Sebentar lagi musim kelulusan anak SMA setelah melewati rangkaian UN yang menuai kontraversi. Jangan sampai pelajar yang hanya jadi korban peraturan terpaksa mengorbankan masa depannya karena terjegal kata lulus. Saya juga berharap agar kelulusan tidak diidentikkan dengan hura-hura dan pelampiasan emosi kekanakan yang terpendam. Ya, kelulusan adalah bukanlah puncak, dia tak lebih dari sebuah awal baru.
Kali ini saya mendapat tugas menulis (lagi) sebuah artikel yang bisa memotivasi supaya anak-anak lulusan SMA mau ke Jepang. Hmm... memotivasi... Saya pikir dari sekian juta lulusan SMA tahun ini insyaAllah bakal banyak yang termotivasi untuk mau mengikuti jejak saya -halah- begitu tahu jalur mana saja yang bisa ditempuh untuk kuliah gratis di negeri Sakura. Tapi berhubung informasi jalur itu bukan menjadi bagian saya, silakan cari info lengkapnya ke Konsulat Jenderal atau Kedubes Jepang di Indonesia. Usaha pun perlu modal euy, kagak ada yang namanya enak-enakan dapet rejeki. Huehehehe...
Oke lah, saya tuliskan sebuah taut ke situs yang pernah saya urus. Ada info beasiswa di situ. Balik lagi ke niatan awal posting kali ini, berikut tulisan mentah yang rencananya bakalan dimuat di buletin hikari tahun ini. Mungkin masih perlu diedit di sana-sini. Saya sering bertemu dengan pertanyaan ini. Kadang ia muncul dari mulut rekan saya di kampus, terkadang dia keluar saat makan malam bersama host family, tak jarang pula dosen saya menyuarakan pertanyaan serupa. Itu wajar. Wajar sekali. Sebab pertanyaan ini juga muncul dari diri saya sendiri. Pertanyaan berlanjut dengan hal apa yang paling saya syukuri dengan keberadaan saya di Jepang. Tuntutan untuk menjawabnya membuat saya meluangkan waktu untuk bercengkrama dengan kilatan pikiran, kilasan kenangan, dan kristal-kristal harapan.
Saya memilih kuliah di Jepang dengan meninggalkan kampus yang sudah saya pergunakan untuk menuntut ilmu selama satu semester di Indonesia. Rekan lain yang namanya sempat tercantum dalam daftar mahasiswa PTN favorit pun banyak yang mengambil pilihan yang sama dengan saya. Mungkin latar belakang, alasan, dan motivasi yang kami miliki tidaklah persis sama, namun saya merasa bahwa kami punya mimpi yang tak jauh berbeda. Mimpi menuju pintu kemandirian. Dan ini adalah salah satu alasan saya untuk kuliah di Negeri Sakura. Kuliah tanpa membebani orang tua sambil mengasah pribadi dengan bertualang di negeri asing.
Tapi alasan itu belum cukup kuat. Selain Jepang banyak negara lain yang menyediakan beasiswa untuk lulusan SMA di Indonesia. Kenapa harus Jepang? Sebenarnya Jepang hanyalah satu dari sekian pilihan, namun menurut saya ada beberapa alasan yang patut dijadikan bahan pertimbangan.
Pertama, Kementrian Pendidikan Jepang menyediakan beasiswa yang besar dengan membuka peluang perpanjangan beasiswa hingga program doktoral tanpa ikatan.
Kedua, tersedia banyak beasiswa swasta dan peluang kerja sambilan, plus kemungkinan keringanan biaya kuliah.
Ketiga, Jepang memiliki Perguruan Tinggi yang tercatat sebagai universitas terbaik di Asia Pasifik, membuka kesempatan belajar bersama orang-orang yang dikatakan pintar dari negara-negara di Asia Pasifik, Afrika, Eropa, Amerika, dari seluruh penjuru dunia.
Keempat, Jepang termasuk negara maju berteknologi tinggi, anak kampung macam saya akan berbinar-binar dengan berbagai produk hightech yang dengan lebih mudah didapatkan di sini. Ya, teknologi menunjang kenyamanan dan kemudahan bagi manusia, di Jepang, dua hal ini pun bukanlah jauh dalam angan.
Masih belum cukup? Saya punya segudang alasan lain sesuai dengan ketertarikan saya dengan Jepang, namun hal ini akan menjadi kalimat bernada subyektif. Misalnya, budaya, karakter orang Jepang, anime, game, atau barang elektronik. Tiap orang punya ketertarikan yang tak selalu sama hingga saya pikir belum ada tingkat kepentingan untuk dibahas lebih jauh. Untuk itu jawaban pertanyaan pertama saya cukupkan.
Kembali ke pertanyaan kedua, hal apa yang paling saya syukuri dengan kuliah di negeri matahari terbit ini. Apakah empat alasan di atas? Tentu saja saya bersykur dengan perolehan peluang di atas, namun saya rasa bukan itu hal yang paling saya syukuri.
Semenjak menginjakkan kaki di negeri ini, saya bertemu dengan banyak orang dengan berbagai karakter dan kepribadian. Saya bergaul dengan orang Jepang, muslim dari negara lain, mahasiswa asing dari negara dunia ke-3, dan tentu saja sesama perantauan dari Indonesia. Wacana tentang keislaman, mulai kehalalan makanan, adab bergaul, hingga hukum-hukum yang belum pernah terpikirkan lebih dalam mulai tergali di negeri ini. Saya juga berkesempatan untuk memiliki status yang sama, sebagai mahasiswa asing, dengan dosen universitas-universitas terbaik di Indonesia juga ilmuan dari berbagai balai penelitian milik pemerintah.
Pada era informasi seperti sekarang ini wawasan dapat diperoleh dengan mudah. Kita bisa mengakses materi kuliah Perguruan Tinggi di luar negeri via internet dan bisa mempelajarinya asal ada niat. Seorang guru SMA saya mengatakan bahwa ilmu bisa dituntut di mana pun, belajar kedokteran bisa di UI, UGM, Unair, di fakultas kedokteran Universitas mana pun, namun hal penting sewaktu kuliah adalah memahami, adaptasi dan menyeleksi pola pikir yang beredar di sekitar. Pada kasus ini, outputnya sama-sama dokter, namun pola pikirnya akan beragam, hal yang menjadi prioritas akan berlainan.
Salah satu kelebihan yang saya peroleh adalah kesempatan menuntut ilmu dan mengenal berbagai cara berpikir dari orang-orang yang saya temui di sini. Setidaknya adalah dosen pembimbing saya, selebihnya adalah senior, dosen, peneliti yang tersaring untuk memperdalam ilmunya di negeri ini. Di sini, saya bisa berdiskusi langsung dalam obrolan ringan. Saya pikir inilah hal yang paling saya syukuri, kesempatan untuk memperluas wawasan dan cara pandang, tukar pikiran dengan orang-orang yang menurut saya hebat yang sulit dikumpulkan di Indonesia, juga hidup sosial secara internasional.
Kali ini saya menukil hadits berikut :
“Gunakanlah 5 perkara sebelum datang 5 perkara:1. masa mudamu sebelum tua, 2. masa sehatmu sebelum sakit, 3. masa lapangmu sebelum sibuk, 4. masa beradamu (kaya) sebelum jatuh miskin dan 5. masa hidupmu sebelum mati.”(Hadith Riwayat Muslim dan Tirmizi dari Amru bin Maimun r.a.)
Hadis Nabi tentang “lima perkara sebelum lima perkara” itu maksudnya adalah supaya kita mempergunakan waktu dan kesempatan dengan sebaik-baiknya, sebelum hilangnya kesempatan tersebut. Saya pikir muara dari mempergunakan kesempatan dengan baik adalah menjadi orang yang bermanfaat. Bukankah sebaik-baik orang adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain? Selama berada di Jepang saya merasa mampu melakukan hal-hal yang belum pernah terbayangkan saat di Indonesia. Orang sering mengatakan bahwa Jepang adalah negeri kaum kafir tapi di sini saya menjumpai banyak majelis yang menjadi sarana pemelihara iman dan takwa. Di sini saya menjumpai orang-orang yang bersemangat mendirikan rumah Allah, muslim dan muslimah Jepang yang teguh belajar islam, juga saudara seiman yang kerap mengingatkan jati diri sebagai hamba Allah.
Ladang dakwah masih terlalu luas yang belum tergarap. Belum ada sertifikasi halal yang menjamin kenyamanan muslim di negeri sakura untuk bersantap. Kelebihan keuangan belum sempurna tersalurkan dalam zakat mal ke tanah air. Lihat, bukankah kesempatan untuk beribadah dan berjuang terbuka begitu lebar?
Selentingan pikiran ini mengatakan, bisa jadi saya tengah terlibat dalam pembangunan sebuah peradaban. Bukan tak mungkin untuk itulah sekarang saya ada di sini. Hal ini pula yang sedang dan akan saya syukuri.
**Disclaimer : Sejujurnya ada beberapa kawan yang saya pikir lebih pintar, namun tidak lolos ujian ke Jepang. Saya pernah berpikir kalau kesempatan belajar di negeri matahari terbit ini saya peroleh sebagian besar atas pertolongan Allah. Ada tuntutan moral, ada "sesuatu" yang Allah percayakan dengan keberadaan saya di Jepang, ada rahasia-Nya yang masih saya coba temukan.Dan saya sedikit protes kalau ada yang mengatakan bisa ke Jepang karena otaknya cemerlang. Ya, mungkin benar, tapi saya rasa tidak mutlak. Hal ini hanyalah masalah kesempatan dan pilihan. So, buat anak-anak yang mau lulus SMA, sebarin saja pancing banyak-banyak, siapa tahu ada peluang bagus yang nyangkut, dan Allah yang akan memilihkan mana yang terbaik. InsyaAllah**
4 comments:
Kenapa ke jepang? Itu berulang kali jadi pertanyaan ke saya sendiri, yg kmaren baru aja ikut tes beasiswa monbukagakusho, seperti yg ditulis di blog ini..
dan jawabannya,
"Untuk belajar. Apapun. Iptek, kemandirian, kedisiplinan, etos kerja, kecintaan terhadap budaya nasional, dll. Biar kelak bisa ditularkan ke orang2 di Indonesia, biar jadi lebih baik."
Just wish me luck.
nice answer.
Hopefully we can meet next year ^_^
sugoku kimochi natta youu,,
stelah baca yg diatas..
saya mungkin salah satu dari sekian banyk orang ind yg pingin bgt kejepun.. (ne,)
dan saya setuju dgn tulisan ini:
"sebarin saja pancing banyak-banyak, siapa tahu ada peluang bagus yang nyangkut, dan Allah yang akan memilihkan mana yang terbaik. InsyaAllah"
sayangny untuk menacari beasiswa mngkin saya trlmbat,, (arienaii,,)
tapi Insya Allah
saya percaya Apapun bisa dilakukan dengan kerja keras,, amin
mohon doanya..
agar saya bisa kembali kesana
salam ukhuwah!
yoroshiku onegaitashimasu
salam ukhuwah!
klo mo lanjut S2 kayaknya banyak beasiswa yg bisa di-apply dr Indonesia.
Klo mau ke Jepang, pilihannya gak banyak mungkin yak.
Post a Comment