Thursday, 14 February 2013

Peka Harga?

Setelah tahun berganti tahun kembali tinggal di tanah air, akhirnya saya memperoleh kembali sense of price. Bukan apa-apa, saat awal-awal kembali ke Indonesia, saya benar-benar tidak tahu standar harga mahal-murah, wajar-abnormal. Tahun ke-3 ini saya mulai orientasi ibukota. Kantor di salah satu CBD Jakarta dimana saya menghabiskan sekitar setengah hari di sana mulai membentuk standar sendiri. Sebutlah budget sekali makan atau angkutan. 

Makan di sekitar kantor, setidaknya harus menyiapkan kocek 12 ribu hingga 50 ribu sekali makan, tergantung tempat dan menu yang dipilih. Saya sendiri mematok angka 15 ribu untuk makan siang, sudah dengan ayam/ikan dan 2 jenis sayur. Well, minuman tinggal ambil jatah teh botol/jus dari kulkas kantor.:-p Saya sedikit menghindari menu daging dan hasil olahannya seperti sosis atau bakso, merasa kurang aman dengan campuran bahan-bahannya. Terlebih, saya terlanjur terbiasa selektif memilih makanan karena lama tinggal di negeri mayoritas non-muslim, non-ahli kitab. Bukan berarti mengharamkan ini itu, tapi mencoba untuk hati-hati agar yang masuk ke dalam tubuh itu halal secara zat dan caranya.

Kenapa? Uhm, beberapa kali saat berada di tol Jakarta-Cikampek dan terperangkap macet, saya melihat satu truk penuh dengan babi menuju ibukota. Lalu muncullah isu bakso campur sapi-babi. Terlebih sekarang ini saat harga daging sapi naik tinggi sekali, bahkan lebih mahal dibandingkan harga daging sapi saat saya di Jepang. *akibat pengalihan isu parpol jelang pemilu? :-p * 

Kadang saya merasa bahwa harga makanan maupun jasa di ibukota kurang berimbang, sehingga pengalaman dan informasi lah yang bisa membuat kita lebih tenang mengambil pilihan. Sebutlah lokasi, ternyata di ibukota saya masih bisa menemukan tempat makan dengan menu di bawah 10 ribu. Ya, saya hanya membayar 8ribu untuk nasi, tuna pedas sayur kacang dan tempe goreng plus minumnya. Lokasinya strategis pula. Bila menunggu kereta pulang, terkadang saya mampir di situ untuk mengisi perut, persiapan fisik karena berdesakan dalam kereta komuter selama 30 menit.

Bila tidak sempat makan sebelum naik kereta pulang, maka saya beli es buah saja. Kasusnya kalau saya menunggu maghrib di kantor sebelum pulang, sampai rumah sekitar jam 8 malam. Awalnya hanya iseng saja, karena ingin makan buah tapi tidak sempat beli dan kalaupun beli tidak sempat dihabiskan stocknya sampai busuk :-p Ambil praktisnya, beli es buah yang isinya macam-macam dan insyaAllah habis sekali duduk. Alhamdulillah dalam perjalanan antara stasiun dan rumah ada tukang es buah murah meriah, harganya hanya 8 ribu rupiah, isinya bermacam buah. Sebutlah melon, buah naga, apel, bengkoang, nanas, anggur, alpukat, pepaya dan blewah. Pertama kali beli, main tebak harga. Perkiraan sekitar 15 ribu karena selain jenis buahnya banyak, volumenya tidak tanggung-tanggung, hampir seperempat buah terpakai. Si tukang es buah, gak rugi apa ya...

Soal angkutan, sudah satu minggu ini saya tidak pakai ojeg. Bensin belum naik, ongkos sudah naik 50%! Bila tidak terpaksa terkejar waktu, ojeg menjadi angkutan mahal. Lebih mahal dari taxi! Pilihan jalan kaki plus kopaja jadi alternatif. saya hemat ongkos hingga 80% plus tambah sehat karena jalan kaki sekitar 1,6 km setiap hari kerja. 

Kebetulan kantor memfasilitasi kesehatan dan olahraga. Saat cek kebugaran, nilai kardio (lebih kurang kapasitas jantung dan paru-paru) saya berada dalam level paling rendah. Waks! Langsung semangat olahraga aerob. Sudah setahun lebih tidak pernah jogging/bersepeda/hiking/renang, terlalu dimanjakan oleh kendaraan. Gambarou! Badan termasuk titipan dari Allah yang harus dirawat, jadi jangan sampai fungsi-fungsinya kurang maksimal karena kemalasan atau ketidaktahuan. huhehuhe. Apalagi kantor sudah berbaik hati mengcover biaya, harus dimanfaatkan! *gila untung, ogah rugi 

*hari ini berangkat dari rumah jam 7.15, sampai kantor 8.20, percobaan berangkat lebih siang hasilnya sukses! yes! 

No comments: