Saturday, 2 May 2015

[CATATAN KELUARGA] Suamiku, Apakah rejeki Kita Barokah? (2)

Melanjutkan posting sebelumnya seputar keuangan keluarga. Well, kali ini untuk melakukan evaluasi untuk caturwulan pertama di 2015. Temanya tentang portofolio keluarga. #Sebelumnya : ini

Istri saya yang lebih ahli seputar portofolio karena menjadi bagian penelitiannya semasa kuliah. Jadi urusan pembelanjaan pengelolaan keuangan keluarga sedikit banyak mendapat tidakpersetujuan dari istri, haha. Saya cenderung untuk mengambil resiko besar sehingga pilihan investasi ini itu beserta difersifikasinya ingin segera dilakukan. Istri saya, sebaliknya. Manajemen resiko menjadi isu yang cukup lama digelutinya sehingga pertimbangannya panjang dan cenderung berhati-hati. Tapi saya akui, masukan dan tidakpersetujuan istri cukup mujarab pada kebanyakan kasus. Ada sisi-sisi resiko yang terkadang luput dari pandangan saya.

***

Punya Rumah bagi orang Indonesia adalah isu paling besar berdasarkan survei yang dilakukan lewat mesin pencari google.ini.  Sementara itu berdasarkan hasil survei ini, berikut adalah hal yang paling banyak dicari oleh penduduk suatu negeri :
Malaysia   : Mobil dan tato
Singapura  : Pembantu rumah tangga
Thailand    : PSK
Filipina      : Pensiun
Korea         : Operasi Plastik (hidung)
Jepang     : Semangka (well, mulai 1 Mei diterapkan coolbiz, pakaian kerja tanpa dasi, lengan pendek, jelang musim panas. Semangka biasanya menjadi buah penyegar di musim ini)

Rumah juga menjadi kata kunci yang paling banyak dimasukkan ke mesin pencari di negara lain seperti Oman dan Guatemala. Penduduk Indonesia tidak sendirian :-)
*** 

Baiklah. Selama 3 tahun pernikahan, kami telah melakukan diversifikasi pengelolaan harta. Ada yang kami simpan dalam bentuk emas, ada pula sekuritas, sebagian deposito jangka pendek, mata uang asing. 

Terhitung April 2015 ada sertifikat tanah & bangunan serta BPKB kendaraan Alhamdulillah tercatat atas nama saya. Tanah dan bangunan itu tidak kami tempati sementara ini, tapi diutilisasi dengan baik untuk keperluan pendidikan dan ketahanan keluarga. Tsaah.

Seperti kebanyakan orang Indonesia yang mencari rumah (sebagai tempat tinggal), saya pun bukan pengecualian. Harga rumah yang melangit dan jebakan riba kredit selalu menguntit. Kami sepakat untuk tidak terlibat lebih jauh. Beli rumah tanpa riba atau tempati saja rumah orang lain dengan menyewa. 

Saat ini anggota keluarga kami baru 2 orang dewasa dan 1 bayi. Rumah dengan bangunan seluas 50 meter persegi masih mencukupi untuk ditinggali. Seiring dengan bertambahnya anggota keluarga, secara pribadi saya berpendapat kalau ruang gerak per orang adalah sekitar 20m2. Dengan demikian bila anggota keluarga saya nanti bertambah, luas tempat tinggal juga harus ditambah agar tidak terasa crowded. Kalau anak-anak kelak sudah mandiri dan punya keluarga sendiri, maka rumah tinggal saya pun luasnya harus dikurangi, agar tidak capek mengurusnya.

Dalam perhitungan saya, rumah luas diperlukan saat usia pasutri 25-45 tahun. Anak-anak dilahirkan dan secara umum masih tinggal dengan orang tuanya. Pengeluaran keluarga paling tinggi dimulai sekitar kepala 4, karena anak sulung akan terjun ke bangku kuliah. Biayanya? sekarang aja sudah puluhan (ratusan?) juta kalau bayar sendiri tanpa beasiswa. Setelah 50 tahun pengeluaran lebih besar untuk kesehatan...

Sementara itu kebanyakan orang Indonesia berumur 25-45 tahun belum berkemampuan membeli rumah. Beda kalau mencicil :-) Untuk kondisi sekarang ini rumah dengan luas sekitar 100m2 (bangunannya) di Jakarta dan sekitarnya tersedia dengan harga di atas 1M. Dengan gaji rata-rata sekitar 200 juta pertahun saja, secara hitungan matematis keluarga tersebut belum mampu membeli rumah. 

Bila setelah menikah dan dalam 5 tahun ingin membeli rumah pantas, maka pendapatan keluarga per bulan minimal 40 juta rupiah dan menabung 15 juta per bulan. Hal ini pernah dinyatakan oleh gubernur DKI : kalau mau beli rumah di Jakarta, gaji minimal 40 juta. tohohoho.

Idealnya begitu. Umur 25, pendapatan 40 juta per bulan, menikah, saat umur 30 sudah punya rumah sendiri. Tapi tapi tapi, saya kira sangat sedikit orang yang memiliki kriteria tersebut. Pilihan lainnya adalah menyediakan tempat tinggal yang pantas untuk keluarga. Misalnya, menyewa rumah seluas 1000 m2 saat ortu berusia 35 tahun dan anak-anak perlu ruang eksplorasi yang luas. Masa kecil mereka tentunya puas dengan menikmati fasilitas tempat tinggal yang ada dibandingkan memaksaan mencicil rumah seluas 45m2.

Lah terus kapan punya rumah sendiri? Ya, kalau sudah punya cukup uang. Karir lelaki biasanya berada di puncaknya sekitar usia 50 tahun. Anak-anak mungkin sudah mulai mandiri, jadi tak perlu rumah luas lagi di kota. Eh, udah 'tua' doank. Yah gak papa donk. Anak-anak sudah bisa menikmati rumah luas dan kenangan yang membuat hati puas. Orang tua akhirnya bisa menikmati 'hidupnya' atau menyerahkan sebagian hartanya untuk mendukung anak-anaknya memiliki properti produktif. :-)  
Jadi, fokusnya adalah menyediakan tempat tinggal yang nyaman buat anak-anak yang mendukung tumbuh kembang dan pendidikan mereka. Standarnya? uhm, diserahkan ke pandangan masing-masing orang tua. 

Weits, properti menjadi salah satu portofolio (aset?) fisik keluarga. Namun selain bangunan fisik, rejeki yang dianugerahkan Allah sudah sewajarnya dipergunakan untuk mengembangkan portofolio yang lain: kualitas diri. 

Portofolio adalah satu set keahlian yang bisa diberdayakan untuk menyelesaikan masalah. Isinya berupa seperangkat pengetahuan, keterampilan, serta pengalaman yang bisa menjadi bekal bagi seseorang untuk menjalankan sebuah pekerjaan/peran. Namun suatu pengalaman/keterampilan belum tentu menjadi portofolio. Misalkan kemampuan bahasa Jepang saya tidak akan banyak bermanfaat bila saya bekerja sebagai karyawan BUMN dan tidak ada bisnis dengan Jepang. Akan lebih baik saya menjadi interpreter freelance :-P

Dalam konteks kualitas diri dan keluarga pengetahuan itu berupa pemahaman yang baik terhadap ajaran islam termasuk hafalan Quran, keterampilan untuk menjalankan perintah agama (misalnya menyembelih binatang, mengajari anak-anak, muamalah, mengelola harta, berkuda, berenang, dll), Pengalaman saat mempergunakan keterampilan yang ada, belajar dari kesalahan atau menganalogikan pengalaman di masa lalu untuk mencari solusi di kondisi sekarang dan akan datang. 

Terkait portofolio ini banyak sekali yang harus dipersiapkan. 
1. Kemampuan bahasa (kami mengharapkan anak-anak kami setidaknya fasih 4 bahasa) 
2. Peta masa depan (memiliki gambaran apa yang dilakukan di masa depan, apa yang diinginkan, usia berapa dicapai, punya rencana apa-apa yang harus dipersiapkan).
3. Cita rasa hidup : tidak sekedar menjalani, Percaya diri, punya mimpi dan kemampuan melisankankan pendapat secara gamblang. Prinsipnya : izzah (kemuliaan, kehormatan) dan peningkatan imtaq. Dua prinsip ini yang menjadi dasar bertindak.
4. Pertemanan : berusaha dikelilingi orang-orang sholih biar ikutan sholih, dikelilingi orang-orang yang bisa memperbaiki & menjaga diri agar input informasi yang masuk lebih berkualitas.

Saat membuat peta masa depan, kita akan melihat ada level-level yang perlu diraih. Untuk menggapainya kita perlu melihat kualifikasi seperti apa untuk bisa menempati level tersebut. Dengan adanya kualifikasi yang jelas, kita akan fokus untuk memenuhinya.

Saat usia saya 40 tahun nanti, portofolio seperti apa yang harus saya miliki sebagai kepala keluarga? portofolio seperti apa yang perlu dibangun untuk menjadi, err... presiden direktur, misalnya. Portofolio apa yang diperlukan istri dan anak-anak saya nanti agar bisa survive dimanapun di dunia dan di akhirat nanti? Wew...

Semoga Allah melimpahi kami dengan rejeki yang barokah sehingga keluarga kecil kami yang membelanjakannya bisa memiliki portofolio yang pantas untuk hidup mulia di dunia dan selamat di akhirat. Semoga Allah melindungi kami dari menjadi pengembara  tanpa makna saat bekerja di dunia. 


ReAD MoRE・・・