Tuesday 23 June 2015

[Catatan Keluarga] Suamiku, Apakah Rejeki Kita Barokah? (3)

Ramadhan menjadi bulan perhitungan. Hitung-hitungan amal, lebih rajin lagi agar dilipatgandakan. Hitung-hitungan untuk lebaran. Utamanya hitung-hitungan zakat juga. Biarpun biasanya sudah dilakukan di luar Ramadhan, target menjadi fitri setelah bulan suci, menjadikan diri lebih sensitif untuk mensucikan harta.

Tahun lalu saya berdiskusi cukup panjang dengan istri terkait zakat. Betul. Seiring dengan perkembangan ilmu fiqh, macam zakat bukan sekedar zakat fitrah dan zakat maal (harta) saja. Ada zakat profesi namanya. Pertimbangannya, bila petani saja dikenai beban zakat 10% untuk mensucikan pendapatannya, kenapa pekerja kantoran yang dapat gaji tiap bulan hanya bayar setahun sekali?

Kesimpulannya waktu itu, saya tidak keberatan mengeluarkan sejumlah harta. Tapi belum bisa menerima sebutan zakat untuk itu. Di sini titik masalahnya. Zakat itu wajib, sedangkan sedekah lain ‘hanya’ Sunnah saja level tertingginya. Poin saya seputar zakat adalah nisab dan waktu. Ada nilai tertentu yang dimiliki selama satu tahun. Pengeluarannya pun setelah dikurangi dengan beban rumah tangga dan hutang sehingga nilai tersisa yang diam selama satu tahun inilah yang wajib dikeluarkan zakatnya.

Waktu itu, istri tetap mengeluarkan sejumlah nominal , tapi bagi saya itu bukan zakat, sesuai definisinya. Nisab untuk pendapatan sendiri ditetapkan oleh ahli fiqih modern, sesuai dengan mata uang masing-masing negara (?). pemikiran ini yang belum bisa saya terima. Apakah nisab zakat untuk orang yang tinggal dan bekerja di Jakarta akan sama dengan yang tinggal dan bekerja di Tangjungpura, misalnya. Nilai rupiah sekarang naik turun drastis, berbeda dengan emas yang lebih stabil, biarpun naik-turun juga.

Poin saya adalah perbedaan gaya hidup dan pola pikir yang demikian jauh. Orang yang tinggal di kota besar, bisa jadi menjadi penerima zakat karena pola hidupnya. Ada yang bilang namanya miskin perkotaan. Gaji 10 juta, tapi cicilan ini itu 9 juta. Nah loh. Kenyatannya, pola pikir kalau bisa dicicil kenapa beli tunai sudah menjadi kebiasaan. Hutang yang mulanya sesuatu yang sangat-sangat-sangat dihindari karena menyangkut harga diri dan beban ahli waris bila ditinggal mati, kini bukanlah sesatu yang ditakuti. Orang justru berebut memperoleh hutang untuk memuaskan konsumsi. 

Sistem pun mendukungnya. Ambil kasus masalah papan (rumah). Rumah mahal? Iya. Susah beli, akhirnya ambil KPR. Akadnya apa? Jual beli? Siapa yang jual dan siapa yang bayar. Di sini sudah cacat secara akad. Punya uang 30% dari nilai property sudah cukup!. Bahkan katanya Juni ini akan diturunkan lagi batas LTVnya hingga 10% doank. Nah loh, kalua si suami mati, gimana? Gampang! Pakai asuransi, cicilan langsung lunas begitu ada surat kematian, anak istri gak perlu kuatir. Semua senang. Apakah semua akan baik-baik saja dengan begitu?

Sistem ini akan tetap berlangsung karena ada yang memakai. Banyak lagi. Akhirnya, konsumsi yang dibangun atas dasar hutang akan memberikan data ekonomi yang salah sasaran. Konsumsi masyarakat tinggi bukan berarti kesejahteraan masyarakat sudah tinggi pula. Akan sulit dibedakan orang-orang yang Nampak kaya dengan yang benar-benar kaya. Terutama untuk kaum menengah. 

