.

Baiklah, inilah cirri-ciri suatu imperium menuju kehancuran. Versi Ruhland, tentu saja.
1. Perkembangkan kesejahteraan masyarakat umum tertinggal dengan mengorbitnya tingkat kemewahan yang dinikmati sebagian kecil orang.
2. Meningkatnya tanda kebobrokan mental di kelas penguasa (korupsi, keserakahan, kriminalitas, kemewahan) 
3. Meningkatnya pajak rakyat. Militer dipakai untuk memungut pajak.
4. Pemerintah member subsidi masyarakat miskin untuk membuat mereka tetap tenang dengan roti dan sirkus.
5. Meningkatnya kebobrokan moral masyarakat. 
6. Konflik militer dengan luar negeri untuk mempertahakankan status quo atau pengalihan isu. 
7. Bankir ‘menguasai’ pemerintah 
8. Pemerintah ikut campur dalam pasar. 
9. Devaluasi uang (menurunkan kadar logam mulia dalam uang) 
10. Inflasi keuangan. 
11. Perang sipil, kerusuhan. 
12. Kegagalan pemerintahan yang kronis (pemerintah tidak punya kekuasaan) 
13. Penurunan populasi. 
14. Perdagangan secara barter menggantikan ekonomi moneter. 

Bagaimana? Nampaknya beberapa tanda sudah dirasakan di negeri yang mau berulang tahun ke-70 tahun 2015 ini. Pada beberapa titik dalam 20 tahun terakhir ini, Indonesia sudah hampir runtuh namun entah bagimana ceritanya ada invisible hands yang berhasil mempertahankan sebagian besar wilayah kedaulatan, biarpun ada wilayah yang lepas, biarpun arah  kebijakan ekonomi negara dan industri menjadi rancu tentang siapa yang dibela...

Saya belum menemukan bacaan tentang tanda-tanda runtuhnya kekhalifahan. Ruhland tidak menuliskan apakah hasil penelitiannya juga mencakup kekhalifahan islam di beberapa jazirah yang juga runtuh. PR saya berikutnya adalah mencari sumber bacaan yang terpercaya seputar ini. Kekhalifahan Turki Usmani masih berjaya saat itu sehingga tidak menjadi obyek penelitian Ruhland.

 *Ambil napas. *

Sekarang saya coba memahami sistem pendapatan suatu sistem. Pada dasarnya ada 2 sumber pendapatan negara : Pungutan (pajak dan non-pajak) dan Utang. Uang hasil pungutan inilah yang dipakai membayar hutang. Saya lupa berapa nominalnya, yang saya ingat pernah ada perhitungan yang menyatakan bahwa setiap anak yang lahir di Indeosnia sudah menanggung hutang (negara) sekian ** juta rupiah (jumlahnya mungkin sekarang berubah seiring perubahan kurs dan pelunasan sebagian).

Sistem keluarga juga punya 2 sumber pendapatan : gaji (cash) dan utang. Sama dengan negara, cash ini yang dipakai untuk membayar utang. Cash akan dipakai memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bila tingkat konsumsi (lets say pertumbuhan ‘kemakmuran’) sudah tidak bisa dipenuhi lagi dengan cash, maka utang (kredit) menjadi solusi. 

Demikian pula dengan negara, saat sumber pendapatan negara sudah tidak bisa menutupi keperluan belanjanya, utang luar negeri (dan dalam negeri) menjadi pelarian. Siapa yang harus membayar utang pemerintah itu? Ya, siapa lagi kalau bukan kita dan anak kita dan cucu kita dan cicit kita dan anak-cicit kita. Saya, anda dan anak keturunan kita lah yang menanggung utang itu lewat pajak. Sampai kapan? Tergantung besarnya pajak dan kemampuan mencicil kita. Kalau ternyata saat jatuh tempo pemerintah gagal bayar, apa yang terjadi? Well, mungkin kita bisa belajar dari kasus Yunani di era Uni-Eropa (bukan jaman polis Athena, apalagi Hercules). 

Bila dalam level keluarga kita bisa melepaskan asset untuk membayar hutang, apa yang bisa dilakukan dalam level negara? Saya belum paham, apakah dengan menjual wilayah? Atau memberikan hak exploitasi selama sekian ratus tahun? Entahlah, sejarah akan menjawabnya sendiri.

Kali ini saya mengulang kembali konsep dasar ekonomi : income vs outcome. Outcome sendiri membengkak lebih kepada target, keinginan, bukan kebutuhan. Income juga bisa dibengkakkan dengan utang. Tapi merujuk ke tulisan saya sebelumnya, lebih baik menjadi seorang muzakki daripada debitur bertahun-tahun. 

Cerita soal uang, perdagangan, nilai tukar dan lain-lain akan dipelajari dan dituliskan dalam tempoh sesingkat-singkatnya. InsyaAllah. Dalam 4 tahun terakhir, rata-rata dari total negara di dunia menurun cadangan emasnya, tapi ada 3 negara yang naik cukup significant : Jerman (550%), China (196%) dan India (17%). Apakah 3 negara ini melihat tanda-tanda kerapuhan sistem ekonomi tanpa agunan mulai nampak dan mulai menyimpan uang sejati? Apakah ini ada hubungannya dengan kelesuan perdagangan dan industri Indonesia di semester pertama 2015 ini? Well, lagi-lagi waktu akan menjawabnya. Ekonomi bukan ilmu pasti sih hehe.


ReAD MoRE・・・

Tuesday 23 June 2015

[Catatan Keluarga] Suamiku, Apakah Rejeki Kita Barokah? (3)

Ramadhan menjadi bulan perhitungan. Hitung-hitungan amal, lebih rajin lagi agar dilipatgandakan. Hitung-hitungan untuk lebaran. Utamanya hitung-hitungan zakat juga. Biarpun biasanya sudah dilakukan di luar Ramadhan, target menjadi fitri setelah bulan suci, menjadikan diri lebih sensitif untuk mensucikan harta.

Tahun lalu saya berdiskusi cukup panjang dengan istri terkait zakat. Betul. Seiring dengan perkembangan ilmu fiqh, macam zakat bukan sekedar zakat fitrah dan zakat maal (harta) saja. Ada zakat profesi namanya. Pertimbangannya, bila petani saja dikenai beban zakat 10% untuk mensucikan pendapatannya, kenapa pekerja kantoran yang dapat gaji tiap bulan hanya bayar setahun sekali?

Kesimpulannya waktu itu, saya tidak keberatan mengeluarkan sejumlah harta. Tapi belum bisa menerima sebutan zakat untuk itu. Di sini titik masalahnya. Zakat itu wajib, sedangkan sedekah lain ‘hanya’ Sunnah saja level tertingginya. Poin saya seputar zakat adalah nisab dan waktu. Ada nilai tertentu yang dimiliki selama satu tahun. Pengeluarannya pun setelah dikurangi dengan beban rumah tangga dan hutang sehingga nilai tersisa yang diam selama satu tahun inilah yang wajib dikeluarkan zakatnya.

Waktu itu, istri tetap mengeluarkan sejumlah nominal , tapi bagi saya itu bukan zakat, sesuai definisinya. Nisab untuk pendapatan sendiri ditetapkan oleh ahli fiqih modern, sesuai dengan mata uang masing-masing negara (?). pemikiran ini yang belum bisa saya terima. Apakah nisab zakat untuk orang yang tinggal dan bekerja di Jakarta akan sama dengan yang tinggal dan bekerja di Tangjungpura, misalnya. Nilai rupiah sekarang naik turun drastis, berbeda dengan emas yang lebih stabil, biarpun naik-turun juga.

Poin saya adalah perbedaan gaya hidup dan pola pikir yang demikian jauh. Orang yang tinggal di kota besar, bisa jadi menjadi penerima zakat karena pola hidupnya. Ada yang bilang namanya miskin perkotaan. Gaji 10 juta, tapi cicilan ini itu 9 juta. Nah loh. Kenyatannya, pola pikir kalau bisa dicicil kenapa beli tunai sudah menjadi kebiasaan. Hutang yang mulanya sesuatu yang sangat-sangat-sangat dihindari karena menyangkut harga diri dan beban ahli waris bila ditinggal mati, kini bukanlah sesatu yang ditakuti. Orang justru berebut memperoleh hutang untuk memuaskan konsumsi. 

Sistem pun mendukungnya. Ambil kasus masalah papan (rumah). Rumah mahal? Iya. Susah beli, akhirnya ambil KPR. Akadnya apa? Jual beli? Siapa yang jual dan siapa yang bayar. Di sini sudah cacat secara akad. Punya uang 30% dari nilai property sudah cukup!. Bahkan katanya Juni ini akan diturunkan lagi batas LTVnya hingga 10% doank. Nah loh, kalua si suami mati, gimana? Gampang! Pakai asuransi, cicilan langsung lunas begitu ada surat kematian, anak istri gak perlu kuatir. Semua senang. Apakah semua akan baik-baik saja dengan begitu?

Sistem ini akan tetap berlangsung karena ada yang memakai. Banyak lagi. Akhirnya, konsumsi yang dibangun atas dasar hutang akan memberikan data ekonomi yang salah sasaran. Konsumsi masyarakat tinggi bukan berarti kesejahteraan masyarakat sudah tinggi pula. Akan sulit dibedakan orang-orang yang Nampak kaya dengan yang benar-benar kaya. Terutama untuk kaum menengah. 

Siapa itu kaum menengah? Tergantung yang bikin definisi, katanya sih yang punya pendapatan 150 juta per tahun atau lebih. Kalau kata saya, kaum menengah itu, golongan yang mempunyai pilihan untuk mengalokasikan uangnya ke hal-hal yang dia suka. Apakah hal-hal itu akan membuatnya ‘nampak kaya’ atau akan membuatnya kaya (pada saatnya).Bila harta yang dipegang tak cukup, golongan menengah ini termasuk bank-able dan lebih mudah mendapat kucuran kredit.
Bila si golongan menengah ini memilih untuk memakai hartanya agar tampak kaya, pembelian barang-barang untuk mendukung gaya hidup (mewah)  statusnya yang bank-able akan mendorong pengajuan hutang ke bank. Semakin banyak orang seperti ini, makan banyak yang tidak naik kelas. terperangkap hutang konsumtif dan gagal menjadi golongan ekonomi atas. Biarpun tampaknya begitulah seleksi yang berlaku dalam piramida. Populasi yang ada di atas selelau lebih sedikit dibandingkan kelompok di bawahnya.Yang gagal mengelola hartanya bisa turun status, dari wajib mengeluarkan zakat menjadi berhak menerima zakat. 

Kalau hutang jangka panjang (10-20 tahun?) terus didekap, apakah mungkin nisab 85 gram emas itu tercapai sebelum hutang itu lunas? Saya termasuk yang pesimis...

Bagi saya pelajaran soal zakat ini adalah manajemen uang yang sangat apik. Pertama, menstimulasi untuk memutar kekayaan sehingga dengan perpindahan uang ke lebih banyak orang akan lebih meratakan kesejahteraan. Tidak terpusat pada simpul-simpul penguasa ekonomi tertentu saja. Jangan sampai ada uang yang diam saja tidak bermanfaat. Bahkan uang yang didiamkan saja akan tergerus nilainya. Kalau pas banget kena nisab, tahun-tahun berikutnya bisa jadi sudah tidak wajib dikeluarkan zakatnya karena sudah tidak mencapai nisab lagi. (apalagi kalau hartanya tersimpan dalam wujud rupiah dalam rekening bank).

Kedua, membiasakan untuk melakukan pembukuan harta yang rapi. karena zakat ini dihitung setiap tahun. Apakah perputaran aset kita menghasilkan harta diam selama satu tahun? Apakah aset-aset itu lebih banyak berputar memberi manfaat atau diam tergolek  setiap saat?

Bisa jadi sejumlah uang yang diam dalam satu tahun, mencapai nisab sehingga harus dikeluarkan zakatnya itu lebih barokah dbandingan bila dijadikan modal berhutang. Bila target yang ingin dimiliki belum bisa dibeli sehingga harus menambah 'tabungan' lagi,  tahun berikutnya simpanan harta tak bergerak itu kena nisab dan harus dikeluarkan lagi zakatnya... dan tahun berkitnya, dan tahun depannya lagi, sampai cukup untuk transaksi jual beli. 

Bisa jadi...nominal zakat yang dikeluarkan lebih kecil dari beban riba yang dipakaikan sekaligus membuat rejeki lebih barokah. Eefeknya? kalau menurut perhitungan suatu barang yang ingin dimilki baru bisa menjadi kenyataan 10 tahun lagi, mungkin saja bisa terjadi lebih cepat, 3 atau 4 tahun saja, misalnya. Sedikit bersabar dengan mempertahankan gelar wajib zakat terdengar lebih keren. :-)   *dalam kasus golongan menengah yang ingin beli rumah dengan bantuan pihak ke-3, DPnya saja sudah kena nisab, bukan yak? *

Seputar Hutang :“Aku wasiatkan kepada kalian agar tidak berhutang, meskipun kalian merasakan kesulitan, karena sesungguhnya hutang adalah kehinaan di siang hari kesengsaraan di malam hari, tinggalkanlah ia, niscaya martabat dan harga diri kalian akan selamat, dan masih tersisa kemuliaan bagi kalian di tengah-tengah manusia selama kalian hidup.” Lihat kitab Umar bin Abdul Aziz Ma’alim Al Ishlah wa At Tajdid, 2/71, karya DR. Ali Muhammad Ash Shallabi (Asy Syamela).
Well, semoga rejeki yang barokah itu bisa tercapai dengan bebas hutang dan menjadi wajib zakat maal. (bukan wajib pajak, hiks hiks...) [Update] Kebijakan keluarga tahun 2015 : zakat penghasilan tahunan dikeluarkan sesuai kriteria (tentunya setelah dikurangi beban/tanggungan reguler rerata bulanan, sehingga gampang itungannya :-))






ReAD MoRE・・・

Saturday 2 May 2015

[CATATAN KELUARGA] Suamiku, Apakah rejeki Kita Barokah? (2)

Melanjutkan posting sebelumnya seputar keuangan keluarga. Well, kali ini untuk melakukan evaluasi untuk caturwulan pertama di 2015. Temanya tentang portofolio keluarga. #Sebelumnya : ini

Istri saya yang lebih ahli seputar portofolio karena menjadi bagian penelitiannya semasa kuliah. Jadi urusan pembelanjaan pengelolaan keuangan keluarga sedikit banyak mendapat tidakpersetujuan dari istri, haha. Saya cenderung untuk mengambil resiko besar sehingga pilihan investasi ini itu beserta difersifikasinya ingin segera dilakukan. Istri saya, sebaliknya. Manajemen resiko menjadi isu yang cukup lama digelutinya sehingga pertimbangannya panjang dan cenderung berhati-hati. Tapi saya akui, masukan dan tidakpersetujuan istri cukup mujarab pada kebanyakan kasus. Ada sisi-sisi resiko yang terkadang luput dari pandangan saya.

***

Punya Rumah bagi orang Indonesia adalah isu paling besar berdasarkan survei yang dilakukan lewat mesin pencari google.ini.  Sementara itu berdasarkan hasil survei ini, berikut adalah hal yang paling banyak dicari oleh penduduk suatu negeri :
Malaysia   : Mobil dan tato
Singapura  : Pembantu rumah tangga
Thailand    : PSK
Filipina      : Pensiun
Korea         : Operasi Plastik (hidung)
Jepang     : Semangka (well, mulai 1 Mei diterapkan coolbiz, pakaian kerja tanpa dasi, lengan pendek, jelang musim panas. Semangka biasanya menjadi buah penyegar di musim ini)

Rumah juga menjadi kata kunci yang paling banyak dimasukkan ke mesin pencari di negara lain seperti Oman dan Guatemala. Penduduk Indonesia tidak sendirian :-)
*** 

Baiklah. Selama 3 tahun pernikahan, kami telah melakukan diversifikasi pengelolaan harta. Ada yang kami simpan dalam bentuk emas, ada pula sekuritas, sebagian deposito jangka pendek, mata uang asing. 

Terhitung April 2015 ada sertifikat tanah & bangunan serta BPKB kendaraan Alhamdulillah tercatat atas nama saya. Tanah dan bangunan itu tidak kami tempati sementara ini, tapi diutilisasi dengan baik untuk keperluan pendidikan dan ketahanan keluarga. Tsaah.

Seperti kebanyakan orang Indonesia yang mencari rumah (sebagai tempat tinggal), saya pun bukan pengecualian. Harga rumah yang melangit dan jebakan riba kredit selalu menguntit. Kami sepakat untuk tidak terlibat lebih jauh. Beli rumah tanpa riba atau tempati saja rumah orang lain dengan menyewa. 

Saat ini anggota keluarga kami baru 2 orang dewasa dan 1 bayi. Rumah dengan bangunan seluas 50 meter persegi masih mencukupi untuk ditinggali. Seiring dengan bertambahnya anggota keluarga, secara pribadi saya berpendapat kalau ruang gerak per orang adalah sekitar 20m2. Dengan demikian bila anggota keluarga saya nanti bertambah, luas tempat tinggal juga harus ditambah agar tidak terasa crowded. Kalau anak-anak kelak sudah mandiri dan punya keluarga sendiri, maka rumah tinggal saya pun luasnya harus dikurangi, agar tidak capek mengurusnya.

Dalam perhitungan saya, rumah luas diperlukan saat usia pasutri 25-45 tahun. Anak-anak dilahirkan dan secara umum masih tinggal dengan orang tuanya. Pengeluaran keluarga paling tinggi dimulai sekitar kepala 4, karena anak sulung akan terjun ke bangku kuliah. Biayanya? sekarang aja sudah puluhan (ratusan?) juta kalau bayar sendiri tanpa beasiswa. Setelah 50 tahun pengeluaran lebih besar untuk kesehatan...

Sementara itu kebanyakan orang Indonesia berumur 25-45 tahun belum berkemampuan membeli rumah. Beda kalau mencicil :-) Untuk kondisi sekarang ini rumah dengan luas sekitar 100m2 (bangunannya) di Jakarta dan sekitarnya tersedia dengan harga di atas 1M. Dengan gaji rata-rata sekitar 200 juta pertahun saja, secara hitungan matematis keluarga tersebut belum mampu membeli rumah. 

Bila setelah menikah dan dalam 5 tahun ingin membeli rumah pantas, maka pendapatan keluarga per bulan minimal 40 juta rupiah dan menabung 15 juta per bulan. Hal ini pernah dinyatakan oleh gubernur DKI : kalau mau beli rumah di Jakarta, gaji minimal 40 juta. tohohoho.

Idealnya begitu. Umur 25, pendapatan 40 juta per bulan, menikah, saat umur 30 sudah punya rumah sendiri. Tapi tapi tapi, saya kira sangat sedikit orang yang memiliki kriteria tersebut. Pilihan lainnya adalah menyediakan tempat tinggal yang pantas untuk keluarga. Misalnya, menyewa rumah seluas 1000 m2 saat ortu berusia 35 tahun dan anak-anak perlu ruang eksplorasi yang luas. Masa kecil mereka tentunya puas dengan menikmati fasilitas tempat tinggal yang ada dibandingkan memaksaan mencicil rumah seluas 45m2.

Lah terus kapan punya rumah sendiri? Ya, kalau sudah punya cukup uang. Karir lelaki biasanya berada di puncaknya sekitar usia 50 tahun. Anak-anak mungkin sudah mulai mandiri, jadi tak perlu rumah luas lagi di kota. Eh, udah 'tua' doank. Yah gak papa donk. Anak-anak sudah bisa menikmati rumah luas dan kenangan yang membuat hati puas. Orang tua akhirnya bisa menikmati 'hidupnya' atau menyerahkan sebagian hartanya untuk mendukung anak-anaknya memiliki properti produktif. :-)  
Jadi, fokusnya adalah menyediakan tempat tinggal yang nyaman buat anak-anak yang mendukung tumbuh kembang dan pendidikan mereka. Standarnya? uhm, diserahkan ke pandangan masing-masing orang tua. 

Weits, properti menjadi salah satu portofolio (aset?) fisik keluarga. Namun selain bangunan fisik, rejeki yang dianugerahkan Allah sudah sewajarnya dipergunakan untuk mengembangkan portofolio yang lain: kualitas diri. 

Portofolio adalah satu set keahlian yang bisa diberdayakan untuk menyelesaikan masalah. Isinya berupa seperangkat pengetahuan, keterampilan, serta pengalaman yang bisa menjadi bekal bagi seseorang untuk menjalankan sebuah pekerjaan/peran. Namun suatu pengalaman/keterampilan belum tentu menjadi portofolio. Misalkan kemampuan bahasa Jepang saya tidak akan banyak bermanfaat bila saya bekerja sebagai karyawan BUMN dan tidak ada bisnis dengan Jepang. Akan lebih baik saya menjadi interpreter freelance :-P

Dalam konteks kualitas diri dan keluarga pengetahuan itu berupa pemahaman yang baik terhadap ajaran islam termasuk hafalan Quran, keterampilan untuk menjalankan perintah agama (misalnya menyembelih binatang, mengajari anak-anak, muamalah, mengelola harta, berkuda, berenang, dll), Pengalaman saat mempergunakan keterampilan yang ada, belajar dari kesalahan atau menganalogikan pengalaman di masa lalu untuk mencari solusi di kondisi sekarang dan akan datang. 

Terkait portofolio ini banyak sekali yang harus dipersiapkan. 
1. Kemampuan bahasa (kami mengharapkan anak-anak kami setidaknya fasih 4 bahasa) 
2. Peta masa depan (memiliki gambaran apa yang dilakukan di masa depan, apa yang diinginkan, usia berapa dicapai, punya rencana apa-apa yang harus dipersiapkan).
3. Cita rasa hidup : tidak sekedar menjalani, Percaya diri, punya mimpi dan kemampuan melisankankan pendapat secara gamblang. Prinsipnya : izzah (kemuliaan, kehormatan) dan peningkatan imtaq. Dua prinsip ini yang menjadi dasar bertindak.
4. Pertemanan : berusaha dikelilingi orang-orang sholih biar ikutan sholih, dikelilingi orang-orang yang bisa memperbaiki & menjaga diri agar input informasi yang masuk lebih berkualitas.

Saat membuat peta masa depan, kita akan melihat ada level-level yang perlu diraih. Untuk menggapainya kita perlu melihat kualifikasi seperti apa untuk bisa menempati level tersebut. Dengan adanya kualifikasi yang jelas, kita akan fokus untuk memenuhinya.

Saat usia saya 40 tahun nanti, portofolio seperti apa yang harus saya miliki sebagai kepala keluarga? portofolio seperti apa yang perlu dibangun untuk menjadi, err... presiden direktur, misalnya. Portofolio apa yang diperlukan istri dan anak-anak saya nanti agar bisa survive dimanapun di dunia dan di akhirat nanti? Wew...

Semoga Allah melimpahi kami dengan rejeki yang barokah sehingga keluarga kecil kami yang membelanjakannya bisa memiliki portofolio yang pantas untuk hidup mulia di dunia dan selamat di akhirat. Semoga Allah melindungi kami dari menjadi pengembara  tanpa makna saat bekerja di dunia. 


ReAD MoRE・・・

Sunday 26 April 2015

[Catatan Keluarga] Potret Meja Makan Kita

Saya terlibat obrolan ringan dengan bos di kantor seputar perkembangan Indonesia. Posisi Indonesia sepertinya melewatkan tahapan sebagai negeri agraris. Belum sempat mencapai kemandirian pangan, kini potret negera industri menjadi target. 

Bila para petani berubah profesi menjadi buruh pabrik, siapa yang akan menyediakan pangan di atas meja makan kita? Para petani-nelayan-peternak di luar negeri? wew, mereka baik sekali....

Saya berpikir potret meja makan sebuah keluarga menjadi cerminan pola yang ada di suatu negara. Itulah gaya hidup rakyatnya. Seberapa banyak produk lokal yang tersaji di sana? Meja makan ini bisa berada di dalam rumah, di warung ataupun restoran. Meja tempat makan, dimana pun lokasinya.

Saat saya masih numpang hidup di Jepang, setiap berbelanja terpampang lokasi suatu produk dihasilkan. Misalkan Apel dari Nagano, Sawi dari Ibaraki, brokoli dari Amrika (impor), jeruk dari Ehime, dsb. Beberapa produk sayuran juga dilengkapi dengan foto petani penghasilnya untuk memastikan keamanan dan ketelusuruan. Bila ingin tahu darimana produknya berasal, bisa juga bertanya ke penjual.

Hal yang cukup berbeda saat berbelanja di negeri ini. Terkadang penjual pun tidak tahu darimana barang dagangannya berasal. 
"Dari pasar induk, Mas" 
Baiklah. Dari jawaban ini ada 2 poin. 
1. Penjual hanya fokus pada barang dagangan, bukan produsennya. 
2. Produsen belum memiliki akses untuk diakui sampai tangan konsumen.

Petani produsen perlu lahan yang luas di pedesaan. Sebagian besar profesi tani adalah buruh yang mengerjakan lahan luas milik tuan tanah. Dari Jaman kumpeni (Baca : company) Belanda (VOC) sampai jaman kumpeni Endonesiah moederen tidak banyak berubah. Mungkin perkapita petani Indoensia tidak memiliki lahan hingga 100 hektar untuk menghasilkan produk tanaman yang bisa mensejahterakan diri dan keluarganya. 


Beberapa hutan juga berubah fungsi menjadi lahan sawit sehingga tidak mungkin dilakukan proses pertanian di sekitarnya. Hama pertanian, tikus, tidak doyan makan kelapa sawit. Mereka masih memepertahankan selera terhadap padi dan umbi-umbian. Petani harus bersaing dengan tikus untuk mendapat sumber karbohidrat. Akhirnya profesi petani harus ditinggalkan bersama lengan-lengan perkasa dan ketekunan mengelola tanah. Buruh perkebunan menjadi pelarian menyambung hidup.

Petani bisa makmur? Bisa tapi dia nampaknya harus menguasai lahan setidaknya 100 hektar per kapita dan memiliki sistem pertanian yang sudah modern. Tidak tergantung pada pupuk kimia yang bahan bakunya masih impor. Punya jalur distribusi ke konsumen tanpa 'pertolongan' tengkulak. 

Sudah sekitar empat tahun saya kembali menjejak bumi Indonesia tapi masih belum paham kenapa harga buah-buahan di negeri ini mahal sekali. Untuk produk impor bahkan lebih mahal dari harga di Jepang. Padahal buah lokal sangat beragam, tapi tidak bisa menembus tempat perbelanjaan moderen sedalam penembusan buah impor. 

Buah-buahan lokal yang 20 tahun lalu jadi cemilan saya seperti duwet (anggur jawa), buah mentega (apel beludru) sulit sekali ditemukan. Punah? Kebun buah berubah wajah menjadi kebun beton? Entahlah.

***

Sebisa mungkin keluarga kami ingin berkontribusi terhadap negeri ini.
1. Belanja di toko milik lokal yang pemiliknya kelihatan, atau dikenal.
2. Memprioritaskan konsumsi produk negeri sendiri. Sayur dan buah sebisa mungkin yg didatangkan dari sekitar tempat tinggal. Memilih protein dengan prioritas ikan-ayam (kampung)-daging (non-impor). Walau sebenarnya ada rasa was-was dg asal ikan tsb. Lautnya tidak tercemar bahan berbahaya khan yak... (kalau di pasar tradisional bisa tanya ke penjual ttg darimana ikan itu berasal).
3. Memberdayakan pedagang kecil (misal : tukang sayur yang narik gerobak dg tenaga manusia ; kakek yang masih teguh jualan buah), kalau semua orang memenuhi kebutuhannya dengan mendorong kereta belanja saja, bagaimana nasib pedagang kecil ini?
4. Kalau makan di luar : Memastikan kehalalan, sebisa mungkin menu yg bahannya banyak kandungan lokalnya.

Alhamdulillah tetangga sebelah rumah kami menyediakan berbagai bahan kebutuhan sehari-hari. Beras yang didatangkan langsung dari penggilingan padi, gas LPG serta air mineral galon yang 2 tahun lalu bahkan belum dijadikannya komoditi. Belanja jadi mudah (iklan? haha), tinggal mengetok pintu, bahkan sebelum jam 6 pagi.

Negeri ini subur dan kaya sumber protein. Seharusnya bila petani berdaya dan nelayan perkasa, nasi dan ikan bisa menjadi makanan yang membudaya. Tidak perlu impor sapi atau ayam-ayam berumur 40 hari jadi penghias meja makan kita sehari-hari.

Sayuran dan buah murah, protein hewani tercukupi, asupan gizi menjangkau seluruh generasi. Perut kenyang dari kontribusi bumi dan air, tahapan industri melaju dengan dukungan pondasi kokoh. Tinggal dilengkapi budaya jujur anti korupsi, pewaris negeri ini akan berjaya dengan kehalian dan daya juang tinggi, berdikari dengan sumber daya sendiri. Bilakah terjadi? Jika kebangkitan islam bisa dilihat dari indikasi ramainya jamaah Subuh setara sholat Jumat, mungkin kebangkitan negeri ini bisa terindikasi dari 'hiasan'meja makan penduduknya.


ReAD MoRE・・・

Wednesday 15 April 2015

[Catatan Keluarga] Tentang Dholim, level keluarga hingga skala negara

Pagi itu matahari sudah tinggi. Saya sedang bersiap berangkat mencari nafkah. Sekelebat pikiran membuncah. "Ayah ingin mengajarkan tentang dzalim kepada si kecil."
"Oh, langsung saja dengan contoh" istri saya hanya menjawab singkat karena meilhat saya sudah siap dengan peralatan tempur : tas kerja yang sudah terpanggul dan helm yang telah terpasang di kepala. Baiklah, diskusi tentang mendidik si kecil seputar dholim dilanjutkan nanti saja. 

Memasuki usia 20 bulan, si kecil mulai dibiasakan dengan kata "bertanggung jawab". Setelah memulai suatu perbuatan, harus diakhiri dengan membereskannya. Awalnya cukup kaget, karena si bayi 20 bulan sudah terlihat paham. Ambil sendiri susu UHT di kardus, membuka sedotan, menancapkan ke kotak susu, meminumnya  sampai habis, lalu membuang kotak susu yang sudah kosong ke tempat sampah.

Saat hendak tidur dan diarahkan masuk kamar, si kecil dengan sigap memasukkan mainannya -kebanyakan lego- yang berserakan ke wadahnya, meletakkan balok-balok mainan ke tempatnya dan menaruhnya dipinggir ruangan agak tidak terinjak, meminta mematikan lampu ruang keluarga, lalu menggandeng saya ke dalam kamar. 

Saya pikir, menanamkan pemahaman tentang dholim sudah bisa dimulai. Lukmanul Hakim pun menasihati anaknya (yang kemungkinan sudah sempurna akalnya) tentang tauhid, jangan menyekutukan Allah karena termasuk perbuatan dholim yang besar. Tentu saja. Dzalim secara harfiah berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya atau melampaui batas. Menjadikan hal/benda sebagai sesuai yang disembah, selain sang Maha Pencipta, sangat masuk kategori dzalim. 

Untuk level si kecil, saya pikir bisa diawali dengan meletakkan barang-barang sesuai tempatnya. Dan kata ini erat dengan kata "bertanggung jawab" yang saat ini sudah mulai menjadi kebiasaannya. Dua hal pertama yang ingin dibiasakan buat si kecil yang lembut hatinya adalah : 
1. Tidak memakai sepatu di dalam rumah. 
2. Buang Air di toilet.

Mengapa tiba-tiba saya ingin mengenalkan dzalim kepada buah hati yang belum juga genap berumur 2 tahun? Akhir-akhir ini saya terusik dengan isu hangat yang sedang beredar di masyarakat. Saya pikir kondisi dzalim sudah terjadi pada level pimpinan negara hingga rakyat kecil. Dzalim berjamaah. 

Saya rasa mengenalkan kata dzalim dan implementasinya sangat penting agar buah hati saya dan adik-adiknya kelak tidak termasuk ke dalam golongan orang yang dzalim dalam level apapun. Loh? Memangnya penting? Kata saya : Sangat Penting. 

Hukuman buat orang dzalim tersurat dalam Al Quran (Al A'raf : 165) : siksa yang keras karena orang dzalim itu berbuat fasik. Waduh, jangan sampai anak keturunan kami mendapat siksa karena berbuat dzalim.

Kenyataannya ada pemimpin/bangsa yang berbuat dzalim tapi mereka masih baik-baik saja. Kenapa? Well, ada 3 kemungkinannya. 
1. Dibiarkan oleh Allah. Contohnya Fir'aun. Dia tidak langsung diazab, tapi dibiarkan dulu bersenang-senang di dunia. Artinya, belum datang saja giliran buat bangsa/pemimpin yang dzalim itu. 
2. Orang yang dizalimi  juga mendzalimi orang lain. Terjadi kedzaliman berjamah disemua level masyarakat. Tanpa diazab pun bangsa seperti itu kan hancur dengan sendirinya. (iya gak sih?)
3. Karena ada kebaikan dari orang dzalim itu di masa depan (setelah bertaubat). Contohnya : Umar bin Khattab tidak langsung 'dihilangkan dari sejarah' saat beliau masih kafir. Atau, Khalid bin walid :-)

Berbuat dzalim juga menjadi salah satu pintu dipercepatnya azab/hukuman di muka bumi,selain memutuskan silaturahim (HR Abu Daud) Apakah kedzaliman sudah terjadi di negeri ini? Beberapa rekaman kejadian yang tercatat dalam memori saya :
1. Pungutan terhadap rakyat dinaikkan, santunan dihilangkan, sumbangan untuk pejabat ditambahkan. Sudah banyak beritanya. Setelah pemotongan paksa iuran pensiun, kesehatan (yang bagi sebagian orang tidak termanfaatkan), pajak pemandangan(utk apartemen?) juga diwacanakan. Pajak mulai dipungut dalam tingkatan yang membuat... gagal paham.
2. Pemimpin lebih dari 200 juta orang tidak bisa berbicara di forum nasional. Tempatnya menjadi pendengar yang baik, penuang minum yang sopan.
3. Miras dibela untuk menjamin kepastian berusaha?
4. Pengedar narkoba dari negeri tetangga diperlakukan berbeda dengan napi WNI? Kenapa tidak segera dieksekusi saja?!
5. Pungli  dan setoran tak resmi di jalan raya terjadi seperti biasa.
6. Begal bangkit dari tidur di Jabodetabek dan wilayah lainnya. Keluar rumah tidak lagi nyaman.
 
7. Pengemis masa kini : mengesot dalam gelap di jalan raya, mengundang empati karena bahaya.
8. Korupsi yang menggurita : menyelewengkan peruntukan dana rakyat.... ini jelas dzalim.
Mungkin ada fakta-fakta lapangan lain yang terlepas dari pengamatan saya, tapi kedzaliman yang terjadi saat ini sangat-sangat-sangat membuat tidak nyaman. Terjadi begitu dekat dan nyata. Saya tidak bisa berbuat banyak dan kerja-kerja-kerja saja. Kewenangan saya mungkin sebatas level keluarga. Oleh karena itu, setidaknya saat anak-anak saya dewasa nanti, mereka tidak berbuat dzalim dan terbebas dari lingkungan yang dzalim. Sulit mengubah suatu generasi yang pola pikirnya berbuat dzalim adalah budaya biasa saja. Harus dimulai dari sebuah generasi baru yang tajam pikirnya, kuat prinsipnya, trengginas gerakannya.

Reward untuk istri tercinta yang selalu kritis dan terbuka pikirannya terhadap perubahan sambil memperkokoh benteng kami, setiap hari mendidik si buah hati. Pendidikan anti-dzalim dalam keluarga dimulai dari pemimpinnya. Iya, taruh barang pada tempatnya, jangan berbuat berlebihan hingga melampaui batas, gunakan sesuatu sesuai peruntukannya. Kedengarannya tidak sulit dilakukan? Well, ayo segera diimplementasikan. :-)  *Semoga saya tidak menjadi kontributor kedzaliman di negeri ini, kaca, mana kaca...*




ReAD MoRE・・・

Tuesday 24 February 2015

Pelangi Keluarga (1)

Sebetulnya penyebab awal lahirnya tulisan pelangi keluarga ini adalah kehilangan dompet di bulan Januari. Betul-betul kejutan awal tahun yang sedikit mengganggu cash flow, karena uang reimbursement dari kantor berada di dompet itu, lengkap dengan kartu-kartu identitas, perbankan, hingga kendaraan.

Ternyata Allah menggantinya dengan sangat indah : kajian ilmu yang diisi oleh para ustadz dan ustadzah papan atas yang bisa kami akses dengan mudah. Saat itu kami ingin menambah ilmu agama tentang Allah dan keluarga. Tiba-tiba saja beragam informasi seolah disodorkan dan dengan berbagai keterbatasan yang ada kami sekeluarga bisa hadir dalam berbagai majelisi ilmu itu. Padahal kami baru berniat saja tapi Allah seolah sudah berlari menyambut niatan kami. 

Diawali dengan terlahirnya Fatherhood Forum, hingga kajian seputar pendidikan anak, ekonomi keluarga, peradaban dan mungkin masih akan banyak jalan ilmu lain yang terbuka. Cukup Padat. Skenario Allah membuat berbagai narasumber keren dihadirkan dengan tema serupa saling terkait dan terkonsentrasi di Januari-Februari ini. Istri tercinta bilang, kepalanya sudah full dengan teori saat saya mengajak ikut ke sebuah kajian lain di Jakarta. Sebenarnya saya juga mulai overload dengan teori tapi rasa haus akan ilmu masih tetap menggelora. Mau tidak mau isi otak yang sudah mau overload ini harus dikeluarkan sedikit demi sedikit agar tidak tumpah sia-sia (lupa seiring berjalannya waktu).

Solusinya ada 2.
1. Teorinya Langsung dipraktikan 
2. Diikat dengan tulisan. 

Praktik merupakan aksi yang tidak seketika dan memakan waktu plus tidak bisa sekaligus. Sembari mempraktikkan sedikit demi sedikit saya ikat dulu beragam informasi yang berputar dalam otak ini. Mohon maaf, tulisannya jadi versi Sunu, karena kajian-kajian yang saya ikuti sebenarnya direkam dan tersedia versi audio maupun cetaknya, maka saya menuliskan dengan menambahkan sudut pandang pribadi. 

Secara pribadi, generasi jomblo sekarang nampaknya lebih beruntung karena banyak sekali majelis ilmu yang membahas tema keluarga. Peserta yang hadir pun banyak yang masih mahasiswa (jomblo) maupun pekerja (jomblo), meski tidak sedikit pula pasangan yang hadir dengan buah hatinya. Tulisan ini menjadi ikatan ilmu pertama dalam 2 bulan ini disarikan dari kajian bersama Salim A. Fillah di DT Jakarta 14 Feb 2015.

***
Visi Keluarga Surgawi, inilah tema besar yang menjadi muara beberapa kajian di Januari-Februari ini. Jurusan Membangun keluarga tidak muncul dalam kurikulum resmi di sekolah maupun universitas. Supaya kita tidak salah arah, mencari rujukan sumber terpercaya jadi solusi. Dalam Al Quran sendiri, pasangan hidup dan keluarga diceritakan dalam kisah para Nabi yang terjadi bahkan 20 ribu tahun yang lalu agar kita bisa mengambil pelajaran. 

Dua puluh ribu tahun yang lalu di bumi ini tiba-tiba muncul lompatan peradaban. Ditemukan jejak sejarah yang menjadi bukti tiba-tiba saja di bumi ini ada peradaban baru. Tiba-tiba? Menurut perhitungan Ibnu Abbas, Nabi Adam turun ke bumi sektar 19500 tahun yang lalu, beda tipis dengan temuan sejarah tentang beradaban manusia di bumi. 

Mengapa Adam sampai turun ke bumi? Kita sudah tahu kisahnya. Iblis yang sudah sujud kepada Allah selama 40 ribu tahun tiba-tiba diperintahkan untuk sujud kepada mahkluk baru yang diciptakan dari tanah. Kenapa bisa? Kenapa ada makhluk baru yang lebih dicintai Allah daripada iblis? Turunnya Adam ke muka bumi tercetus dari rasa hasad iblis yang ingin lebih dihargai, dicintai, disayangi Allah. 

Keinginan untuk disayangi Allah bukanlah hal yang buruk, asalkan tidak dengki terhadap sesuatu yang lebih disayangi Allah. Hal yang mirip terjadi pada putra Adam, Habil dan Qobil. Seseorang bisa membunuh saudaranya sendiri disebabkan hasad atas qurban yang diterima oleh Tuhan. Keinginannya hanyalah qurbannya dinilai yang terbaik, namun tidak menjadi kenyataan. Hasad seputar ibadah ternyata bisa bermuara menjadi hal buruk. 

Sebagai manusia hasad menjadi penyakit hati yang berpotensi merusak hal besar. Jangan sampai ada hasad yang muncul saat melihat orang lain ibadahnya lebih, ilmunya lebih tinggi, amalnya lebih banyak. Iblis yang sudah sujud 40 ribu tahun saja masih bisa merasa lebih baik daripada Adam,bagaimana dengan kita yang mungkin sujud 5 menit saja sudah kesemutan? :-D Well, api memang bisa menerangi dan memberikan kehangatan, tapi harus ada sesuatu yang 'dimakannya' untuk bisa seperti itu, bila tidak ada api itu akan padam. Sementara tanah bersifat lembut dan fleksibel dibentuk apapun. Harga korek api juga tidak banyak berubah, tapi harga tanah naik terus tiap tahun. Hehe. Jadi sebenarnya mana yang lebih baik?

Nabi adam menjadi pengingat nilai kita sebagai manusia. Nilai dasar kemanusiaan bisa kita renungi dari kisahnya dan keturunannya. Pelajaran berikutnya adalah kisah nabi Nuh tentang keteguhan dakwah dan ibadah. 

Surat Nuh diturunkan saat Nabi SAW dalam cobaan yang berat dari perlakuan kaumnya, tahun 11 kenabian. Seruan beliau diabaikan. Saat berjalan dilempari batu. Saat sujud kaki beliau diinjak dan disiram isi perut onta yang menjijikkan. Lalu diceritakanlah kisah nabi Nuh, yang baru diangkat menjadi Nabi saat berusia 450 tahun dan berdakwah selama 500 tahun. Putra nabi nuh sendiri berakhir tidak termasuk dalam golongan orang yang beriman. 

Rasullullah SAW terlecut lagi semangat juangnya setelah wahyu ini. Sebelas tahun dakwahnya belumlah apa-apa dibandingkan dakwah yang dilakukan 500 tahun oleh nabi Nuh. Kebanggaan sebagai manusia ada pada ketaqwaannya. Masalahnya taqwa itu tidak terlihat, jadi bagaimana mau dibanggakan? Kalau di jidat kita muncul layar indikator tingkat ketaqwaan, tentunya lebih mudah sungkem ke orang yang tingkat ketaqwaannya tinggi atau bergegas berbenah saat tingkat ketaqwaan menurun. 

Menurut 'Aisyah, inti manusia adalah sifat tawadu', down to earth, makin bertaqwa harusnya makin rendah hati, jadi bukan untuk dibangga-banggakan. Setelah membahas tentang konsep kemanusiaan dan keteguhan dalam berdakwah, selanjutnya adalah kisah keluarga-keluarga bervisi surgawi. Ada kisah nabi Ibrahim dan keluarga Imron. Ini cerita tentang salah satu keluarga yang dipilih oleh Allah untuk menjadi cermin semesta sepanjang zaman. 

Keluarga Ibrahim.

Setelah penantian yang panjang hingga rambut beruban, kulit keriput, dan tubuh uzur; dari Sarah yang jelita, berdarah bangsawan, lagi cendikia itu kelak Allah mengaruniakan Ishaq. Sebelumnya; Hajar yang kehitaman kulitnya, pendek tubuhnya, ikal rambutnya, dan bekas sahaya telah melahirkan Isma’il. Salam sejahtera dan doa sentausa atas mereka semua. Tentang akan lahirnya Ishaq; Allah berfirman dalam Surah Al Hijr ayat ke-53; “Sesungguhnya Kami akan beri kabar gembira padamu dengan seorang bocah yang amat ‘ALIM.”

 Adapun tentang Isma’il Allah firmankan; “Maka Kami berikan kabar gembira pada Ibrahim dengan seorang bocah yang amat HALIM.” Demikian seperti tertera dalam Surah Ash Shaaffat ayat ke-101. Pilihan kata dalam Al Quran selalu menakjubkan. Antara ‘ALIM yang jadi sifat Ishaq & HALIM yang jadi sifat Isma’il hanya berbeda 1 huruf. Tetapi sungguh akan menjadi tafakkur mendalam betapa ia adalah karunia yang terpatri menjadi watak bagi para putra kebanggaan ayahnya itu. 

Bahkan akan menjadi renungan dahsyat bagaimana masing-masingnya terwaris pada kedua garis nasab yang mulia ini. ‘Alim; pandai serta berilmu; menjadi sifat keturunan Ishaq melalui Ya’qub, Yusuf, Musa, Harun, Dawud, Sulaiman, terus hingga ke Zakariya, Yahya, dan juga ‘Isa; pada mereka terhatur shalawat dan cinta. Bahkan juga; keturunan Bani Israil yang banyak ingkar sejak moyangnya hingga hari ini, tetap Allah karuniai kepandaian dan ketekunan dalam ilmu yang menakjubkan. Seakan-akan gerbang pengetahuan dari langit terbuka mencurah-curahkan isinya pada otak mereka yang pintunya juga menganga.

Maka tak hanya soal Al Kitab dan Al Hikmah, berbagai-bagai bidang sains yang memberi manfaat maupun madharat bagi manusia, Allah ilhamkan melalui mereka; keturunan Ishaq. Penegasan tentang “bocah ‘alim” ini diulang lagi dalam Surah Adz Dzaariyaat ayat ke-28; menunjukkan betapa banyak keturunan Ishaq beroleh karunia kealiman.

Adapun Isma’il, hanya sekali dia disebut dengan sifat indah itu; HALIM. Tetapi watak itu mencakup sifat santun, penyabar, tahan menderita, dan pemaaf. Pada diri Isma’il; paling nyata ia tampak dalam kesediaannya tuk diqurbankan. Tak banyak keturunan Isma’il yang menjadi Nabi, tapi satu yang jadi pamungkas cukuplah sudah; Muhammad ShallaLlahu ‘Alaihi wa Sallam. Dialah puncak perwujudan sifat HALIM yang Allah sematkan pada Isma’il; terbaca di sepanjang Sirah-nya. (dinukil dari http://salimafillah.com/nasab-dan-pewarisan; sudah tertulis dg rapi, jd tidak perlu dicertitakan kembali dg bahasa saya  )

Doa nabi Ibrahim agar negeri Mekkah diberkahi terjawab sekitar 4200 tahun setelah dipanjatkan. Allah bahkan melebihkan doanya sehingga tidak hanya mekkah tapi semesta alam dengan kelahiran seorang rasul akhir jaman yang ajarannya berlaku hingga datang hari kiamat. 

Dalam konteks keluarga dan keturunan, seseorang yang tingkat keimanan dan ketaqwaannya paling tinggi akan mampu mengangkat garis moyang dan keturunannya ke dalam tingkatan yang sama dalam surga. Oleh karena doa agar diberikan keturunan yang shaleh harus tetap giat dipanjatkan karena kita tidak pernah tahu kapan doa ini akan dikabulkan. 

Bisa jadi bukan pada saat kita masih hidup, tapi generasi cicitnya cicitnya cicitlah keturunan terbaik itu dilahirkan. Dari kisah keluarga Imron, kita terinsprasi mengenai cita-cita yang patut ditanamkan kepada anak-anak kita. Soal cita-cita yang tercantum dalam al quran. Apa coba? presiden? (tet toot). Gubernur ?(tet tottt). sebelum mesin tetot rusak, ada dalam kisah keluarga Imron (Q.S 3: 35) ... aku nadharkan kepadaMu seorang anak yang menjadi mucharor (hamba yang berhidmat)... 

Ternyata yang lahir adalah bayi perempuan (Maryam), sebagai mucharor (skrg ta'mr masjid, atau menurut persepsi saya adalah orang-orang yang hati dan pikirannya terikat dengan masjid), rejekinya dijamin oleh Allah. Sampai nabi zakaria heran setiap kali masuk ke mihrab Maryam ada saja rejeki (makanan) yang tersedia. 

Makanya untuk anak-anak sebaiknya diberikan cita-cita seperti ini : menjadi seorang abdi yang memuliakan rumah Allah. Pekerjaan utama ta'mir masjid, sambilannya pengelola 100 hotel. Main Job ta'mir masjid, sampingannya pengusaha ekspor impor omzet 1 triliun sebulan. pekerjaan utama ta'mir masjid, sampingannya boleh jadi presiden.

Setelah ada contoh-contoh keluarga yang diceritakan dalam Al Quran sebagai panutan, bagimana ciri keluarga yang sakinah itu? Ciri sakinah ada 3. 

Yang pertama menjaga suami dari perbuatan hina dan menyelamatkan istri dari perbuatan yang dimurkai. Hasilnya, suami dan istri tercegah dari perbuatan keji dan dosa dengan adanya ikatan jiwa. Maka misalkan di jalan ada wanita/lelaki penggoda, segeralah temui pasanganmu.

Yang Kedua. Hati itu cenderung kepada pasangannya Misalnya saat masih jomblo liat gadget baru maunya langsung beli, saat sudah berkeluarga sudah beda rasa. Begitu lihat gadget baru, yg terpikir kulkas di rumah perlu lebih besar, baju anak udh kekecilan, dsb dsb.

Yang ketiga, bisa bicara tanpa kata, bisa mengerti tanpa bicara. Misalnya istri pengen bakso, sms ke hp suami , padahal sedang dicharge di kamar. Suami yg di masjid tiba-tiba terinspirasi beli bakso biarpun sms istri tidak sampai ke dirinya saat itu. Suami dan Istri merasa tenteram saat bersama maupun ketika sedang berpisah. Saat bersama suami istri saling bersyair memuji memupuk cinta, saling bercerita untuk lebih menguatkan. Jangan sampai suami/istri jsutru merasa lebih tenteram kalau tidak bersama pasangannya.

Bila visi yang terbentuk sudah sama, maka gangguan dari luar bisa diatasi dengan mudah. Setelah rama tinggal bersama, memakan makanan yang sama, berpikir dengan pola yang sama, lama-lama wajah suami istri itu jadi mirip. (katanya..). 

Contoh kasus saat perang Khandak, istri-istri kaum muslimin didatangi wanita munafik. "
Duh, ibu2, kasihan yah sering ditinggal pergi suami buat perang mulu. Siapa yang cari nafkah?" 

Ibu-ibu kaum mulsimin sih cuek beibeh, "yang pergi itu tukang makan ya bu ibu. Kalau yang ngasih rejeki mah gak kemana-mana kok. Allah masih ngasih rejeki kok buat kita-kita."

Karena visi keluarga sudah sama, persepsi tentang segala sesuatu tidak akan jauh berbeda. 

 *** 

Dari kajian ini beberapa poin yang bisa saya ambil : 

1. Visi keluarga haruslah jangka panjang, karena kita akan membentuk sebuah komunitas antar jaman yang akan disatukan kembali setelah kematian. Posisi paling nyaman di surga nanti akan ditentukan oleh nenek moyang atau cucu moyang kita. Karena kita tidak benar-benar tahu kualitas keimanan nenek moyang kita, doa yang dcontohkanpun tentang meminta keturunan yang sholeh. 

2. Menikah harus menjadi nafas dan daya hidup lingkungannya. Kalau tentara saja bisa berkomunikasi dengan sandi meski terhalang bukit. Suami istri bisa berkomunikasi secara ‘ruh’ dengan iman. Karena perantaranya adalah sang pencipta ruh. Jadi, memilih istri harus sekufu imannya.

 3. Membangun ruh yang satu, gimana cara? jadi teringat bahwa Hawa tercipta dari rusuk Adam. Kenapa rusuk? Karena posisinya dekat dengan jantung, wanita harus dicurahi perhatian karena dia melindungi jantung hati. Rusuk juga tak jauh dari tangan, laki-laki dengan tangannya lah yang harus melindungi wanita. Chieeh. 

***

 Tulisan kedua insyaAllah versi aplikatifnya. Setelah ada contoh keluarga panutan dalam Al Quran, di era sekarang bagaimana membangun keluarga dan mendidik anak dengan visi surgawi? - akan disarikan dari fatherhood Forum dan beberapa kajian lain yang diikuti bbrp waktu lalu, Insyaallah-


ReAD MoRE・・・