Kasus siswa meninggal dalam masa orientasi siswa terjadi (lagi) di tahun ajaran 2015 ini. Sedih. Kini setelah saya berstatus sebagai orang tua, selain merencanakan jalur pendidikan formal yang mungkin akan dijalani oleh anak-anak saya nantinya, penting juga untuk melihat pendidikan sebagai wujud investasi. Betul, investasi dengan modal awal minimal untuk memperoleh hasil maksimal.
Tapi mengingat biaya pendidikan di Indonesia sudah membuble, nampaknya pilihan negara lain akan menjadi keharusan.
Kasusnya mungkin tak tauh berbeda dengan saat saya harus ke luar negeri dengan beasiswa karena kuliah di Indonesia itu mahal.Serius! Beberapa teman pun akhirnya melanjutkan pendidikan ke luar negeri meskipun dengan biaya sendiri.
Kenapa? kualitas pendidikan lebih baik, biaya lebih murah dibanding universitas dalam negeri. Listrik stabil, sehingga topik penelitian yang membutuhkan dukungan ini seperti bio-molekuler atau bidang kasat mata yang perlu data dari elektron-akselerator bisa dilakukan. Siapa tahu anak orang penting -yang jalur karirnya sudah disiapkan- menjadi rekan satu kampus (dari berbagai negara tentunya). Satu lagi alasan saya, ini sesuai dengan visi keluarga untuk menjadikan keturunan kami SDM global, bisa hidup mulia dimana saja di dunia dan selamat di akhirat. *tsaah*
Pertanyaannya, negara mana yang menjadi tujuan?
Hasil pengumpulan informasi per tahun 2015, setidaknya ada 3 negara yang bisa dijadikan pilihan.
1. Jerman
Untuk Bachelor, tidak dipungut tuition fee. Hanya ada kontribusi operasional semester sekitar 300 euro atau 5 juta/6 bulan. Itu pun kembali dalam wujud tiket bus untuk transportasi. Sisanya untuk dana BEM, administrasi dan bantuan sosial. Biaya pendidikan? gratis. Jadi biaya untuk meraih gelar bachelor selama 4 tahun lebih kurang 40 juta rupiah (90 gram emas). Weits, biaya hidup dan ongkos pesawat kalau mau mudik atau orang tua menengok putranya mungkin patut diperhitungkan. Oh, mungkin perlu kemampuan bahasa Jerman. Tahun ini adik kelas saya ada yang berangkat ke negeri ini. Pilihan kampusnya bisa di sini atau sini.
2. Swiss
Yah, tidak jauh-jauh dari Jerman. Sekarang sih hanya beda mata uang. Salah satu universtias yang patut dijadikan pilihan adalah ÉCOLE POLYTECHNIQUE FÉDÉRALE DE LAUSANNE. Kampus ini diversikan memiliki kualias pendidikan di atas beberapa universitas ternama di US seperti Cornell, Brown, Northwestern, Rice, Carnegie Mellon, Dartmouth, UC Berkley, BU, Duke, McGill, NYU,.... Dan kuliahnya boleh dalam bahasa Inggris.
Biayanya? setahun kurang lebih 1200 Franc. (16 juta rupiah/tahun?) Lebih mahal dikit dari Jerman sih.... (Jerman 50% lebih murah dibanding Swiss)
3. China
Masalahnya mungkin buat etnis lain yang tidak terbiasa dengan kanji, harus belajar dulu. Hurufnya dan pelafalannya. Peking University bisa dijadikan salah satu pilihan. Biaya setahunnya mungkin 60 juta rupiah, eh, mahal juga yak. Tapi konon disinilah anak-anak elit bisnis China berkumpul (selain yng disekolahkan ke luar negeri). Well, dari segi biaya sih Jerman masih 80% lebih murah dan err... tidak jauh berbeda dengan Indonesia untuk beberapa jurusan.
Bila ternyata 15 tahun ke depan, saat anak pertama saya masuk usia kuliah, Indonesia pun menyediakan lebih banyak peluang untuk kuliah di dalam negeri dengan biaya masuk akal atau luar negeri dengan beasiswa, maka pilihannya akan lebih bervairasi dan kompetitif tentunya. Bisa jadi universitas di negara-negara Arab naik peringkat pendidikannya dan mulai lebih terbuka untuk mahasiswa internasional. Mungkin bila Allah berkehendak anak saya belajar dan tinggal di kota nabi, ibadah umroh dan haji bisa dilakukan dengan mudah sekali. :-)
Skenario saat ini, untuk menjangkau pendidikan tidak lagi harus dilakukan dengan investasi konvensional (asuransi/tabungan pendidikan, emas, saham, dkk) tapi dengan memperluas pilihan yang ada. Banyak negeri-negeri yang begitu memperhatikan pendidikan. Bukankah lebih menyenangkan bila mengeluarkan biaya (lebih) rendah tapi mendapatkan pengalaman internasional dengan bonus penguasaan bahasa asing dan jaringan pertemanan lintas benua?
Sebelum menginvestasikan harta kita ke tempat lain, investasi ilmu (dan informasi) ke dalam otak agar setiap saat bisa di re-call dengan cepat lebih utama dilakukan. Setelah paham 'ilmunya' barulah kita kerahkan harta untuk memuluskan jalan menuju tujuan. Saya rasa ini simpulan dari riset kecil-kecilan ini :-).
catatan tambahan : Ternyata tak sedikit orang Indonesia yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri sejak tingkat SMA. Termasuk Pak Presiden. kata saya PR besarnya adalah menanamkan akhlak dan prinsip hidup sebelum anak-anak dilepas sendiri saat baligh, deuh berat juga tanggung jawab jadi orang tua...
catatan tambahan : Ternyata tak sedikit orang Indonesia yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri sejak tingkat SMA. Termasuk Pak Presiden. kata saya PR besarnya adalah menanamkan akhlak dan prinsip hidup sebelum anak-anak dilepas sendiri saat baligh, deuh berat juga tanggung jawab jadi orang tua...
No comments:
Post a Comment