Siapa itu kaum menengah? Tergantung yang bikin definisi, katanya sih yang punya pendapatan 150 juta per tahun atau lebih. Kalau kata saya, kaum menengah itu, golongan yang mempunyai pilihan untuk mengalokasikan uangnya ke hal-hal yang dia suka. Apakah hal-hal itu akan membuatnya ‘nampak kaya’ atau akan membuatnya kaya (pada saatnya).Bila harta yang dipegang tak cukup, golongan menengah ini termasuk bank-able dan lebih mudah mendapat kucuran kredit.
Bila si golongan menengah ini memilih untuk memakai hartanya agar tampak kaya, pembelian barang-barang untuk mendukung gaya hidup (mewah)  statusnya yang bank-able akan mendorong pengajuan hutang ke bank. Semakin banyak orang seperti ini, makan banyak yang tidak naik kelas. terperangkap hutang konsumtif dan gagal menjadi golongan ekonomi atas. Biarpun tampaknya begitulah seleksi yang berlaku dalam piramida. Populasi yang ada di atas selelau lebih sedikit dibandingkan kelompok di bawahnya.Yang gagal mengelola hartanya bisa turun status, dari wajib mengeluarkan zakat menjadi berhak menerima zakat. 

Kalau hutang jangka panjang (10-20 tahun?) terus didekap, apakah mungkin nisab 85 gram emas itu tercapai sebelum hutang itu lunas? Saya termasuk yang pesimis...

Bagi saya pelajaran soal zakat ini adalah manajemen uang yang sangat apik. Pertama, menstimulasi untuk memutar kekayaan sehingga dengan perpindahan uang ke lebih banyak orang akan lebih meratakan kesejahteraan. Tidak terpusat pada simpul-simpul penguasa ekonomi tertentu saja. Jangan sampai ada uang yang diam saja tidak bermanfaat. Bahkan uang yang didiamkan saja akan tergerus nilainya. Kalau pas banget kena nisab, tahun-tahun berikutnya bisa jadi sudah tidak wajib dikeluarkan zakatnya karena sudah tidak mencapai nisab lagi. (apalagi kalau hartanya tersimpan dalam wujud rupiah dalam rekening bank).

Kedua, membiasakan untuk melakukan pembukuan harta yang rapi. karena zakat ini dihitung setiap tahun. Apakah perputaran aset kita menghasilkan harta diam selama satu tahun? Apakah aset-aset itu lebih banyak berputar memberi manfaat atau diam tergolek  setiap saat?

Bisa jadi sejumlah uang yang diam dalam satu tahun, mencapai nisab sehingga harus dikeluarkan zakatnya itu lebih barokah dbandingan bila dijadikan modal berhutang. Bila target yang ingin dimiliki belum bisa dibeli sehingga harus menambah 'tabungan' lagi,  tahun berikutnya simpanan harta tak bergerak itu kena nisab dan harus dikeluarkan lagi zakatnya... dan tahun berkitnya, dan tahun depannya lagi, sampai cukup untuk transaksi jual beli. 

Bisa jadi...nominal zakat yang dikeluarkan lebih kecil dari beban riba yang dipakaikan sekaligus membuat rejeki lebih barokah. Eefeknya? kalau menurut perhitungan suatu barang yang ingin dimilki baru bisa menjadi kenyataan 10 tahun lagi, mungkin saja bisa terjadi lebih cepat, 3 atau 4 tahun saja, misalnya. Sedikit bersabar dengan mempertahankan gelar wajib zakat terdengar lebih keren. :-)   *dalam kasus golongan menengah yang ingin beli rumah dengan bantuan pihak ke-3, DPnya saja sudah kena nisab, bukan yak? *

Seputar Hutang :“Aku wasiatkan kepada kalian agar tidak berhutang, meskipun kalian merasakan kesulitan, karena sesungguhnya hutang adalah kehinaan di siang hari kesengsaraan di malam hari, tinggalkanlah ia, niscaya martabat dan harga diri kalian akan selamat, dan masih tersisa kemuliaan bagi kalian di tengah-tengah manusia selama kalian hidup.” Lihat kitab Umar bin Abdul Aziz Ma’alim Al Ishlah wa At Tajdid, 2/71, karya DR. Ali Muhammad Ash Shallabi (Asy Syamela).
Well, semoga rejeki yang barokah itu bisa tercapai dengan bebas hutang dan menjadi wajib zakat maal. (bukan wajib pajak, hiks hiks...) [Update] Kebijakan keluarga tahun 2015 : zakat penghasilan tahunan dikeluarkan sesuai kriteria (tentunya setelah dikurangi beban/tanggungan reguler rerata bulanan, sehingga gampang itungannya :-))





No comments: