Wednesday 15 April 2015

[Catatan Keluarga] Tentang Dholim, level keluarga hingga skala negara

Pagi itu matahari sudah tinggi. Saya sedang bersiap berangkat mencari nafkah. Sekelebat pikiran membuncah. "Ayah ingin mengajarkan tentang dzalim kepada si kecil."
"Oh, langsung saja dengan contoh" istri saya hanya menjawab singkat karena meilhat saya sudah siap dengan peralatan tempur : tas kerja yang sudah terpanggul dan helm yang telah terpasang di kepala. Baiklah, diskusi tentang mendidik si kecil seputar dholim dilanjutkan nanti saja. 

Memasuki usia 20 bulan, si kecil mulai dibiasakan dengan kata "bertanggung jawab". Setelah memulai suatu perbuatan, harus diakhiri dengan membereskannya. Awalnya cukup kaget, karena si bayi 20 bulan sudah terlihat paham. Ambil sendiri susu UHT di kardus, membuka sedotan, menancapkan ke kotak susu, meminumnya  sampai habis, lalu membuang kotak susu yang sudah kosong ke tempat sampah.

Saat hendak tidur dan diarahkan masuk kamar, si kecil dengan sigap memasukkan mainannya -kebanyakan lego- yang berserakan ke wadahnya, meletakkan balok-balok mainan ke tempatnya dan menaruhnya dipinggir ruangan agak tidak terinjak, meminta mematikan lampu ruang keluarga, lalu menggandeng saya ke dalam kamar. 

Saya pikir, menanamkan pemahaman tentang dholim sudah bisa dimulai. Lukmanul Hakim pun menasihati anaknya (yang kemungkinan sudah sempurna akalnya) tentang tauhid, jangan menyekutukan Allah karena termasuk perbuatan dholim yang besar. Tentu saja. Dzalim secara harfiah berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya atau melampaui batas. Menjadikan hal/benda sebagai sesuai yang disembah, selain sang Maha Pencipta, sangat masuk kategori dzalim. 

Untuk level si kecil, saya pikir bisa diawali dengan meletakkan barang-barang sesuai tempatnya. Dan kata ini erat dengan kata "bertanggung jawab" yang saat ini sudah mulai menjadi kebiasaannya. Dua hal pertama yang ingin dibiasakan buat si kecil yang lembut hatinya adalah : 
1. Tidak memakai sepatu di dalam rumah. 
2. Buang Air di toilet.

Mengapa tiba-tiba saya ingin mengenalkan dzalim kepada buah hati yang belum juga genap berumur 2 tahun? Akhir-akhir ini saya terusik dengan isu hangat yang sedang beredar di masyarakat. Saya pikir kondisi dzalim sudah terjadi pada level pimpinan negara hingga rakyat kecil. Dzalim berjamaah. 

Saya rasa mengenalkan kata dzalim dan implementasinya sangat penting agar buah hati saya dan adik-adiknya kelak tidak termasuk ke dalam golongan orang yang dzalim dalam level apapun. Loh? Memangnya penting? Kata saya : Sangat Penting. 

Hukuman buat orang dzalim tersurat dalam Al Quran (Al A'raf : 165) : siksa yang keras karena orang dzalim itu berbuat fasik. Waduh, jangan sampai anak keturunan kami mendapat siksa karena berbuat dzalim.

Kenyataannya ada pemimpin/bangsa yang berbuat dzalim tapi mereka masih baik-baik saja. Kenapa? Well, ada 3 kemungkinannya. 
1. Dibiarkan oleh Allah. Contohnya Fir'aun. Dia tidak langsung diazab, tapi dibiarkan dulu bersenang-senang di dunia. Artinya, belum datang saja giliran buat bangsa/pemimpin yang dzalim itu. 
2. Orang yang dizalimi  juga mendzalimi orang lain. Terjadi kedzaliman berjamah disemua level masyarakat. Tanpa diazab pun bangsa seperti itu kan hancur dengan sendirinya. (iya gak sih?)
3. Karena ada kebaikan dari orang dzalim itu di masa depan (setelah bertaubat). Contohnya : Umar bin Khattab tidak langsung 'dihilangkan dari sejarah' saat beliau masih kafir. Atau, Khalid bin walid :-)

Berbuat dzalim juga menjadi salah satu pintu dipercepatnya azab/hukuman di muka bumi,selain memutuskan silaturahim (HR Abu Daud) Apakah kedzaliman sudah terjadi di negeri ini? Beberapa rekaman kejadian yang tercatat dalam memori saya :
1. Pungutan terhadap rakyat dinaikkan, santunan dihilangkan, sumbangan untuk pejabat ditambahkan. Sudah banyak beritanya. Setelah pemotongan paksa iuran pensiun, kesehatan (yang bagi sebagian orang tidak termanfaatkan), pajak pemandangan(utk apartemen?) juga diwacanakan. Pajak mulai dipungut dalam tingkatan yang membuat... gagal paham.
2. Pemimpin lebih dari 200 juta orang tidak bisa berbicara di forum nasional. Tempatnya menjadi pendengar yang baik, penuang minum yang sopan.
3. Miras dibela untuk menjamin kepastian berusaha?
4. Pengedar narkoba dari negeri tetangga diperlakukan berbeda dengan napi WNI? Kenapa tidak segera dieksekusi saja?!
5. Pungli  dan setoran tak resmi di jalan raya terjadi seperti biasa.
6. Begal bangkit dari tidur di Jabodetabek dan wilayah lainnya. Keluar rumah tidak lagi nyaman.
 
7. Pengemis masa kini : mengesot dalam gelap di jalan raya, mengundang empati karena bahaya.
8. Korupsi yang menggurita : menyelewengkan peruntukan dana rakyat.... ini jelas dzalim.
Mungkin ada fakta-fakta lapangan lain yang terlepas dari pengamatan saya, tapi kedzaliman yang terjadi saat ini sangat-sangat-sangat membuat tidak nyaman. Terjadi begitu dekat dan nyata. Saya tidak bisa berbuat banyak dan kerja-kerja-kerja saja. Kewenangan saya mungkin sebatas level keluarga. Oleh karena itu, setidaknya saat anak-anak saya dewasa nanti, mereka tidak berbuat dzalim dan terbebas dari lingkungan yang dzalim. Sulit mengubah suatu generasi yang pola pikirnya berbuat dzalim adalah budaya biasa saja. Harus dimulai dari sebuah generasi baru yang tajam pikirnya, kuat prinsipnya, trengginas gerakannya.

Reward untuk istri tercinta yang selalu kritis dan terbuka pikirannya terhadap perubahan sambil memperkokoh benteng kami, setiap hari mendidik si buah hati. Pendidikan anti-dzalim dalam keluarga dimulai dari pemimpinnya. Iya, taruh barang pada tempatnya, jangan berbuat berlebihan hingga melampaui batas, gunakan sesuatu sesuai peruntukannya. Kedengarannya tidak sulit dilakukan? Well, ayo segera diimplementasikan. :-)  *Semoga saya tidak menjadi kontributor kedzaliman di negeri ini, kaca, mana kaca...*



No comments: