Wednesday, 31 July 2019

TV Lenyap dan Perkembangan E1

Awalnya cukup deg-degan dengan reaksi anak-anak saat kami memutuskan untuk “menghilangkan” TV di rumah kami, namun setelah dijalani selama kurang lebih 3 bulan, dunia kami baik-baik saja meski tanpa TV. Tahun lalu sudah tercetus bahwa kami tidak perlu TV cable, tapi biaya TV+internet lebih murah dibandingkan internet saja (strategy yang aneh), sehingga kami putuskan untuk ambil paket TV+internet. Saya juga beli Smart TV ($15 saja) sekedar untuk menjadi monitor. Setelah kurang lebih setahun TV bertengger di ruang tengah, dia lebih banyak menjadi penyebab anak-anak berantem lalu Ramadan menjadi momen yang tepat untuk melenyapkan penganggu kedamaian di rumah itu. 

Tantangannya adalah bagaimana membuat anak-anak tetap “terhibur” sekaligus “terdidik” setelah TV lenyap, karena paling mudah itu memang ngasih, yang sulit itu ngasah dan ngasuh.

Di Indonesia sudah ada Gernas Baku, Gerakan Nasional MembacaKAN buku, yang dalam panduannya menyebutkan bahwa orang tua (dan masyarakat/lingkungan) perlu mendampingi anak-anak agar punya kemampuan multiliterasi (baca-tulis, angka, finansial, sains, budaya, digital). Dalam Bahasa saya : mencetak generasi yang mandiri sejak kecil. Dalam salah satu ceramahnya, Ust. Budi Ashari menyebutkan salah satu ciri mandiri adalah bisa melayani diri sendiri, tidak minta tolong ke orang lain selama bisa melakukan sendiri. Anak-anak saat ini adalah pemimpin di masa depan : pelayan umat, kalau tidak bisa melayani diri sendiri, bagaimana melayani orang lain? 

Bermain dan rasa ingin tahu yang tinggi terasa menjadi fitrah anak-anak. Tanpa TV mereka tetap bisa bermain memanfaatkan barang-barang yang ada dalam rumah. E1 juga membacaKAN cerita buat E2. Meskipun begitu, kadang E1 tidak paham dengan yang dia baca. Vocab-nya belum banyak. Di sinilah ada ruang buat kami untuk membaca bersama dan berdiskusi sesuai tema yang diminati. Perpustakaan buka setiap hari dan buku bisa dipinjam selama 3 minggu, tanpa batas jumlah. 
Membaca Bersama, E1 cukup ekspresif bercerita :)

Jadwal akhir pekan biasanya jadwal kami seperti ini : 
1. 06:30 – 08:30 : Naik sepeda, sarapan di kedai donat atau toko roti. 
2. 08:30 – 10:00 : E1 cuci sepatu, E1 & E2 bantuin bawa cucian ke laundry. 
3. 10:00 – 11:00 : Baca buku bersama, main bersama, siapin menu makan siang 
4. 11:00 – 13:00 : Ke Perpustakaan mengembalikan buku dan pinjam buku baru sesuai tema yang ingin dibaca, ke recycle center, main di playground.
5. 13:00 – 14:00 : Makan siang
6. 14:00 – 17:00 : Tidur siang + kegiatan dalam rumah ; kalau tidak tidur siang biasanya baca buku yang dipinjam dari perpustakaan atau kegiatan lain (seperti membereskan kamar, belajar menjahit, main puzzle/lego, menggambar/mewarnai, tergantung mood anak). Kalau tidur siang, anak-anak boleh pegang gadget selama 30 menit. (dibisikin supaya nonton Nussa-Rara). 
7. 17:00 – 19:00 : Setelah ashar, matahari sudah tidak terik : Berenang atau main ke Playground 
8. 19:00 – 20:00 : Bebersih diri/mandi, makan malam, persiapan sholat maghrib berjamaah di rumah. 
9. 20:00 – 21:30 : Baca buku, cerita sebelum tidur, cek hafalan surat-surat pendek E1. 

Hari Minggu biasanya waktu sudah ter-plot kegiatan social, misalkan mengajar atau pengajian komunitas Indonesia atau belanja mingguan (banyak diskon buat sayur & buah di supermarket dekat rumah, LOL). Setelah tidak ada TV, E1 semakin rajin membaca buku, E2 ikutan saja meskipun belum bisa membaca. 
Berlatih cuci sepatu dan mainan sendiri

Dalam pengamatan saya, kebanyakan keluarga yang kedua orang tuanya bekerja hanya punya waktu bersama saat malam dan akhir pekan saja. Ini bukan waktu yang “banyak” untuk dihabiskan bersama anak-anak, bila masih ada gangguan gadget, juga tidak ada manual bagaimana caranya menjadi orang tua (pendidik) dengan sempurna dalam waktu yang terbatas. Ada juga kasus dimana akhir pekan masih diisi les tambahan buat anak dimana mengambil jatah interaksi dengan orang tua. 

Dalam setahun ini milestone yang dicapai oleh E1 adalah bisa naik sepeda roda 2 dan membaca. Saat mau masuk TK, E1 masih berstatus English Novice Learner, tipikal pembelajar yang memiliki cukup semangat dan antusiasme namun belum punya kememapuan/pengetahuan yang cukup untuk berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Saat lulus TK, E1 mendapat piagam penghargaan sebagai “awesome reader”, kemampuan membacanya melampuai sebagian besar teman-temannya.  Kekhawatiran jika E1 akan mengalami kesulitan beradaptasi karena bahasa nampaknya bisa dihilangkan dari daftar. 

Sehari-hari kami membaca buku bersama, sekarang E1 konsisten membaca tanda lalu lintas, nama jalan, tulisan di bangunan, juga label produk dan kadang bertanya apa beda/artinya. Saat ini E1 juga sudah bisa berkomunikasi dalam Bahasa Inggris, bahkan kadang dia bertanya terjemahan yang tepat dalam Bahasa Indonesia. 

Saya akui, menyaksikan kemampuan anak berkembang adalah hal yang menggembirakan. Lebih membahagiakan lagi, E1 mulai memaknai konsep yang kami tanamkan. 

1. Cantik bukan hanya soal fisik.
 Dalam perjalanan ke sekolah E1 berceloteh : “Ayah, E1 akan cantik kalau pakai baju yang banyak hiasan kupu-kupunya, ya.” Dia meneruskan, “ Tapi harus senyum dan kasih salam juga!” “Iya, kalau baju bagus tapi cemberut dan marah-marah, tidak akan terlihat cantik….” Saya tambahkan. “Iya, Ayah. Allah juga suka kalau kita senyum dan memakai baju yang bagus.” Ucapnya sambil tersenyum  menyapa bapak-ibu guru yang berdiri di depan sekolah. 

2. Mulai Konsisten membantu beberes. 
Alhamdulillah E1 sudah mulai biasa membereskan rumah (menata alas kaki, merapikan mainan, mencuci sepatu sendiri, mengelap jendela kamar seminggu sekali). Salah satu komentarnya yang saya catat baik-baik saat merapikan sepatu dan mainan : “E2 jangan bikin berantakan, Allah suka rumah yang rapi an bersih!”

Mau belajar menjahit? Boleh!
Akhir pekan kemarin tiba-tiba E1 minta diajari menjahit : mulai memasukkan benang ke dalam jarum lalu memasang “love” ke selimutnya (ayahnya deg-degan kalau ketusuk jarum), E1 juga membetulkan tas yang salah satu pegangannya putus. 

3. Mulai mengerti soal isu lingkungan. Misalkan saat anak-anak gosok gigi sebelum tidur, E2 suka main keran air. “E2!! Jangan buka keran kalau tidak dipakai, mubazir!” Saat membaca buku tentang laut E1 komentar, “Ayah, orang yang buang sampah sembarangan harus dislentik, dipukul, ditendang!” “Loh, kenapa?” “Tuh, lihat kasihan turtle, bisa mati karena mengira plastic bag itu jelly fish! They are badboy! That’s not good!” 

4. Berbeda itu tidak apa-apa 
E1 mulai mengerti kalau dia tidak boleh memakan babi dan bahan-bahan haram. Ada satu komentar yang juga saya catat saat dia memakai gamis lengkap dengan kerudung di hari yang panas setelah kami mengantar ibunya ke dokter gigi dan bersiap main di taman. 
“E1, kerudungnya mau dilepas dulu gak? Kita mau jalan kaki bentar.” 
“No, I am OK. Perempuan kan harus pakai kerudung kalau keluar rumah, Ibun juga pakai.” 
Sebagian besar orang tua mengantarkan anaknya ke sekolah dengan mobil, dan E1 bertanya, “Ayah, kenapa kita tidak naik mobil ke sekolah?” 
Jarak rumah ke sekolah hanya sekitar 700m dan bisa ditempuh 10 menit jalan kaki. 
“Coba lihat, antrian mobilnya banyak, tidak? “ E1 melihat parkiran nyaris penuh dan antrian mobil mengular hingga perempatan lampu merah. 
“Repot ya…” katanya. 
“Dengan berjalan kaki, kita bisa menghirup udara pagi, mengamati sekeliling dan olahraga.” 
“Yes, exercise is good for you! “  (kadang E1 mengajak saya berlari hehe)

Secara tidak langsung dia menangkap bahwa apa yang dilakukan orang tua temannya tak jadi soal. Kita punya alasan untuk berbeda. Sependek jarak rumah-sekolah itu pula saya "terhibur" dengan celoteh spontan E1 dalam melihat dunia.

Anak berenang, Ayah membaca. E1 mulai suka menjadi "great helper" di rumah . Hamdallah.


Perjalanan masih panjang, namun waktu kami amat terbatas untuk menyiapkan bekal kemandirian. Mungkin antara 5 -10 tahun ke depan, E1 sudah baligh, artinya sudah harus siap menanggung kewajiban syariah. Artinya dia harus Aqil juga : Menjadi manusia yang mandiri, berwawasan luas dan memiliki jati diri yang kuat. Saat ini, ketiadaan TV banyak membantu kami membangun ikatan yang kuat dan semoga kami dipantaskan menjadi contoh bagi anak-anak yang pemikiran dan kebiasannya bisa mereka terapkan saat dewasa kelak. Setahun ke depan adalah masa transisi saat E1 memasuki usia mumayyiz, dimana E1 mulai harus diajarkan kewajiban syariah seperti sholat (harus belajar soal thaharoh ; wudu, mandi, bersuci sendiri), termasuk tindakan yang berhubungan dengan orang lain, misalkan : jual beli, sedekah, tabungan dkk. (mulai dikenalkan dengan konsep angka dan uang = finansial literasi buat anak 7 tahun).

Saat ini E1 mulai membedakan hal baik dan buruk, hal yang bermanfaat/membahayakan dirinya, mulai mandiri namun belum sepenuhnya. Insyaaalah ada waktu sekitar 10 bulan hingga ia resmi masuk usia mumayyiz... 


ReAD MoRE・・・