Saturday 19 April 2008

Kerusakan yang teratur

Pernah mengalami kesulitan dalam menemukan alamat seseorang? Saya pernah dan pengalaman ini justru saya peroleh di negeri saya sendiri. Kadang saya berpikir tidak adakah cara pendataan yang lebih mudah dimengerti tanpa harus menghapalkan nama-nama jalan yang jumlahnya puluhan itu? Kenapa tiba-tiba saya menulis masalah ini? Hehe, sebenarnya karena hobi lama saya : Menggambar tata kota, mendadak minta dieksplorasi lebih dalam.

Saya sempat berpikir kalau bencana tsunami di Aceh justru membawa kesempatan untuk menjadikan Aceh sebagai kawasan percontohan kota modern. Kota modern yang tidak semrawut, teratur dengan baik mulai saluran pembuangan air, limbah rumah tangga, kawasan hijau, lingkungan perumahan, pusat perekonomian, hingga pelayanan administrasi praktis dalam satu atap. Hal ini juga didukung dengan mengalirnya bantuan dari berbagai pihak, termasuk luar negeri, sehingga pikiran saya mungkin terealisasi. Ahaha, okelah, siapa sih saya hingga ide seperti ini harus terwujud? Namun sebaliknya, saya ingin bertanya, tidak adakah orang-orang yang berwenang di atas kursi pejabat sana yang punya pandangan untuk "menyulap" kawasan yang nyaris 100% porak poranda menjadi wilayah cantik yang teratur?


Sudah 3 tahun terlewat, khabar tentang perkembangan Aceh pasca Tsunami mulai jarang terlihat. Berarti angan-angan saya tentang sebuah perubahan yang baik, sama sekali jauh dari mendekati kenyataan. Orang-orang yang kaya tetap leluasa mendirikan bangunan seenak perutnya sedangkan yang tak punya uang memenuhi sela-selanya. Perlahan tapi pasti, perkembangan yang terjadi adalah sebuah kerusakan yang teratur. Teratur oleh perundangan yang tidak mengatur. Bukankah menjadi lebih mudah kalau UU Agraria juga mengatur tentang pengaturan tanah terhadap korban bencana dilengkapi dengan pengaturan wilayah dan perumahan? Atau negeri saya itu dirasa masih terlalu luas, hingga tanah dan pasirnya pun dibiarkan saja untuk memperluas wilayah negara Singapura? Atau, tak adakah orang yang peduli? Yang penting diri sendiri makmur, aman, sentosa, sejahtera... oh la la. Artinya membenarkan bahwa semboyan bhineka tunggal ika diartikan sebagai perbedaan yang dipaksa bersatu! Biar situ menderita yang penting sini sentosa?? Hahaha... jiwa nasionalisme hanya akan muncul bila ada ancaman dari luar, seperti saat lagu-lagu daerah diserobot negeri jiran, atau saat mendukung atlet negeri berjuang dalam ajang internasional, atau saat negeri sendiri direndahkan bangsa lain?


Ah, maaf saya terkadang melantur kemana-mana kalau memikirkan negeri sendiri. Bukan tak cinta, itu bukti kalau saya masih peduli. Saya tak rela membiarkan kerusakan justru diatur secara resmi, tapi saya geram karena tak berdaya. Mungkin saja kekecewaan akan membuat saya menyerah, lalu saya kabur, ogah kembali ke tanah kelahiran, bersikap apatis, cuek, membiarkan peraturan membentangkan jalan menuju kerusakan. Tapi sekarang saya masih tak tega.


Oke, kembali ke masalah tata kota. Sekarang saya tinggal di Nagoya. Kota terbesar ke-3 di Jepang yang sedang kebingungan mencari tempat pembuangan sampah. Kota ini terlanjur menjadi hutan beton ditambah sampah yang dihasilkan penghuninya hingga hitungan ton. Sebuah tempat yang direncanakan menjadi kawasan pembuangan sampah adalah delta sungai yang sekarang masih ramai dikunjungi burung. Sebuah kawasan penangkaran. Tentu saja aktivis lingkungan mengutuk aksi penggusuran habitat burung akibat ulah manusia. Tapi, mau pilih mana: Hidup bersama sampah atau mengorbankan burung untuk kepentingan rakyat?


Setelah mengalami diskusi alot, akhirnya diputuskan untuk mengurangi produksi sampah. Caranya? Recycle! Saya rasa masyarakat Nagoya cukup sensitif dengan masalah pemisahan sampah. Hampir tiap kali saya bertemu dengan orang Jepang dari berbagai instasi, mulai pegawai asrama, dosen di kampus, pejabat international affair, hingga satpam selalu menyisipkan pesan tentang pemisahan sampah. saya pikir wajar saja, karena kebijakan pengurangan sampah ini diresmikan setelah melewati berbagai perdebatan. *sigh*


Dengan daur ulang, sampah bisa dikurangi hingga 50% (kata senior saya yang sedang mengambil master bidang lingkungan). Hasilnya memang bisa disaksikan dengan mudah. Kertas yang dipakai oleh instasi pemerintahan adalah 70% hasil daur ulang -hmm, setidaknya itu yang tertulis dalam produk yang saya beli atau saya dapatkan-. Oke, salut buat semangat daur ulangnya. Sayangnya saya masih merasa cukup ribet dengan aturan pemisahan sampah, penggunaan kantung sampah khusus, jadwal pembuangan sampah. Benarkah daur ulang ini efektif mengurangi jumlah sampah? Kalau toh benar, apakah tidak membuat pola berpikir baru dalam masyarakat : Ahhh... belanja saya banyak-banyak, ntar bakal di daur ulang jugaaa. Maksudnya, produksi sampah justru meningkat. Bisa jadi sampah bisa dikurangi hingga 50% dengan daur ulang, tapi jumlah 50% itu khan dari total sampah yang dihasilkan. Bukan tidak mungkin khan kalau setengah jumlah sampah tahun ini ternyata lebih banyak dari tahun sebelumnya.

Satu lagi, daur ulang belum tentu lebih efisien. Untuk mendaur ulang botol plastik, misalnya, masih diperlukan hasil olahan minyak bumi, dan biayanya ternyata lebih mahal dibandingkan memproduksi botol baru. Belum lagi soal energi yang diperlukan. Daur ulang pun perlu dikaji, dan yang lebih penting jangan suka nyampah!
Nah loh koq malah lari ke masalah sampah. Bagaimana sih tata kota di Jepang? Yang pasti bukan sistem bongkar pasang ala ibukota Jakarta. Hihi, masak mau pasang kabel baru, harus menggali jalan, menutup galian lalu bikin jalan baru. Memangnya anggaran berlimpah ruah tanpa harus direncanakan?

Oke-oke... tata kota di Jepang mudah dimengerti -setidaknya saya belum sempat tersesat kalau membaca alamat-. Setiap distrik dibagi menjadi blok yang teratur, sehingga dengan membaca angka yang ada, bisa dikira-kira seberapa jauh lagi sampai di tujuan. Bahkan satuan menit untuk berjalan kaki dikonversikan untuk jarak. Misalkan 10 menit dari stasiun artinya 1 kilometer. Kecepatan rata-rata orang berjalan dalam 1 menit adalah 100 meter. Kalau misalkan tujuan belum tercapai sesuai dengan waktu yang tertulis ada dua kemungkinan :
1. Anda berjalan terlalu lamban
2. Anda tersesat


Oahhmm... sudah malam. Mungkin saya sedikit memaksa menyatukan ide yang berloncatan agar pikiran ini sedikit tenang. Oahmmm... selamat malam!

No comments: