Tuesday, 15 March 2016

Tentang Kafir

Saat belajar bahasa, tentunya kita mengenal ada kata kerja, kata benda, kata depan, dkk. Dalam bahasa arab sebagimana kata kerja dalam bahasa asing lain, mengalami perubahan bentuk untuk past, present dan future.

Dalam suatu diskusi saya memahami bahwa sebutan dengan menggunakan kata kerja (fiil) itu tidak permanen dan masih bisa berubah, namun sebutan dengan kata benda itu sifatnya tetap, tidak terpengaruh dimensi waktu. Misalkan orang-orang beriman, bisa disebutkan sebagai alladzina AMANU (kata kerja) atau Mukmin (kata benda). Amanu, beriman, kadarnya naik turun dan bisa banget berubah, makanya biasanya disambung dengan perintah-perintah yang berfungsi agar kadar keimanan itu stabil atau meningkat. 

Mukmin, orang beriman permanen, tidak berubah lagi. Orang yang mendapat gelar mukmin ini kitab amalnya sudah ditutup, jadi tidak mungkin naik turun lagi simply karena catatan amal kehidupan sudah tidak bisa diedit lagi. Maksudnya mukmin itu sebutan untuk orang yang sudah paripurna hidupnya, sudah berpisah antara jiwa dan raganya, sudah meninggal.

Nah, sekarang ini dalam suatu isu tentang pilkada, kata kafir sering berlompatan disematkan pada salah satu pejabat incumbent. Apa iya dia kafir? Kafir itu kata benda sehingga sifatnya permanen loh, kok berani-beraninya seorang manusia menjatuhkan vonis kafir? Emang lo siapa?! Yakin sepanjang sisa hidupnya dia gak bisa dapat hidayah? Emangnya lo udah pernah ngasih 'pencerahan' dengan cara yang ahsan secara istiqomah dan dia menolak terus dengan konsisten? 

Kafir artinya petani. Literally. Al kuffar disebut di surat Al Hadid ayat 20, bukan sebagai orang yang menolak untuk beriman, tapi sebagai petani. Orang yang menutupi benih dengan tanah.Arti dasarnya memang tutup, menutup, tertutup. Kebetulan bahasa Inggrisnya ada yang mirip : cover.

Makna secara istilahnya adalah orang yang tertutup dari petunjuk sehingga mendustakan Allah dan rasul-Nya. Dengan menggunakan konsep kata kerja, Alladzina kafaru, berarti orang ini masih bisa berubah menjadi orang yang beriman kalau dia mau menerima petunjuk kebenaran. Kecuali kalau memang sudah ditutup oleh Allah, dalam arti dia ditutup di belakang, tidak bisa mengambil pelajaran dari masa lalu, membaca Quran pun sama sekali tidak diberikan pemahaman dan memandang ke masa depan pun sudah menetapkan penghakimannya sendiri sehingga menolak petunjuk. Pendengaran, penglihatan dan hatinya tertutup. 

Nah kalau emang sudah didakwahi secara baik-baik tetap menolak dan segala kebenaran yang jelas-jelas nyata pun ditampik, terbayang betapa sangat sangat sangat kebangetannya orang tersebut dalam menolak. Jadilah dia kafir permanen tapi masih hidup, kitab amalnya belum ditutup. Tapi yang pasti tahu hanyalah Allah.

Di Quran jadi satu surat pula, Al Kafirun (kata benda nih, jd permanen tuh status kafirnya). Untuk orang-orang yang udah permanen kafirnya, gak bisa diotak-atik lagi, maka ya untukku agamaku, untukmu agamamu. Mau bilang apa lagi coba? Terserah loe aja deh, kasarnya gitu ya... Jadi Surat ini agak-agak gak cocok kalau dijadikan sebagai rujukan untuk toleransi. Karena sebelum jatuh definisi kafir permanen ini, orang masih bisa berubah selama jiwa masih dalam raga dan taubat sebelum sakaratul maut.

Orang-orang yang seperti pejabat incumbent itu lebih bijak rasanya kalau disebut sebagai orang yang belum mendapat petunjuk. Harusnya dirangkul, disodori petunjuk secara ahsan, didoakan supaya pintu hidayah terbuka, bukan divonis menentang Tuhan. 

Manusia mana sih yang tau kondisi hati manusia lain terus tiba-tiba merasa berwenang menjadi hakim? Khan sudah jelas siapakah hakim yang paling ahsan (ahsanil hakimin), mau bersaing dengan-Nya?

Memvonis seseorang itu kafir, dalam pemahaman saya saat ini adalah sebuah perbuatan yang terlalu berani. Lancang.

(Well, tapi dalam bahasa Indonesia gak umum juga sih bilang orang yang sedang kafir untuk menyebut orang-orang yang belum beriman. Bisa saja orang  mengatakan kafir dengan memahami bahwa  yang dilisankan itu maksudnya 'sedang kafir' dan bukan kafir permanen. Allahu a'lam. Saya memilih berhati-hati.)

No comments: