Monday 10 August 2015

Empat Tahun Pernikahan : 25 Syawal 1432-1436H

Peringatan tanggal pernikahan seringkali menjadi momen yang tepat untuk melakukan refleksi. Menerawang kembali kejadian-kejadian di masa lampau: mengambil pelajaran, bersyukur, menyesal, menghadirkan kembali rasa-rasa yang bergelora. Sekaligus memproyeksikan segala rekam jejak dalam rumah tangga itu untuk mempererat hubungan, membuncahkan kasih sayang dan membuat rencana-rencana masa depan. Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmussholihaat. Segala puji bagi Allah, dengan nikmat-Nya lah segala kebaikan menjadi sempurna. 

Hei, ternyata sudah 4 tahun kami mengarungi bahtera rumah tangga. Bahtera, ya, perahu ini terus melaju melewati badai, bebatuan karang, gelombang ombak dan tentunya perbedaan pendapat para awak. Hehe, Perumpamaan yang terinspirasi dari skenario Bandung 2030 tentang bangsa Indonesia dan problematikanya.

Tentu saja tak selamanya berada dalam bahtera itu dalam kondisi seuriueous menghadapi rumitnya soalan rumah tangga seperti ilustari di atas. Hiasan-hiasan hangatnya mentari, semilir angin, renda-renda langit serta satwa lautan dan mahkluk yang ditahan kepak-kepak sayapnya di angkasa pun menjadi suatu nikmat sendiri. Belum gemerlap benda langit yang muncul silih berganti menurut kadarnya.

***
Berikut refleksi 4 tahun pernikahan yang penulisannya dicicil. :-P

Tahun Pertama (2011-2012)

Babak belur, karena seminggu setelah kami menikah LDM harus dijalani. Istri harus kembali meneruskan kuliah di Jepang, sementara saya memulai kerja di Indonesia. Sekarang saya sadar betapa 'polosnya' saya saat itu.  Salah satu momentum yang membuat deg-deg-an adalah saat 5 bulan kemudian saya ada tugas ke Jepang dan sealigus kesempatan untuk menemui istri, saya takut salah orang. Saat istri akan menjemput di stasiun, saya berdoa semoga dia datang sendiri. Doh, masa lupa wajah istri sendiri T_T. Bukan-bukan, saya membayangkan sebuah pertemuan yang romantis di tengah salju yang memutihkan bumi, saya menapakkan kaki dari keluar wicket lalu seorang putri anggun dengan gaun putih berkerudung merah yang berkibar tertiup angin musim dingin datang mendekat. Yah, ibarat di film-film romantis begitu lah. (eh, lalu saya jadi serigalanya gituh?)  Eh, tapi khan di stasiun besar pasti ramai dan banyak orang, bagaimana....?! 

Eum, singkat cerita, alhamdulillah, kami langsung bertemu dan terjadilah hal-hal yang diinginkan :-P

Ada revolusi tempat tinggal selama tahun pertama ini. Diawali dengan menempati rumah senior saya yang sedang tugas ke Thailand (gratisan)--* Tinggal di kost-kostan (300k/bulan) --* Rumah petak (well, bahasa kerennya : cluster kecil yang baru selesai dibangun) ---* Kontrak rumah di kompleks lumayan elit dengan 4 kamar yang akhirnya 2 kamar kami kost-kan wkwkw. Setahun pindah tempat tinggal 4 kali tanpa merasakan Pondok Mertua Indah. :-P 

Lumayan juga pindahan dengan mulai memboyong kasur, lemari, karpet, elektronik, perlengkapan masak... Ya, kami mulai mengisi tempat tinggal kami dengan berbagai barang keperluan sehari-hari. Semakin bertambah banyak meskipun belum tinggal di rumah sendiri.

Setelah selama kurang lebih LDM 7 bulan, akhirnya kami bisa tinggal satu rumah. Bila berkunjung ke sanak famili (yang tidak ngeh bahwa kami LDM segera setelah menikah) pertanyaan pokoknya adalah : istri sudah hamil? Saat saya (dan mungkin juga istri) mulai risih dengan pertanyaan ini, eh, alhamdulillah orang-orang mulai lupa dan mengganti pertanyaan pokoknya. hehe. Yaps, selama satu tahun pernikahan, Allah belum mempercayakan amanah anak kepada kami. 

Tahun pertama menjadi ajang penyesuaian emosi, kebiasaan, budaya.... *saya juga belum paham bahasa sunda sebagaimana istri belum mengerti bahasa Jawa* juga belajar memilih aset keluarga (belanja aset rumah masih ditemani mamah mertua). 

Tahun Kedua (2012-2013)

Tepat pada tanggal pernikahan kami di tahun masehi, ada pertanda berita bagus tentang akan hadirnya amanah seorang anak. Kami berencana untuk ke dokter kandungan yang paling direkomendasikan di kota Kembang berdasar hasil survei kami. Hasilnya?

 "jangan senang dulu. Ukuran janinnya lebih kecil dibanding usia dan perhitungan seharusnya. Bisa jadi gagal tumhuh." gitu kata bu profesor dokter kandungan. 

 Eh, gagal tumbuh? Apa nih maksudnya? Kerusakan kromosom? nutrisi tidak tersalurkan? menurut bu dokter, kalau memang gagal kromosom, si janin akan gugur dengan sendirinya, karena kalaupun lahir akan kasihan anaknya nanti. 

Pagi itu kami berencana akan memberikan kabar ke keluarga setelah tahu istri positif hamil kata test-pack. Tapi setelah pulang dari rumah sakit (dengan tujuan make sure hasil test pack), segala gegap gempita antusiame itu terbang entah kemana. Yang ada justru kami yang dihibur dan disemangati bahwa si janin tidak akan apa-apa, akan tumbuh dan berkembang dengan sempurna.

Tahun kedua ini kami difokuskan urusan calon bayi dan pindahan rumah (lagi) karena saya pindah tempat dinas ke Jakarta. Selain survey rumah, kami pun berpindah dari dokter satu ke dokter yang lain, termasuk survey rumah sakit bersalin/klinik di seputaran tempat tinggal yang baru. 

Amanah pertama ini penuh drama karena istri juga sedang menyelesaikan amanah lain di kampus, ukuran jabang bayi yang tetap masih di bawah standard normal kedokteran sehingga harus didukung dengan telur ayam kampung dan es krim. Hingga akhirnya, segala puji bagi Allah, anak pertama kami lahir. Diberi nama : Juara terpuji lembut hati yang diberkahi, Ei-yuu-ra Yumna. Yah, bayi kecil ini telah berjuang dan menjadi juara dengan kelahirannya. Sifat yang tersemat dalam namanya adalah doa-doa yang diharapkan diijabah oleh Tuhannya.

 *Fyuh* 

Tahun Ketiga (2013-2014) 

Masa adaptasi masih berlanjut, terutama dengan bertambahnya anggota dalam keluarga kecil kami. Tahun sebelumnya kami berpindah dokter kandungan, tahun ini kami mencari dokter spesialis anak yang cocok. Kebutuhan lain mulai muncul. Rasanya tidak tega kalau membiarkan anak periksa malam-malam dengan memakai motor dan menghirup asap polusi. Selain itu istri tidak bisa mengendari motor sehingga bila terjadi hal mendesak dan perlu keluar rumah, cukup merepotkan. Akhirnya dikerahkanlah upaya untuk mengandangkan sebuah mobil ke garasi. 

Hadirnya seorang anak memotivasi saya untuk memberikan kehidupan yang lebih nyaman. Alhamdulillah istri sangat mendukung untuk sementara menunda kenymanan di bidang lain sehingga target memiliki mobil bisa dicapai. Mobil juga sebagai sarana agar baby blues tidak menghinggapi istri. Gap yang besar antara mahasiswa aktif dengan ibu rumah tangga di rumah tentunya menjadi tantangan tersendiri buat istri. Apalagi kami tinggal jauh dari sanak keluarga... Lingkungan yang mendukung dan aktivitas pilihan untuk mengisi kesibukan jadi pertimbangan. 

Tahun ini menjadi trial dan eror untuk proyeksi target keluarga. Saya tersadar bahwa pundi-pundi ilmu dan pengalaman saya masih terbatas untuk menjawab tantangan yang ada.

 Tahun Keempat (2014-2015) 

Tantangan lain hadir saat anak sudah mulai aktif secara motorik dan verbal. Namun alhamdulillah, bahtera rumah tangga mulai stabil sehingga tahun ini sedikit memberikan kelonggaran untuk mulai fokus lagi ke visi jangka panjang. Sebagai kepala rumah tangga, saya mulai mempelajari (lagi) isu-isu ekonomi dan memetakan potensi keluarga serta opportunity yang kami miliki. 

