Pertanyaannya, seyakin apakah kita akan masih diberikan umur untuk menjalaninya?
Tapi tentu saja tetap boleh untuk membuat perencanaan tentang bagaimana dan seperti apa kita akan menjalani hari tua. Katanya perencanaan keuangan keluarga mencakup juga urusan ini. Jadi gimana, mau investasi apa?
Saya sendiri merasa sudah cukup kenyang mengkonsumsi hidangan-hidangan para Financial Planner tentang instrumen investasi. Bukan berarti saya sudah jadi ahli ilmu keuangan keluarga, namun saya merasa sudah bisa menerka kira-kira menu-menu apa yang tersedia saat ini dan akan berevolusi seperti apa instrumen-instrumen itu seiring perkembangan jaman. Detailya tentu saja istri saya yang lebih paham. Lebih penting bagi saya untuk memahami bagaimana cara kerjanya. Bungkus bisa diganti, tapi mekanisme pengumpulan harta benda itu polanya yah begitu-begitu saja, tinggal kita mau pilih mana.
Secara ringkas Quran membahasakan dengan istilah jual-beli dan riba. Saat ini turunannya sudah sangat banyak, sistemnya menggurita, lalu orang-orang mulai sulit membedakan/melakukan identifikasi. Gak percaya? Sudah paham dengan istilah-istilah yang berlompatan di Film The Big Short? Hanya mereka yang mendalami dan berkecimpung dalam transaksi yang tak terlihat seperti inilah yang mungkin 100% paham. :P
Saya berpikir, se-ngoyo apakah kita mau mengumpulkan harta? Sampai kira-kira cukup untuk 7 turunan? Hmm, Allah sudah menjamin rejeki setiap makhluknya, jadi saya lebih sepakat kalau bukan harta fisik saja yang diwariskan kepada anak cucu. Mereka sudah punya jaminan rejeki masing-masing. Siapa penjaminnya? Pemilik setiap harta di semesta alam. Ya. Harta adalah milik Allah. Kita cuma punya hak pakai dan giliran menikmatinya.
Maka dalam hukum waris, saat seseorang meninggal maka hartanya akan dikembalikan ke Allah. Sangat masuk akal kalau cara pembagiannya mengikuti aturan pemililknya yang sejati, bukan sesuka gue mau bagi-bagi. Dalam kasus ekstrim tidak ada ahli waris, harta itu menjadi milik negara yang dalam konsep islam disebut sebagai khalifah (Pengganti, substitusi), lalu dipergunakan untuk kepentingan umat sesuai dengan aturan Allah. Simple? Iya, kata saya. Maka berburu harta itu tinggal meminta kepada pemiliknya. Insyaallah dicukupkan. Definisi cukup ini yang agak sulit dikuantifikasi karena bergerak sesuai kebutuhan, dan ya, keinginan.
Dalam kasus saya, sejak menikah hingga saat ini menjalani selama 5 tahun, rejeki dari Allah yang diperantarakan melalui gaji sudah berlipat ganda. Misalkan pertama kali bekerja kontrak gaji saya x, tahun ini kontrak gaji saya 10x. Sekilas nampak luar biasa, karena bila dilihat secara rata-rata tiap tahun gaji saya naik 2x lipat (ilusi statistik). Namun hal ini sangat mudah bagi Allah. Menariknya lompatan besar selalu terjadi di momen spesial. Tahun kedua saya bekerja, gaji saya naik 2.5 kali lipat hal ini bebarengan dengan berita kehamilan untuk anak pertama saya. Sebagai karyawan, gaji dan tunjangan naik merayap mengikuti inflasi pada tahun-tahun berikutnya. Eh, menjelang akan lahirnya anak kedua, kontrak gaji saya Alhamdulillah berlipat menjadi 3 kali lipat. Nikmat mana yang mau didustakan?
Apakah semuanya kebetulan? Dalam pemahaman saya, Allah mencukupkan rejeki berupa harta dunia tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Tugas kami adalah mengelolanya agar manfaatnya berlipat, hati kami semakin mendekat, menjejaki jalan keimanan dalam majelis-majelis ilmiyah lebih mudah didapat, juga hak-hak orang lain yang dilewatkan pada kami mengalir lebih padat. Saya berdoa agar jangan sampai kami gegar budaya dan gagap dengan orang-orang yang tersibukkan hanya dengan hiasan dunia.
Lah terus, Bagaimana teknis perencanaan hari tua ini? Mana cukup dengan konsep-konsep abstrak tanpa hitungan angka-angka? Hei hei, pemerintah pun sudah memikirkan soal hari tua penduduknya. Sebut saja JHT atau pensiun.
Masalahnya adalah, saya tidak begitu percaya dengan sistem yang dibuat pemerintah. Mereka memotong secara paksa hak gaji karyawan tiap bulan dan memutar uang itu untuk sesuatu yang dilabeli sebagai pembangungan.
Lalu bila sistem yang dijalankan pemerintah itu katakanlah tidak 100% menjamin ketentraman warganya, maka seseorang harus cukup kreatif untuk merancang strategi baru yang sesuai dengan visi misi hidupnya. Strategi itu dibuat untuk mewujudkan visi-misi hidup, maka dia harus fleksibel dan sebagai homo sapiens pun kita perlu personal resilience agar imun terhadap galau atas perubahan.
Bagi saya lebih mudah membuat perencanaan 5 tahun-an, karena beberapa angka atau nominal itu definitif. Hari tua berbeda. Maka saya akan memilih hak atas aset produktif dibandingkan sederet angka dalam buku rekening. Pusing kalau faktor inflasi, nilai tukar, resiko perbankan, asuransi dkk harus turut diperhitungkan untuk sekian tahun dimasa depan.
Pertama, definisikan terlebih dahulu menjalani hari tua. Hari tua = hari saat sepasang manusia sudah mengentaskan anak-anaknya menuju bahtera rumah tangga masing-masing dan hidup terpisah dari permata-permata hatinya. Poinnya :
1. Punya rumah sendiri yang tidak terlalu besar, bisa dikelola sendiri tanpa pembantu.
2. Rumah dengan halaman yang cukup menampung anak cucu berkumpul tiap bulan tanpa bosan, nyaman, sejuk tanpa AC.
3. Rumah yang bertetangga dengan rumah Allah.
Eh, kok jadinya kategori rumah ya, katanya aset produktif... :P
4. Lahan pertanian subur seluas 100 hektar yang cukup kelebihan hasilnya untuk memberi makan 100 mustahiq setiap hari.
5. Binatang ternak yang nilainya cukup untuk umrah tiap bulan.
6. Kompleks tahfidz quran dan sekolah keterampilan dengan sistem mandiri.
Kedua, menetapkan target waktunya. Bila nanti anak bungsu terlahir saat saya berumur 35 tahun, maka dia akan menikah saat saya berusia sekitar 60 tahun. Jadi, apakah nantinya hari tua saya akan dimulai saat kepala 6? Saya tidak tahu. Saya berharap agar 6 poin di atas bisa terwujud saat usia saya 50an. Dan saya juga berharap saya dan istri tercinta berkesempatan mendengarkan kutbah pernikahan cucu-cucu kami. Pengetahuan akan hal-hal ini diluar jangkauan saya. Allahu a'lam.
Ketiga, ini yang paling penting, berdoa kepada Yang Maha Kaya, pemilik kerajaan dan semesta agar menjadikan kami orang-orang yang pantas mengelola harta dunia dan dicukupkannya. Sungguh mudah bagi Allah untuk melipatgandakan ataupun membatasi rejeki bagi seseorang.
Keempat, memetakan ilmu-ilmu yang perlu dipahami sampai usia 40 tahun. Perniagaan, Properti, Pertanian, Peternakan, Perikanan, ekonomi. Fiqh. Sejarah manusia. Dan bukan saya sendiri, pasangan tersayang juga harus paham donk. :) Hari tua ingin dijalani tanpa menjadi beban bagi anak keturunan dan dengan dikaruniai keleluasaan dalam eksekusi pilihan. Dicukupkan sekian dulu lintasan-lintasan pemikiran.....
Saya berpikir, se-ngoyo apakah kita mau mengumpulkan harta? Sampai kira-kira cukup untuk 7 turunan? Hmm, Allah sudah menjamin rejeki setiap makhluknya, jadi saya lebih sepakat kalau bukan harta fisik saja yang diwariskan kepada anak cucu. Mereka sudah punya jaminan rejeki masing-masing. Siapa penjaminnya? Pemilik setiap harta di semesta alam. Ya. Harta adalah milik Allah. Kita cuma punya hak pakai dan giliran menikmatinya.
Maka dalam hukum waris, saat seseorang meninggal maka hartanya akan dikembalikan ke Allah. Sangat masuk akal kalau cara pembagiannya mengikuti aturan pemililknya yang sejati, bukan sesuka gue mau bagi-bagi. Dalam kasus ekstrim tidak ada ahli waris, harta itu menjadi milik negara yang dalam konsep islam disebut sebagai khalifah (Pengganti, substitusi), lalu dipergunakan untuk kepentingan umat sesuai dengan aturan Allah. Simple? Iya, kata saya. Maka berburu harta itu tinggal meminta kepada pemiliknya. Insyaallah dicukupkan. Definisi cukup ini yang agak sulit dikuantifikasi karena bergerak sesuai kebutuhan, dan ya, keinginan.
Dalam kasus saya, sejak menikah hingga saat ini menjalani selama 5 tahun, rejeki dari Allah yang diperantarakan melalui gaji sudah berlipat ganda. Misalkan pertama kali bekerja kontrak gaji saya x, tahun ini kontrak gaji saya 10x. Sekilas nampak luar biasa, karena bila dilihat secara rata-rata tiap tahun gaji saya naik 2x lipat (ilusi statistik). Namun hal ini sangat mudah bagi Allah. Menariknya lompatan besar selalu terjadi di momen spesial. Tahun kedua saya bekerja, gaji saya naik 2.5 kali lipat hal ini bebarengan dengan berita kehamilan untuk anak pertama saya. Sebagai karyawan, gaji dan tunjangan naik merayap mengikuti inflasi pada tahun-tahun berikutnya. Eh, menjelang akan lahirnya anak kedua, kontrak gaji saya Alhamdulillah berlipat menjadi 3 kali lipat. Nikmat mana yang mau didustakan?
Apakah semuanya kebetulan? Dalam pemahaman saya, Allah mencukupkan rejeki berupa harta dunia tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Tugas kami adalah mengelolanya agar manfaatnya berlipat, hati kami semakin mendekat, menjejaki jalan keimanan dalam majelis-majelis ilmiyah lebih mudah didapat, juga hak-hak orang lain yang dilewatkan pada kami mengalir lebih padat. Saya berdoa agar jangan sampai kami gegar budaya dan gagap dengan orang-orang yang tersibukkan hanya dengan hiasan dunia.
Lah terus, Bagaimana teknis perencanaan hari tua ini? Mana cukup dengan konsep-konsep abstrak tanpa hitungan angka-angka? Hei hei, pemerintah pun sudah memikirkan soal hari tua penduduknya. Sebut saja JHT atau pensiun.
Masalahnya adalah, saya tidak begitu percaya dengan sistem yang dibuat pemerintah. Mereka memotong secara paksa hak gaji karyawan tiap bulan dan memutar uang itu untuk sesuatu yang dilabeli sebagai pembangungan.
Lalu bila sistem yang dijalankan pemerintah itu katakanlah tidak 100% menjamin ketentraman warganya, maka seseorang harus cukup kreatif untuk merancang strategi baru yang sesuai dengan visi misi hidupnya. Strategi itu dibuat untuk mewujudkan visi-misi hidup, maka dia harus fleksibel dan sebagai homo sapiens pun kita perlu personal resilience agar imun terhadap galau atas perubahan.
Bagi saya lebih mudah membuat perencanaan 5 tahun-an, karena beberapa angka atau nominal itu definitif. Hari tua berbeda. Maka saya akan memilih hak atas aset produktif dibandingkan sederet angka dalam buku rekening. Pusing kalau faktor inflasi, nilai tukar, resiko perbankan, asuransi dkk harus turut diperhitungkan untuk sekian tahun dimasa depan.
Pertama, definisikan terlebih dahulu menjalani hari tua. Hari tua = hari saat sepasang manusia sudah mengentaskan anak-anaknya menuju bahtera rumah tangga masing-masing dan hidup terpisah dari permata-permata hatinya. Poinnya :
1. Punya rumah sendiri yang tidak terlalu besar, bisa dikelola sendiri tanpa pembantu.
2. Rumah dengan halaman yang cukup menampung anak cucu berkumpul tiap bulan tanpa bosan, nyaman, sejuk tanpa AC.
3. Rumah yang bertetangga dengan rumah Allah.
Eh, kok jadinya kategori rumah ya, katanya aset produktif... :P
4. Lahan pertanian subur seluas 100 hektar yang cukup kelebihan hasilnya untuk memberi makan 100 mustahiq setiap hari.
5. Binatang ternak yang nilainya cukup untuk umrah tiap bulan.
6. Kompleks tahfidz quran dan sekolah keterampilan dengan sistem mandiri.
Kedua, menetapkan target waktunya. Bila nanti anak bungsu terlahir saat saya berumur 35 tahun, maka dia akan menikah saat saya berusia sekitar 60 tahun. Jadi, apakah nantinya hari tua saya akan dimulai saat kepala 6? Saya tidak tahu. Saya berharap agar 6 poin di atas bisa terwujud saat usia saya 50an. Dan saya juga berharap saya dan istri tercinta berkesempatan mendengarkan kutbah pernikahan cucu-cucu kami. Pengetahuan akan hal-hal ini diluar jangkauan saya. Allahu a'lam.
Ketiga, ini yang paling penting, berdoa kepada Yang Maha Kaya, pemilik kerajaan dan semesta agar menjadikan kami orang-orang yang pantas mengelola harta dunia dan dicukupkannya. Sungguh mudah bagi Allah untuk melipatgandakan ataupun membatasi rejeki bagi seseorang.
Keempat, memetakan ilmu-ilmu yang perlu dipahami sampai usia 40 tahun. Perniagaan, Properti, Pertanian, Peternakan, Perikanan, ekonomi. Fiqh. Sejarah manusia. Dan bukan saya sendiri, pasangan tersayang juga harus paham donk. :) Hari tua ingin dijalani tanpa menjadi beban bagi anak keturunan dan dengan dikaruniai keleluasaan dalam eksekusi pilihan. Dicukupkan sekian dulu lintasan-lintasan pemikiran.....
ReAD MoRE・・・