Sunday, 28 June 2015

Mendadak Ekonom (1)

Kata Aristoteles, ekonomi itu ilmu manajemen (keuangan) keluarga. Kini maknanya sudah bergeser cukup jauh. Intisari yang saya peroleh, perekonomian suatu negara pada dasarnya adalah cerminan dari pola yang terjadi dalam level keluarga. Tentu saja, juga berlaku sebaliknya karena berbagai kebijakan seputar perekonomian banyak ditetapkan oleh pemerintah (negara). 

Sebagai kepala keluarga sekarang saya harus melek ilmu ekonomi. Alasannya cukup jelas: Agar tetap berada pada jalur yang benar menuju visi hidup mulia dimanapun di dunia dan selamat di akhirat. Tsaahh. Saya coba memahami apa-apa saja yang sudah terjadi di dunia ini, dari sejarah dan kejadian-kejadian terkini.

Dalam ekonomi, kita tidak bisa lepas dari transaksi yang selalu berhubungan dengan uang. Ini berlaku sejak manusia mengenal perdagangan. Emas dan perak dijadikan standar nilai suatu komoditi. Sampai perang dunia ke-2, sebetulnya segala transaksi keuangan itu, termasuk level suatu negara, masih mempergunakan standar emas atau perak.

Kepemilikian emas yang terbatas, menjadi limit berbelanja. Kredit tetap ada, tapi dengan ‘cadangan’ emas sebagai jaminannya. Saat perang dunia 2, emas banyak berpindah ke amerika karena surplus perdagangannya dalam menyedikan perlengkapan perang. Akhirnya dipakailah dolar amerika sebagai standar baru perdagangan antar bangsa, setara dengan emas (tersisa) yang dimiliki ke-44 negara penandatangan Bretton Woods. 

Tapi karena keinginan konsumsi yang semakin meingkat dan jaminan emas sudah tidak cukup untuk menahan laju kerakusan manusia, akhirnya Nixon melepaskan keterkaitan dolar dengan jaminan emas. Akibatnya? Sejak tahun 1971 standar emas sudah tidak berlaku, digantikan dengan standar USD yang bisa dicetak sekehendak Bank Central Amerika.

Untuk menggelembungkan perekonomian, dihembuskanlah kredit. Boleh menikmati fasilitas barang sekarang, bayarnya dicicil dengan tambahan bunga. Yaps. Sistem riba berlaku dengan sangat-sangat leluasa. Tak ada batasnya. Gak punya emas atau cadangan emas tak cukup lagi? No problem.

Betulkah tidak akan ada masalah? Jumlah uang yang tercetak lebih banyak dari jaminan emas. Akibatnya, nilainya turun. Gaji buruh berpendidikan rendah tahun 1971 gajinya (dalam emas) masih lebih tinggi dibandingkan karyawan berpendidikan tinggi di tahun 2010. Kata orang, inilah inflasi, penurunan daya beli. 

Masalah masih memberikan bonus berupa  riba yang harus dibayar. Bagaimana mau dibayarkan kalau jumlah uang yang dicetak itu hanya setara dengan pokok pinjaman saja? Harus cetak uang lagi dunk, nilai uang trurun lagi… dan beginilah siklus yang terjadi. Inflasi terjadi setiap tahun karena orang-orang melakukan konsumsi lebih dari sumber daya yang dimilki. Kekuatan utang tanpa agunan.

Yang saya rasakan, daya beli anak-anak yang lahir setelah 1971 lebih rendah dibandingkan orang tuanya pada usia yang sama. Untuk membeli rumah dengan luas dan lokasi yang setara, akan dicapai dengan usia yang lebih tua. Pada beberapa kasus bahkan sampai akhir hayat pun ada yang tidak pernah memiliki cukup uang untuk ditukar dengan rumah.

Waktu saya kecil di awal tahun 1990-an, harga sebungkus sarapan sekitar 75 rupiah. Saat pulang kampung tahun 2015, harga sebungkus sarapan menjadi 3000 rupiah. Naik 40 kali lipat dalam 20 tahun. Saya tidak ingat ongkos transportasi, karena waktu SD tinggal menyebrang jalan kalau sekolah dan tidak ada angkutan umum berupa angkot atau bis kota di kota kecil saya. :-P saya juga tidak suka jajan, jadi tidak ingat juga harga jajan atau jumlah uang jajan saya.

Indonesia sudah berumur 70 tahun pemerintahannya. Seharusnya belajar banyak dari sejarah tentang penyebab runtuhnya berbagai kerajaan di masa lalu. Saya membaca kalau Otto Von Bismarck, pemersatu Jerman, pernah memerintahkan seorang sejarwan sekaligus ekonom, Gustav Ruhland, untuk meneliti penyebab runtuhnya imperium romawi, yunani, juga para penjelajah dunia : Inggris dan Spanyol.

Kesimpulan Ruhland : Akar penyebab keruntuhkan imperium itu adalah kebijakan moneternya. Ruhland juga menemukan cirri-ciri suatu imperium menjelang keruntuhannya. Biarpun saat sampai pada kesimpulan, Bismarck sudah tidak menjabat sebagai kanselir, hasil penelitian ini tetap bagus untuk menjadi masukan seorang pemimpin negara -juga pemimpin keluarga, hehe- 

Saya tidak yakin apakah negera modern sejahtera pertama di dunia di bawah pimpinan Otto terbangun karena bisikan mujarab hasil penelitian Ruhland, atau memang karena Otto adalah seorang bervisi jauh ke depan dengan mengambil keputusan-keputusan strategis. Dari langkahnya, saya bisa membaca kalau Otto memerintahkan orang-orang yang komepeten untuk melakukan riset dan mengumpulkan informasi yang benar dan terpercaya untuk mendesain negerinya.

Baiklah, inilah cirri-ciri suatu imperium menuju kehancuran. Versi Ruhland, tentu saja.
1. Perkembangkan kesejahteraan masyarakat umum tertinggal dengan mengorbitnya tingkat kemewahan yang dinikmati sebagian kecil orang.
2. Meningkatnya tanda kebobrokan mental di kelas penguasa (korupsi, keserakahan, kriminalitas, kemewahan) 
3. Meningkatnya pajak rakyat. Militer dipakai untuk memungut pajak.
4. Pemerintah member subsidi masyarakat miskin untuk membuat mereka tetap tenang dengan roti dan sirkus.
5. Meningkatnya kebobrokan moral masyarakat. 
6. Konflik militer dengan luar negeri untuk mempertahakankan status quo atau pengalihan isu. 
7. Bankir ‘menguasai’ pemerintah 
8. Pemerintah ikut campur dalam pasar. 
9. Devaluasi uang (menurunkan kadar logam mulia dalam uang) 
10. Inflasi keuangan. 
11. Perang sipil, kerusuhan. 
12. Kegagalan pemerintahan yang kronis (pemerintah tidak punya kekuasaan) 
13. Penurunan populasi. 
14. Perdagangan secara barter menggantikan ekonomi moneter. 

Bagaimana? Nampaknya beberapa tanda sudah dirasakan di negeri yang mau berulang tahun ke-70 tahun 2015 ini. Pada beberapa titik dalam 20 tahun terakhir ini, Indonesia sudah hampir runtuh namun entah bagimana ceritanya ada invisible hands yang berhasil mempertahankan sebagian besar wilayah kedaulatan, biarpun ada wilayah yang lepas, biarpun arah  kebijakan ekonomi negara dan industri menjadi rancu tentang siapa yang dibela...

Saya belum menemukan bacaan tentang tanda-tanda runtuhnya kekhalifahan. Ruhland tidak menuliskan apakah hasil penelitiannya juga mencakup kekhalifahan islam di beberapa jazirah yang juga runtuh. PR saya berikutnya adalah mencari sumber bacaan yang terpercaya seputar ini. Kekhalifahan Turki Usmani masih berjaya saat itu sehingga tidak menjadi obyek penelitian Ruhland.

 *Ambil napas. *

Sekarang saya coba memahami sistem pendapatan suatu sistem. Pada dasarnya ada 2 sumber pendapatan negara : Pungutan (pajak dan non-pajak) dan Utang. Uang hasil pungutan inilah yang dipakai membayar hutang. Saya lupa berapa nominalnya, yang saya ingat pernah ada perhitungan yang menyatakan bahwa setiap anak yang lahir di Indeosnia sudah menanggung hutang (negara) sekian ** juta rupiah (jumlahnya mungkin sekarang berubah seiring perubahan kurs dan pelunasan sebagian).

Sistem keluarga juga punya 2 sumber pendapatan : gaji (cash) dan utang. Sama dengan negara, cash ini yang dipakai untuk membayar utang. Cash akan dipakai memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bila tingkat konsumsi (lets say pertumbuhan ‘kemakmuran’) sudah tidak bisa dipenuhi lagi dengan cash, maka utang (kredit) menjadi solusi. 

Demikian pula dengan negara, saat sumber pendapatan negara sudah tidak bisa menutupi keperluan belanjanya, utang luar negeri (dan dalam negeri) menjadi pelarian. Siapa yang harus membayar utang pemerintah itu? Ya, siapa lagi kalau bukan kita dan anak kita dan cucu kita dan cicit kita dan anak-cicit kita. Saya, anda dan anak keturunan kita lah yang menanggung utang itu lewat pajak. Sampai kapan? Tergantung besarnya pajak dan kemampuan mencicil kita. Kalau ternyata saat jatuh tempo pemerintah gagal bayar, apa yang terjadi? Well, mungkin kita bisa belajar dari kasus Yunani di era Uni-Eropa (bukan jaman polis Athena, apalagi Hercules). 

Bila dalam level keluarga kita bisa melepaskan asset untuk membayar hutang, apa yang bisa dilakukan dalam level negara? Saya belum paham, apakah dengan menjual wilayah? Atau memberikan hak exploitasi selama sekian ratus tahun? Entahlah, sejarah akan menjawabnya sendiri.

Kali ini saya mengulang kembali konsep dasar ekonomi : income vs outcome. Outcome sendiri membengkak lebih kepada target, keinginan, bukan kebutuhan. Income juga bisa dibengkakkan dengan utang. Tapi merujuk ke tulisan saya sebelumnya, lebih baik menjadi seorang muzakki daripada debitur bertahun-tahun. 

Cerita soal uang, perdagangan, nilai tukar dan lain-lain akan dipelajari dan dituliskan dalam tempoh sesingkat-singkatnya. InsyaAllah. Dalam 4 tahun terakhir, rata-rata dari total negara di dunia menurun cadangan emasnya, tapi ada 3 negara yang naik cukup significant : Jerman (550%), China (196%) dan India (17%). Apakah 3 negara ini melihat tanda-tanda kerapuhan sistem ekonomi tanpa agunan mulai nampak dan mulai menyimpan uang sejati? Apakah ini ada hubungannya dengan kelesuan perdagangan dan industri Indonesia di semester pertama 2015 ini? Well, lagi-lagi waktu akan menjawabnya. Ekonomi bukan ilmu pasti sih hehe.


ReAD MoRE・・・

Tuesday, 23 June 2015

[Catatan Keluarga] Suamiku, Apakah Rejeki Kita Barokah? (3)

Ramadhan menjadi bulan perhitungan. Hitung-hitungan amal, lebih rajin lagi agar dilipatgandakan. Hitung-hitungan untuk lebaran. Utamanya hitung-hitungan zakat juga. Biarpun biasanya sudah dilakukan di luar Ramadhan, target menjadi fitri setelah bulan suci, menjadikan diri lebih sensitif untuk mensucikan harta.

Tahun lalu saya berdiskusi cukup panjang dengan istri terkait zakat. Betul. Seiring dengan perkembangan ilmu fiqh, macam zakat bukan sekedar zakat fitrah dan zakat maal (harta) saja. Ada zakat profesi namanya. Pertimbangannya, bila petani saja dikenai beban zakat 10% untuk mensucikan pendapatannya, kenapa pekerja kantoran yang dapat gaji tiap bulan hanya bayar setahun sekali?

Kesimpulannya waktu itu, saya tidak keberatan mengeluarkan sejumlah harta. Tapi belum bisa menerima sebutan zakat untuk itu. Di sini titik masalahnya. Zakat itu wajib, sedangkan sedekah lain ‘hanya’ Sunnah saja level tertingginya. Poin saya seputar zakat adalah nisab dan waktu. Ada nilai tertentu yang dimiliki selama satu tahun. Pengeluarannya pun setelah dikurangi dengan beban rumah tangga dan hutang sehingga nilai tersisa yang diam selama satu tahun inilah yang wajib dikeluarkan zakatnya.

Waktu itu, istri tetap mengeluarkan sejumlah nominal , tapi bagi saya itu bukan zakat, sesuai definisinya. Nisab untuk pendapatan sendiri ditetapkan oleh ahli fiqih modern, sesuai dengan mata uang masing-masing negara (?). pemikiran ini yang belum bisa saya terima. Apakah nisab zakat untuk orang yang tinggal dan bekerja di Jakarta akan sama dengan yang tinggal dan bekerja di Tangjungpura, misalnya. Nilai rupiah sekarang naik turun drastis, berbeda dengan emas yang lebih stabil, biarpun naik-turun juga.

Poin saya adalah perbedaan gaya hidup dan pola pikir yang demikian jauh. Orang yang tinggal di kota besar, bisa jadi menjadi penerima zakat karena pola hidupnya. Ada yang bilang namanya miskin perkotaan. Gaji 10 juta, tapi cicilan ini itu 9 juta. Nah loh. Kenyatannya, pola pikir kalau bisa dicicil kenapa beli tunai sudah menjadi kebiasaan. Hutang yang mulanya sesuatu yang sangat-sangat-sangat dihindari karena menyangkut harga diri dan beban ahli waris bila ditinggal mati, kini bukanlah sesatu yang ditakuti. Orang justru berebut memperoleh hutang untuk memuaskan konsumsi. 

Sistem pun mendukungnya. Ambil kasus masalah papan (rumah). Rumah mahal? Iya. Susah beli, akhirnya ambil KPR. Akadnya apa? Jual beli? Siapa yang jual dan siapa yang bayar. Di sini sudah cacat secara akad. Punya uang 30% dari nilai property sudah cukup!. Bahkan katanya Juni ini akan diturunkan lagi batas LTVnya hingga 10% doank. Nah loh, kalua si suami mati, gimana? Gampang! Pakai asuransi, cicilan langsung lunas begitu ada surat kematian, anak istri gak perlu kuatir. Semua senang. Apakah semua akan baik-baik saja dengan begitu?

Sistem ini akan tetap berlangsung karena ada yang memakai. Banyak lagi. Akhirnya, konsumsi yang dibangun atas dasar hutang akan memberikan data ekonomi yang salah sasaran. Konsumsi masyarakat tinggi bukan berarti kesejahteraan masyarakat sudah tinggi pula. Akan sulit dibedakan orang-orang yang Nampak kaya dengan yang benar-benar kaya. Terutama untuk kaum menengah. 

Siapa itu kaum menengah? Tergantung yang bikin definisi, katanya sih yang punya pendapatan 150 juta per tahun atau lebih. Kalau kata saya, kaum menengah itu, golongan yang mempunyai pilihan untuk mengalokasikan uangnya ke hal-hal yang dia suka. Apakah hal-hal itu akan membuatnya ‘nampak kaya’ atau akan membuatnya kaya (pada saatnya).Bila harta yang dipegang tak cukup, golongan menengah ini termasuk bank-able dan lebih mudah mendapat kucuran kredit.
Bila si golongan menengah ini memilih untuk memakai hartanya agar tampak kaya, pembelian barang-barang untuk mendukung gaya hidup (mewah)  statusnya yang bank-able akan mendorong pengajuan hutang ke bank. Semakin banyak orang seperti ini, makan banyak yang tidak naik kelas. terperangkap hutang konsumtif dan gagal menjadi golongan ekonomi atas. Biarpun tampaknya begitulah seleksi yang berlaku dalam piramida. Populasi yang ada di atas selelau lebih sedikit dibandingkan kelompok di bawahnya.Yang gagal mengelola hartanya bisa turun status, dari wajib mengeluarkan zakat menjadi berhak menerima zakat. 

Kalau hutang jangka panjang (10-20 tahun?) terus didekap, apakah mungkin nisab 85 gram emas itu tercapai sebelum hutang itu lunas? Saya termasuk yang pesimis...

Bagi saya pelajaran soal zakat ini adalah manajemen uang yang sangat apik. Pertama, menstimulasi untuk memutar kekayaan sehingga dengan perpindahan uang ke lebih banyak orang akan lebih meratakan kesejahteraan. Tidak terpusat pada simpul-simpul penguasa ekonomi tertentu saja. Jangan sampai ada uang yang diam saja tidak bermanfaat. Bahkan uang yang didiamkan saja akan tergerus nilainya. Kalau pas banget kena nisab, tahun-tahun berikutnya bisa jadi sudah tidak wajib dikeluarkan zakatnya karena sudah tidak mencapai nisab lagi. (apalagi kalau hartanya tersimpan dalam wujud rupiah dalam rekening bank).

Kedua, membiasakan untuk melakukan pembukuan harta yang rapi. karena zakat ini dihitung setiap tahun. Apakah perputaran aset kita menghasilkan harta diam selama satu tahun? Apakah aset-aset itu lebih banyak berputar memberi manfaat atau diam tergolek  setiap saat?

Bisa jadi sejumlah uang yang diam dalam satu tahun, mencapai nisab sehingga harus dikeluarkan zakatnya itu lebih barokah dbandingan bila dijadikan modal berhutang. Bila target yang ingin dimiliki belum bisa dibeli sehingga harus menambah 'tabungan' lagi,  tahun berikutnya simpanan harta tak bergerak itu kena nisab dan harus dikeluarkan lagi zakatnya... dan tahun berkitnya, dan tahun depannya lagi, sampai cukup untuk transaksi jual beli. 

Bisa jadi...nominal zakat yang dikeluarkan lebih kecil dari beban riba yang dipakaikan sekaligus membuat rejeki lebih barokah. Eefeknya? kalau menurut perhitungan suatu barang yang ingin dimilki baru bisa menjadi kenyataan 10 tahun lagi, mungkin saja bisa terjadi lebih cepat, 3 atau 4 tahun saja, misalnya. Sedikit bersabar dengan mempertahankan gelar wajib zakat terdengar lebih keren. :-)   *dalam kasus golongan menengah yang ingin beli rumah dengan bantuan pihak ke-3, DPnya saja sudah kena nisab, bukan yak? *

Seputar Hutang :“Aku wasiatkan kepada kalian agar tidak berhutang, meskipun kalian merasakan kesulitan, karena sesungguhnya hutang adalah kehinaan di siang hari kesengsaraan di malam hari, tinggalkanlah ia, niscaya martabat dan harga diri kalian akan selamat, dan masih tersisa kemuliaan bagi kalian di tengah-tengah manusia selama kalian hidup.” Lihat kitab Umar bin Abdul Aziz Ma’alim Al Ishlah wa At Tajdid, 2/71, karya DR. Ali Muhammad Ash Shallabi (Asy Syamela).
Well, semoga rejeki yang barokah itu bisa tercapai dengan bebas hutang dan menjadi wajib zakat maal. (bukan wajib pajak, hiks hiks...) [Update] Kebijakan keluarga tahun 2015 : zakat penghasilan tahunan dikeluarkan sesuai kriteria (tentunya setelah dikurangi beban/tanggungan reguler rerata bulanan, sehingga gampang itungannya :-))






ReAD MoRE・・・