Yah, tantangan tahun ini adalah komunikasi dan eksekusi visi-misi. Setelah agak tersendat oleh rutinitas rumah tangga, kami mulai leluasa merambah lagi majelis-majelis ilmu di luar kota baik di Bandung maupun Jakarta. Istri pun mulai beraktivitas di luar rumah untuk mengembangkan potensi dirinya. Silaturahim lebih mudah dijalin dan dijaga. Alhamdulillah mobil menjadi aset produktif yang mempermudah langkah kami menjadi manusia-manusia yang lebih baik. 

 *** 

Memasuki tahun kelima ini, entah apalagi cara Allah untuk mendidik kami. Skenarionya selalu luar biasa.

Ya Allah, jadikanlah keluarga yang kami bina ini menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Tahapan pertama, sakinah, sepertinya sedang dalam proses. Sakinah, akar katanya sama dengan pisau. Pisau? ya, betul. Dan ini dikaitkan dengan keluarga. Dengan banyaknya konflik dan adaptasi yang terjadi, sebuah keluarga diibaratkan hewan yang akan disembelih. Berontak dan berpotensi merusak. Namun setelah disembelih, hewan itu menjadi tenang dan nyaman. Konon seperti hendak tidur saja rasanya. Saya rasa ini perumpamaan yang cukup mewakili kondisi rumah tangga. Ketenangan itu menjadi buah setelah masa-masa tegang, berontak, berdamai, berantem lagi dan akur lagi terlewati. 

Dear my wife, Happy 4th anniversary. Sorry and Thank you for everything.


ReAD MoRE・・・

Thursday 6 August 2015

Menjangkau Pendidikan Kelas Dunia

Kasus siswa meninggal dalam masa orientasi siswa terjadi (lagi) di tahun ajaran 2015 ini. Sedih. Kini setelah saya berstatus sebagai orang tua, selain merencanakan jalur pendidikan formal yang mungkin akan dijalani oleh anak-anak saya nantinya, penting juga untuk melihat pendidikan sebagai wujud investasi. Betul, investasi dengan modal awal minimal untuk memperoleh hasil maksimal. 

Tapi mengingat biaya pendidikan di Indonesia sudah membuble, nampaknya pilihan negara lain akan menjadi keharusan. Kasusnya mungkin tak tauh berbeda dengan saat saya harus ke luar negeri dengan beasiswa karena kuliah di Indonesia itu mahal.Serius! Beberapa teman pun akhirnya melanjutkan pendidikan ke luar negeri meskipun dengan biaya sendiri. 

Kenapa? kualitas pendidikan lebih baik, biaya lebih murah dibanding universitas dalam negeri. Listrik stabil, sehingga topik penelitian yang membutuhkan dukungan ini seperti bio-molekuler atau bidang kasat mata yang perlu data dari elektron-akselerator bisa dilakukan. Siapa tahu anak orang penting -yang jalur karirnya sudah disiapkan- menjadi rekan satu kampus (dari berbagai negara tentunya). Satu lagi alasan saya, ini sesuai dengan visi keluarga untuk menjadikan keturunan kami SDM global, bisa hidup mulia dimana saja di dunia dan selamat di akhirat. *tsaah* 

Pertanyaannya, negara mana yang menjadi tujuan?

 Hasil pengumpulan informasi per tahun 2015, setidaknya ada 3 negara yang bisa dijadikan pilihan.

1. Jerman 
Untuk Bachelor, tidak dipungut tuition fee. Hanya ada kontribusi operasional semester sekitar 300 euro atau 5 juta/6 bulan. Itu pun kembali dalam wujud tiket bus untuk transportasi. Sisanya untuk dana BEM, administrasi dan bantuan sosial. Biaya pendidikan? gratis. Jadi biaya untuk meraih gelar bachelor selama 4 tahun lebih kurang 40 juta rupiah (90 gram emas). Weits, biaya hidup dan ongkos pesawat kalau mau mudik atau orang tua menengok putranya mungkin patut diperhitungkan. Oh, mungkin perlu kemampuan bahasa Jerman. Tahun ini adik kelas saya ada yang berangkat ke negeri ini. Pilihan kampusnya bisa di sini atau sini.

2. Swiss 
Yah, tidak jauh-jauh dari Jerman. Sekarang sih hanya beda mata uang. Salah satu universtias yang patut dijadikan pilihan adalah ÉCOLE POLYTECHNIQUE FÉDÉRALE DE LAUSANNE. Kampus ini diversikan memiliki kualias pendidikan di atas beberapa universitas ternama di US seperti Cornell, Brown, Northwestern, Rice, Carnegie Mellon, Dartmouth, UC Berkley, BU, Duke, McGill, NYU,.... Dan kuliahnya boleh dalam bahasa Inggris. Biayanya? setahun kurang lebih 1200 Franc. (16 juta rupiah/tahun?) Lebih mahal dikit dari Jerman sih.... (Jerman 50% lebih murah dibanding Swiss) 

3. China 
Masalahnya mungkin buat etnis lain yang tidak terbiasa dengan kanji, harus belajar dulu. Hurufnya dan pelafalannya. Peking University bisa dijadikan salah satu pilihan. Biaya setahunnya mungkin 60 juta rupiah, eh, mahal juga yak. Tapi konon disinilah anak-anak elit bisnis China berkumpul (selain yng disekolahkan ke luar negeri). Well, dari segi biaya sih Jerman masih 80% lebih murah dan err... tidak jauh berbeda dengan Indonesia untuk beberapa jurusan.

Bila ternyata 15 tahun ke depan, saat anak pertama saya masuk usia kuliah, Indonesia pun menyediakan lebih banyak peluang untuk kuliah di dalam negeri dengan biaya masuk akal atau luar negeri dengan beasiswa, maka pilihannya akan lebih bervairasi dan kompetitif tentunya. Bisa jadi universitas di negara-negara Arab naik peringkat pendidikannya dan mulai lebih terbuka untuk mahasiswa internasional. Mungkin bila Allah berkehendak anak saya belajar dan tinggal di kota nabi, ibadah umroh dan haji bisa dilakukan dengan mudah sekali. :-) 

Skenario saat ini, untuk menjangkau pendidikan tidak lagi harus dilakukan dengan investasi konvensional (asuransi/tabungan pendidikan, emas, saham, dkk) tapi dengan memperluas pilihan yang ada. Banyak negeri-negeri yang begitu memperhatikan pendidikan. Bukankah lebih menyenangkan bila mengeluarkan biaya (lebih) rendah tapi mendapatkan pengalaman internasional dengan bonus penguasaan bahasa asing dan jaringan pertemanan lintas benua? 

Sebelum menginvestasikan harta kita ke tempat lain, investasi ilmu (dan informasi) ke dalam otak agar setiap saat bisa di re-call dengan cepat lebih utama dilakukan. Setelah paham 'ilmunya'  barulah kita kerahkan harta untuk memuluskan jalan menuju tujuan. Saya rasa ini simpulan dari riset kecil-kecilan ini :-). 

catatan tambahan : Ternyata tak sedikit orang Indonesia yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri sejak tingkat SMA. Termasuk Pak Presiden. kata saya PR besarnya adalah menanamkan akhlak dan prinsip hidup sebelum anak-anak dilepas sendiri saat baligh, deuh berat juga tanggung jawab jadi orang tua...


ReAD MoRE・・・

Monday 3 August 2015

Mendadak Ekonom (2)

Ilustrasi di atas bisa berlaku untuk banyak kasus. Termasuk seorang pembelajar yang punya banyak ilmu tapi tidak bisa membuatnya terstruktur untuk mencari solusi, ilmu-ilmu itu tidak akan banyak bermanfaat. Well, sedikit ada irisannya dengan tulisan tentang portofolio yang lalu.


Dalam rangka membuat koneksi antar cabang pengetahuan agar membentuk struktur yang bagus dalam membaca fenomena dan mencari solusi, kita harus dipaksa untuk berpikir dan mengerahkan pundi-pundi pengetahuan itu. Dalam kasus saya, akhir-akhir ini sedang mencoba menjadi ekonom. Bukan level  negara, belum lah. Ekonom level keluarga saja, yang sedang mencerna fenomena dunia dan cari solusi untuk menyelamatkan keluarga. Tujuan yang sederhana, bukan? wkwkw.  *ekonom = orang yang paham manajemen (keuangan) keluarga, sesuai kata aristoteles.



