Wednesday, 30 March 2016

Tentang Hari Tua

Pertanyaannya, seyakin apakah kita akan masih diberikan umur untuk menjalaninya? Tapi tentu saja tetap boleh untuk membuat perencanaan tentang bagaimana dan seperti apa kita akan menjalani hari tua. Katanya perencanaan keuangan keluarga mencakup juga urusan ini. Jadi gimana, mau investasi apa?

 Saya sendiri merasa sudah cukup kenyang mengkonsumsi hidangan-hidangan para Financial Planner tentang instrumen investasi. Bukan berarti saya sudah jadi ahli ilmu keuangan keluarga, namun saya merasa sudah bisa menerka kira-kira menu-menu apa yang tersedia saat ini dan akan berevolusi seperti apa instrumen-instrumen itu seiring perkembangan jaman. Detailya tentu saja istri saya yang lebih paham. Lebih penting bagi saya untuk memahami bagaimana cara kerjanya. Bungkus bisa diganti, tapi mekanisme pengumpulan harta benda itu polanya yah begitu-begitu saja, tinggal kita mau pilih mana.

 Secara ringkas Quran membahasakan dengan istilah jual-beli dan riba. Saat ini turunannya sudah sangat banyak, sistemnya menggurita, lalu orang-orang mulai sulit membedakan/melakukan identifikasi. Gak percaya? Sudah paham dengan istilah-istilah yang berlompatan di Film The Big Short? Hanya mereka yang mendalami dan berkecimpung dalam transaksi yang tak terlihat seperti inilah yang mungkin 100% paham. :P

  Saya berpikir, se-ngoyo apakah kita mau mengumpulkan harta? Sampai kira-kira cukup untuk 7 turunan? Hmm, Allah sudah menjamin rejeki setiap makhluknya, jadi saya lebih sepakat kalau bukan harta fisik saja yang diwariskan kepada anak cucu. Mereka sudah punya jaminan rejeki masing-masing. Siapa penjaminnya? Pemilik setiap harta di semesta alam. Ya. Harta adalah milik Allah. Kita cuma punya hak pakai dan giliran menikmatinya. 

Maka dalam hukum waris, saat seseorang meninggal maka hartanya akan dikembalikan ke Allah. Sangat masuk akal kalau cara pembagiannya mengikuti aturan pemililknya yang sejati, bukan sesuka gue mau bagi-bagi. Dalam kasus ekstrim tidak ada ahli waris, harta itu menjadi milik negara yang dalam konsep islam disebut sebagai khalifah (Pengganti, substitusi), lalu dipergunakan untuk kepentingan umat sesuai dengan aturan Allah. Simple? Iya, kata saya. Maka berburu harta itu tinggal meminta kepada pemiliknya. Insyaallah dicukupkan. Definisi cukup ini yang agak sulit dikuantifikasi karena bergerak sesuai kebutuhan, dan ya, keinginan. 

 Dalam kasus saya, sejak menikah hingga saat ini menjalani selama 5 tahun, rejeki dari Allah yang diperantarakan melalui gaji sudah berlipat ganda. Misalkan pertama kali bekerja kontrak gaji saya x, tahun ini kontrak gaji saya 10x. Sekilas nampak luar biasa,  karena bila dilihat secara rata-rata tiap tahun gaji saya naik 2x lipat (ilusi statistik). Namun hal ini sangat mudah bagi Allah. Menariknya lompatan besar selalu terjadi di momen spesial. Tahun kedua saya bekerja, gaji saya naik 2.5 kali lipat hal ini bebarengan dengan berita kehamilan untuk anak pertama saya. Sebagai karyawan, gaji dan tunjangan naik merayap mengikuti inflasi pada tahun-tahun berikutnya. Eh, menjelang akan lahirnya anak kedua, kontrak gaji saya Alhamdulillah berlipat menjadi 3 kali lipat. Nikmat mana yang mau didustakan? 

Apakah semuanya kebetulan? Dalam pemahaman saya, Allah mencukupkan rejeki berupa harta dunia tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Tugas kami adalah mengelolanya agar manfaatnya berlipat, hati kami semakin mendekat, menjejaki jalan keimanan dalam majelis-majelis ilmiyah lebih mudah didapat, juga hak-hak orang lain yang dilewatkan pada kami mengalir lebih padat. Saya berdoa agar jangan sampai kami gegar budaya dan gagap dengan orang-orang yang tersibukkan hanya dengan hiasan dunia. 

 Lah terus, Bagaimana teknis perencanaan hari tua ini? Mana cukup dengan konsep-konsep abstrak tanpa hitungan angka-angka? Hei hei, pemerintah pun sudah memikirkan soal hari tua penduduknya. Sebut saja JHT atau pensiun.

 Masalahnya adalah, saya tidak begitu percaya dengan sistem yang dibuat pemerintah. Mereka memotong secara paksa hak gaji karyawan tiap bulan dan memutar uang itu untuk sesuatu yang dilabeli sebagai pembangungan.

Lalu bila sistem yang dijalankan pemerintah itu katakanlah tidak 100% menjamin ketentraman warganya, maka seseorang harus cukup kreatif untuk merancang strategi baru yang sesuai dengan visi misi hidupnya. Strategi itu dibuat untuk mewujudkan visi-misi hidup, maka dia harus fleksibel dan sebagai homo sapiens pun kita perlu personal resilience agar imun terhadap galau atas perubahan.

Bagi saya lebih mudah membuat perencanaan 5 tahun-an, karena beberapa angka atau nominal itu definitif. Hari tua berbeda. Maka saya akan memilih hak atas aset produktif dibandingkan sederet angka dalam buku rekening. Pusing kalau faktor inflasi, nilai tukar, resiko perbankan, asuransi dkk harus turut diperhitungkan untuk sekian tahun dimasa depan.

 Pertama, definisikan terlebih dahulu menjalani hari tua. Hari tua = hari saat sepasang manusia sudah mengentaskan anak-anaknya menuju bahtera rumah tangga masing-masing dan hidup terpisah dari permata-permata hatinya. Poinnya :
1. Punya rumah sendiri yang tidak terlalu besar, bisa dikelola sendiri tanpa pembantu.
2. Rumah dengan halaman yang cukup menampung anak cucu berkumpul tiap bulan tanpa bosan, nyaman, sejuk tanpa AC.
3. Rumah yang bertetangga dengan rumah Allah.
Eh, kok jadinya kategori rumah ya, katanya aset produktif... :P

4. Lahan pertanian subur seluas 100 hektar yang cukup kelebihan hasilnya untuk memberi makan 100 mustahiq setiap hari.
5. Binatang ternak yang nilainya cukup untuk umrah tiap bulan.
6. Kompleks tahfidz quran dan sekolah keterampilan dengan sistem mandiri.

Kedua, menetapkan target waktunya. Bila nanti anak bungsu terlahir saat saya berumur 35 tahun, maka dia akan menikah saat saya berusia sekitar 60 tahun. Jadi, apakah nantinya hari tua saya akan dimulai saat kepala 6? Saya tidak tahu. Saya berharap agar 6 poin di atas bisa terwujud saat usia saya 50an. Dan saya juga berharap saya dan istri tercinta berkesempatan mendengarkan kutbah pernikahan cucu-cucu kami. Pengetahuan akan hal-hal ini diluar jangkauan saya. Allahu a'lam.

Ketiga, ini yang paling penting, berdoa kepada Yang Maha Kaya, pemilik kerajaan dan semesta agar menjadikan kami orang-orang yang pantas mengelola harta dunia dan dicukupkannya. Sungguh mudah bagi Allah untuk melipatgandakan ataupun membatasi rejeki bagi seseorang.

Keempat, memetakan ilmu-ilmu yang perlu dipahami sampai usia 40 tahun. Perniagaan, Properti, Pertanian, Peternakan, Perikanan, ekonomi. Fiqh. Sejarah manusia. Dan bukan saya sendiri, pasangan tersayang juga harus paham donk. :) Hari tua ingin dijalani tanpa menjadi beban bagi anak keturunan dan dengan dikaruniai keleluasaan dalam eksekusi pilihan. Dicukupkan sekian dulu lintasan-lintasan pemikiran.....


ReAD MoRE・・・

Tuesday, 15 March 2016

Tentang Kafir

Saat belajar bahasa, tentunya kita mengenal ada kata kerja, kata benda, kata depan, dkk. Dalam bahasa arab sebagimana kata kerja dalam bahasa asing lain, mengalami perubahan bentuk untuk past, present dan future.

Dalam suatu diskusi saya memahami bahwa sebutan dengan menggunakan kata kerja (fiil) itu tidak permanen dan masih bisa berubah, namun sebutan dengan kata benda itu sifatnya tetap, tidak terpengaruh dimensi waktu. Misalkan orang-orang beriman, bisa disebutkan sebagai alladzina AMANU (kata kerja) atau Mukmin (kata benda). Amanu, beriman, kadarnya naik turun dan bisa banget berubah, makanya biasanya disambung dengan perintah-perintah yang berfungsi agar kadar keimanan itu stabil atau meningkat. 

Mukmin, orang beriman permanen, tidak berubah lagi. Orang yang mendapat gelar mukmin ini kitab amalnya sudah ditutup, jadi tidak mungkin naik turun lagi simply karena catatan amal kehidupan sudah tidak bisa diedit lagi. Maksudnya mukmin itu sebutan untuk orang yang sudah paripurna hidupnya, sudah berpisah antara jiwa dan raganya, sudah meninggal.

Nah, sekarang ini dalam suatu isu tentang pilkada, kata kafir sering berlompatan disematkan pada salah satu pejabat incumbent. Apa iya dia kafir? Kafir itu kata benda sehingga sifatnya permanen loh, kok berani-beraninya seorang manusia menjatuhkan vonis kafir? Emang lo siapa?! Yakin sepanjang sisa hidupnya dia gak bisa dapat hidayah? Emangnya lo udah pernah ngasih 'pencerahan' dengan cara yang ahsan secara istiqomah dan dia menolak terus dengan konsisten? 

Kafir artinya petani. Literally. Al kuffar disebut di surat Al Hadid ayat 20, bukan sebagai orang yang menolak untuk beriman, tapi sebagai petani. Orang yang menutupi benih dengan tanah.Arti dasarnya memang tutup, menutup, tertutup. Kebetulan bahasa Inggrisnya ada yang mirip : cover.

Makna secara istilahnya adalah orang yang tertutup dari petunjuk sehingga mendustakan Allah dan rasul-Nya. Dengan menggunakan konsep kata kerja, Alladzina kafaru, berarti orang ini masih bisa berubah menjadi orang yang beriman kalau dia mau menerima petunjuk kebenaran. Kecuali kalau memang sudah ditutup oleh Allah, dalam arti dia ditutup di belakang, tidak bisa mengambil pelajaran dari masa lalu, membaca Quran pun sama sekali tidak diberikan pemahaman dan memandang ke masa depan pun sudah menetapkan penghakimannya sendiri sehingga menolak petunjuk. Pendengaran, penglihatan dan hatinya tertutup. 

Nah kalau emang sudah didakwahi secara baik-baik tetap menolak dan segala kebenaran yang jelas-jelas nyata pun ditampik, terbayang betapa sangat sangat sangat kebangetannya orang tersebut dalam menolak. Jadilah dia kafir permanen tapi masih hidup, kitab amalnya belum ditutup. Tapi yang pasti tahu hanyalah Allah.

Di Quran jadi satu surat pula, Al Kafirun (kata benda nih, jd permanen tuh status kafirnya). Untuk orang-orang yang udah permanen kafirnya, gak bisa diotak-atik lagi, maka ya untukku agamaku, untukmu agamamu. Mau bilang apa lagi coba? Terserah loe aja deh, kasarnya gitu ya... Jadi Surat ini agak-agak gak cocok kalau dijadikan sebagai rujukan untuk toleransi. Karena sebelum jatuh definisi kafir permanen ini, orang masih bisa berubah selama jiwa masih dalam raga dan taubat sebelum sakaratul maut.

Orang-orang yang seperti pejabat incumbent itu lebih bijak rasanya kalau disebut sebagai orang yang belum mendapat petunjuk. Harusnya dirangkul, disodori petunjuk secara ahsan, didoakan supaya pintu hidayah terbuka, bukan divonis menentang Tuhan. 

Manusia mana sih yang tau kondisi hati manusia lain terus tiba-tiba merasa berwenang menjadi hakim? Khan sudah jelas siapakah hakim yang paling ahsan (ahsanil hakimin), mau bersaing dengan-Nya?

Memvonis seseorang itu kafir, dalam pemahaman saya saat ini adalah sebuah perbuatan yang terlalu berani. Lancang.

(Well, tapi dalam bahasa Indonesia gak umum juga sih bilang orang yang sedang kafir untuk menyebut orang-orang yang belum beriman. Bisa saja orang  mengatakan kafir dengan memahami bahwa  yang dilisankan itu maksudnya 'sedang kafir' dan bukan kafir permanen. Allahu a'lam. Saya memilih berhati-hati.)


ReAD MoRE・・・

Saturday, 12 March 2016

Tentang Ilmu

Akhir-akhir ini saya mulai geregetan dengan arus informasi di sosial media yang saya ikuti. Banyak informasi yang sulit dikonfirmasi kebenarannya, namun tak jarang menjadi viral karena keterbatasan perangkat untuk memastikan keabsahan suatu berita. Sayangnya berita/informasi ini lalu dijadikan rujukan(yang diyakini) valid untuk membela suatu isu. Maka saya sangat paham saat istri saya menutup salah satu akun medsosnya karena informasi itu lalu menggandeng emosi dan tralalalala... debat pun menjadi-jadi, yah tak banyak manfaat untuk terlibat lebih jauh. Tinggalkan saja.

Eh, apa hubungannya dengan ilmu yang saya jadikan topik tulisan kali ini? 

Dalam perenungan saya sepanjang perjalanan kereta Jakarta-Yogya, saya coba menganyam info-info yang tercetak dalam otak ini. Saya tertarik dengan bahasa dan suka mengutakatik untuk bisa paham kisah-kisah huruf yang tersusun itu.

Ilmu, diserap dari bahasa Arab, 'ilm ('ain, lam, mim). Huruf yang sama menyusun semesta ('alamin), tanda/alamat ('alamat),pemilik ilmu ('ulama). Akar kata yang berbeda dengan informasi/berita. Jadi peyampai berita itu belum tentu orang yang 'alim (berilmu), beda banget derajatnya. Kok bisa? 

Pernah dengar kalau orang yang berilmu itu diangkat beberapa derajat? -yah, yang punya ilmu apapun, asalkan berada dalam lingkungan dan waktu yang tepat. Saya pikir ini adalah sifat rahman yang berlaku buat semua makhluk.

Kalau kata saya, kericuhan medsos itu salah satu sebabnya yah karena ada orang-orang yang merasa udah jadi orang berilmu, padahal levelnya baru orang berberita, lalu merasa paling benar, lalu merasa bisa menjadi penentu kebenaran (hakim?) perkara.

Dalam sebuah kajian (dan saya sepakat dengan yang disampaikan) ilmu itu adalah seperangkat keahlian untuk menemukan alamat. Alamat siapa? Alamat sumber segala ilmu, Tuhan. Simpulan singkatnya, orang yang paripurna ilmunya adalah mereka yang menemukan tanda/alamat Tuhan, lalu meniti jalan kesana dengan berserah diri.

Ilmu itu bisa dibaca dari lembaran-lembaran alam semesta yang secara proaktif dikaji oleh manusia melalui segala cabangnya, atau diajarkan langsung oleh Tuhan. Dimana bisa kuliah/belajar langsung sama Tuhan? Ada di Kitab/Al Quran. 

Misalnya, Ilmu waris, hutang-piutang yang ada hubungannya dengan harta, prosedur dan hitung-hitungannya sangat detail diajarkan. Tapi apakah sudah dipahami dan dijalankan?

Quran sendiri berfungsi sebagai petunjuk untuk memperoleh ilmu-ilmu yang akan membawa kita bertemu dengan Tuhan. Membaca alam semesta seharusnya juga mengarahkan pada alamat Tuhan, bila  tidak menentang fitrah.

Orang yang disisinya ada ilmu dari Kitab bisa memindahkan singgasana Ratu Balqis dari Yaman ke Baitul Maqdis lebih cepat dari mata berkedip. Yes, Beliau ini menang tender Nabi Sulaiman yang hanya bisa diikuti bidder-bidder besar saja pada masa itu.

Ilmu bersanding dengan iman yang pada banyak kasus tidak bisa diwariskan ke anak keturunan. Keduanya adalah karunia, Orang tua yang shalih dan banyak ilmu tidak selalu menghasilkan keturunan yang setara derajatnya, bahkan untuk level nabi/rasul sekalipun. Dengan segala keterbatasan yang  kami miliki, pertolongan dan rahmat Allah lah yang diharapkan untuk menjaga anak keturunan kami agar bisa meniti jalan iman dan ilmu menuju golongan orang-orang yang menang, sebagaimana dicontohkan Ibrahim a.s yang mendoakan anak keturunannya, sebagimana dicontohkan Muhammad SAW yang begitu mencintai umatnya hingga detik terakhir....

Indikator ilmu (bagi saya pribadi) : 
1. Memahami ayat semesta lalu mengaplikasikannya
2. Mengenali tanda Tuhan lalu bersegera mendekat dengan berserah diri

Kalau belum mengindikasikan dua hal di atas, bisa jadi bukan ilmu yang sudah sampai, tapi baru berupa sekumpulan info/berita atau data-data yang belum cukup untuk ditarik kesimpulan.



ReAD MoRE・・・