Dalam tulisan sebelumnya saya menuliskan hasil penelitian tentang ciri suatu sistem (negara, imperium) menuju kehancurannya. Allah pun menyebutkan dalam Al Quran bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereba mengubahnya sendiri. Tuhan sudah mencukupkan rezeki manusia dimana dia berada.  Rejekinya setara dengan kebutuhan masyarakat. Bila mereka bertakwa, bertambahlah nikmatnya. Kalau merasa kurang, berarti ada yang salah. Bila ternyata kondisi suatu tempat secara obyektif sangatlah tidak layak untuk hidup, maka opsinya adalah hijrah. Simple?


Sejarah mencatat bahwa awal-awal peradaban manusia adalah dimulai di tempat yang subur, dimana alam begitu terberkahi dengan hasil buminya. Kebutuhan manusia masih tercukupi tanpa merusak hukum Allah tentang keseimbangan. Peradaban berkembang dikomandoi manusia dengan bekal akal yang dipakai berpikir.

Pertanian memegang kunci pembuka peradaban. Tumbuhan menyimpan kelebihan hasil fotosintesis. Tanaman ini dioptimalkan lewat pertanian dan perkebunan. Surplus pertanian disimpan atau diperdagangan ke luar wilayah. Kebiasaan menyimpan sesuatu yang berlebih adalah sesuatu yang alami, natural. Tumbuhan saja begitu.Manusia dengan akalnya sering menjadikan 'kelebihan' sebagai bahan spekulasi atau investasi atau hiper-konsumsi.

Kini dengan teknologi (dan utang modal?), daerah gersang dan panas pun bisa diubah menjadi kawasan elit untuk golongan tertentu. Perubahan yang baik dengan me-utilisasi sebuah kawasan sehingga naik nilai tambah dan manfaatnya. Persoalannya muncul saat hukum ekonomi tentang permintaan dan penawaran mulai termanipulasi. He? Maksudnya, ada kalanya permintaan itu muncul karena diciptakan pihak lain, bukan karena lahir dari kebutuhan. Ini salah satu sisi Marketing. ---ya, baiklah, sekarang bidang ilmu ini jadi pekerjaan saya saat ini--

Prinsip yang saya pahami sekarang, kita harus bisa melakukan valuasi terhadap suatu materi berdasarkan nilai intrinsiknya untuk menghindari spekulasi dan tertipu. Memajukan perekonomian bisa dilakukan dengan memberdayakan sumber yang ada. Bila ternyata uang tidak cukup, bisa diubah dengan bentuk sumber daya yang lain : manusia.

Hal ini dilakukan sejak jaman manusia membangun piramida di mesir, atau candi Borobudur di Indonesia atau, tidak perlu terlalu jauh kembali ke masa lampau, India melakukannya tahun 1956-1969 : membangun Bendungan dengan puluhan ribu tenaga kerja. Hal ini dilakukan  sebab kekurangan dana sehingga untuk menghindari utang luar negeri, dipergunakanlah sumber daya mereka : populasi dan batu (bukan beton). Menariknya proyek ini berhasilkarena kerjasama yang baik anatara pekerja, arsitek, insinyur dan pemerintahnya.

Di periode yang sama, Indonesia sibuk dengan berbagai manipol, peleburan Irian (Ikoet Repoeblik Indonesia Anti Netherland), Ganyang Malaysia, sampai hiperinflasi tahun 1965.  Baiklah, di Indonesia pun sebenarnya  ada infrastruktur yang terbangun pada masa yang sama seperti  GBK, jalan layang (?) semanggi dkk sebagai persiapan Asian games tahun 1962. Tapi.... beda fungsi  dengan bendungan tadi donk.

Bangunan di Indonesia manfaat langsung ke produktivitas rakyatnya tidak terasa selain sebagai ajang pamer saat para tamu asing bertandang ke Jakarta. Indonesia dimunculkan agar nampak kaya makmur dan sejahtera. Duitnya pun dari USSR a.ka. ngutang. Saya pun baru ngeh kalau ternyata dari awal Republik ini berdiri pemerintah sudah hutang ke sana-sini, kalau dulu cenderung ke blok timur, sekarang cenderung ke blok barat (?).

Okay. Baiklah. Cukup sudah contoh yang ditunjukkan oleh pemerintah dan pelajaran yang berharga telah dicatat dalam 70 tahun Indonesia dalam sejarah. Kedaulatan suatu bangsa bersumber dari kedaulatan setiap keluarga dalam wilayahnya. Mau bicara tentang kedaulatan pangan, kedaulatan beragama, kedaulatan berpendapat dst, suatu bangsa terlihat dari kondisi komunitas terkecilnya.

Sewaktu liburan Lebaran lalu, saya sempat berbincang dengan banyak saudara. Saya bertanya sewaktu para paman yang menjalani hidup sekitar tahun 60-an, apakah benar terjadi kekuarangan pangan? Pelaku-pelaku sejarah itu menceritakan bahwa mereka sempat makan bulgur (pakan kuda?), berbagai umbi pengganti nasi, sampai cerita beras artifisial dari plastik, eh, dari singkong untuk menghiasi meja makan. Tapi ada pula yang berkata, eh? kami tidak pernah kekuarangan pangan, beras selalu tersedia, karena keluarga punya sawah dan tidak pernah membeli beras.

Kenapa kondisinya berbeda? Ada yang sampai tidak tahu negara kekurangan pangan, ada yang menderita kekurangan pangan? Well, karena masih kecil, bisa jadi pelaku sejarah itu tidak terlalu ngeh dengan kondisi bangsa saat itu. Saya melihat ada keluarga yang berdaulat pangan, ada yang tidak.

Ceita lain saya dengar tentang suatu "kompleks kota mandiri' dimana wilayahnya terbagi menjadi sarana pendidikan, pertanian, rumah sakit dan pasar. Biaya hidup di 'kota' itu tidak berubah selama puluhan tahun. Nilai dolar naik terus terhadap rupiah pun tidak berpengaruh. Saya rasa inilah potret negeri yang berdaulat, efek luar tidak banyak berdampak terhadap kelangsungan kehidupan warganya. Sumber daya yang berada di wilayah kedaulatannya diberdayakan dengan baik dan dikelola dengan penuh amanah.

Saat mulai melihat gejala suatu negeri menuju kehancuran, maka protofolio yang terbangun dan informasi yang berserak harus segera disusun. Aset-aset riil produktif akan lebih banyak manfaatnya dibandingkan aset-aset dalam nominal besar tapi nilai riilnya tak lebih dari kertas bertanda tangan. Yah, saya bisa memahami saat dalam suatu ceramah ada ajakan untuk membangun suatu komunitas mandiri. Produksi dan konsumsi barang hasil buatan sendiri, menghindari produk asing agar bisa berdikari. Sistemnya pun secara bertahap melepaskan diri dari uang fiat yang terlanjur menggurita, heum, naiss.

Ya, saya rasa di sinilah peran golongan menengah yang sudah punya keleluasaan untuk mengalokasikan kemana uangnya hendak dipergunakan. Gaya hidup diproyeksikan agar menjadi permanen muzakki, aset-aset riil segera dimilki, bermain di pasar modal bila ilmu sudah mencukupi. Uang sejati yang mempertahankan daya beli (emas & perak) boleh disimpan, kertas-kertas bertandatangan gubernur bank central disimpan secukupnya untuk sehari-hari,  kelebihannya dirubah ke aset riil. Itu kesimpulan saya saat ini.

Intermezzo : Anak saya dibelikan anak ayam seharga 10 ribu/ 3 ekor akhir tahun lalu. Lebaran ini anak ayamnya sudah berumur 7 bulan (baca : jadi ayam betina dewasa), siap dijadikan lauk (;p) dan sudah bertelur 2 hari sekali. Tidak sampai satu tahun, aset anak saya sudah bernilai 10 kali lipat dengan bonus belasan telur. Aset yang produktif, bukan? :-p

Intermezzo 2: peta negara dunia beberapa kali berubah disebabkan gejolak keuangan/keruntuhan suatu negara ataupun perang. Bila suatu negara bangkrut, bagaimana kelanjutannya? jual wilayah? Jual kewarganegaaan untuk orang asing yang mau invest besar? terima dana talangan asing dengan kontrak eksploitasi (kalau punya SDA)? heum, menarik diikuti kelanjutan kisahnya.










ReAD MoRE・・・