Ilustrasi di atas bisa berlaku untuk banyak kasus. Termasuk seorang pembelajar yang punya banyak ilmu tapi tidak bisa membuatnya terstruktur untuk mencari solusi, ilmu-ilmu itu tidak akan banyak bermanfaat. Well, sedikit ada irisannya dengan tulisan tentang portofolio yang lalu.
Dalam rangka membuat koneksi antar cabang pengetahuan agar membentuk struktur yang bagus dalam membaca fenomena dan mencari solusi, kita harus dipaksa untuk berpikir dan mengerahkan pundi-pundi pengetahuan itu. Dalam kasus saya, akhir-akhir ini sedang mencoba menjadi ekonom. Bukan level negara, belum lah. Ekonom level keluarga saja, yang sedang mencerna fenomena dunia dan cari solusi untuk menyelamatkan keluarga. Tujuan yang sederhana, bukan? wkwkw. *ekonom = orang yang paham manajemen (keuangan) keluarga, sesuai kata aristoteles.
Dalam tulisan sebelumnya saya menuliskan hasil penelitian tentang ciri suatu sistem (negara, imperium) menuju kehancurannya. Allah pun menyebutkan dalam Al Quran bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereba mengubahnya sendiri. Tuhan sudah mencukupkan rezeki manusia dimana dia berada. Rejekinya setara dengan kebutuhan masyarakat. Bila mereka bertakwa, bertambahlah nikmatnya. Kalau merasa kurang, berarti ada yang salah. Bila ternyata kondisi suatu tempat secara obyektif sangatlah tidak layak untuk hidup, maka opsinya adalah hijrah. Simple?
Sejarah mencatat bahwa awal-awal peradaban manusia adalah dimulai di tempat yang subur, dimana alam begitu terberkahi dengan hasil buminya. Kebutuhan manusia masih tercukupi tanpa merusak hukum Allah tentang keseimbangan. Peradaban berkembang dikomandoi manusia dengan bekal akal yang dipakai berpikir.
Pertanian memegang kunci pembuka peradaban. Tumbuhan menyimpan kelebihan hasil fotosintesis. Tanaman ini dioptimalkan lewat pertanian dan perkebunan. Surplus pertanian disimpan atau diperdagangan ke luar wilayah. Kebiasaan menyimpan sesuatu yang berlebih adalah sesuatu yang alami, natural. Tumbuhan saja begitu.Manusia dengan akalnya sering menjadikan 'kelebihan' sebagai bahan spekulasi atau investasi atau hiper-konsumsi.
Pertanian memegang kunci pembuka peradaban. Tumbuhan menyimpan kelebihan hasil fotosintesis. Tanaman ini dioptimalkan lewat pertanian dan perkebunan. Surplus pertanian disimpan atau diperdagangan ke luar wilayah. Kebiasaan menyimpan sesuatu yang berlebih adalah sesuatu yang alami, natural. Tumbuhan saja begitu.Manusia dengan akalnya sering menjadikan 'kelebihan' sebagai bahan spekulasi atau investasi atau hiper-konsumsi.
Kini dengan teknologi (dan utang modal?), daerah gersang dan panas pun bisa diubah menjadi kawasan elit untuk golongan tertentu. Perubahan yang baik dengan me-utilisasi sebuah kawasan sehingga naik nilai tambah dan manfaatnya. Persoalannya muncul saat hukum ekonomi tentang permintaan dan penawaran mulai termanipulasi. He? Maksudnya, ada kalanya permintaan itu muncul karena diciptakan pihak lain, bukan karena lahir dari kebutuhan. Ini salah satu sisi Marketing. ---ya, baiklah, sekarang bidang ilmu ini jadi pekerjaan saya saat ini--
Prinsip yang saya pahami sekarang, kita harus bisa melakukan valuasi terhadap suatu materi berdasarkan nilai intrinsiknya untuk menghindari spekulasi dan tertipu. Memajukan perekonomian bisa dilakukan dengan memberdayakan sumber yang ada. Bila ternyata uang tidak cukup, bisa diubah dengan bentuk sumber daya yang lain : manusia.
Hal ini dilakukan sejak jaman manusia membangun piramida di mesir, atau candi Borobudur di Indonesia atau, tidak perlu terlalu jauh kembali ke masa lampau, India melakukannya tahun 1956-1969 : membangun Bendungan dengan puluhan ribu tenaga kerja. Hal ini dilakukan sebab kekurangan dana sehingga untuk menghindari utang luar negeri, dipergunakanlah sumber daya mereka : populasi dan batu (bukan beton). Menariknya proyek ini berhasilkarena kerjasama yang baik anatara pekerja, arsitek, insinyur dan pemerintahnya.
Di periode yang sama, Indonesia sibuk dengan berbagai manipol, peleburan Irian (Ikoet Repoeblik Indonesia Anti Netherland), Ganyang Malaysia, sampai hiperinflasi tahun 1965. Baiklah, di Indonesia pun sebenarnya ada infrastruktur yang terbangun pada masa yang sama seperti GBK, jalan layang (?) semanggi dkk sebagai persiapan Asian games tahun 1962. Tapi.... beda fungsi dengan bendungan tadi donk.
Bangunan di Indonesia manfaat langsung ke produktivitas rakyatnya tidak terasa selain sebagai ajang pamer saat para tamu asing bertandang ke Jakarta. Indonesia dimunculkan agar nampak kaya makmur dan sejahtera. Duitnya pun dari USSR a.ka. ngutang. Saya pun baru ngeh kalau ternyata dari awal Republik ini berdiri pemerintah sudah hutang ke sana-sini, kalau dulu cenderung ke blok timur, sekarang cenderung ke blok barat (?).
Okay. Baiklah. Cukup sudah contoh yang ditunjukkan oleh pemerintah dan pelajaran yang berharga telah dicatat dalam 70 tahun Indonesia dalam sejarah. Kedaulatan suatu bangsa bersumber dari kedaulatan setiap keluarga dalam wilayahnya. Mau bicara tentang kedaulatan pangan, kedaulatan beragama, kedaulatan berpendapat dst, suatu bangsa terlihat dari kondisi komunitas terkecilnya.
Sewaktu liburan Lebaran lalu, saya sempat berbincang dengan banyak saudara. Saya bertanya sewaktu para paman yang menjalani hidup sekitar tahun 60-an, apakah benar terjadi kekuarangan pangan? Pelaku-pelaku sejarah itu menceritakan bahwa mereka sempat makan bulgur (pakan kuda?), berbagai umbi pengganti nasi, sampai cerita beras artifisial dari plastik, eh, dari singkong untuk menghiasi meja makan. Tapi ada pula yang berkata, eh? kami tidak pernah kekuarangan pangan, beras selalu tersedia, karena keluarga punya sawah dan tidak pernah membeli beras.
Kenapa kondisinya berbeda? Ada yang sampai tidak tahu negara kekurangan pangan, ada yang menderita kekurangan pangan? Well, karena masih kecil, bisa jadi pelaku sejarah itu tidak terlalu ngeh dengan kondisi bangsa saat itu. Saya melihat ada keluarga yang berdaulat pangan, ada yang tidak.
Ceita lain saya dengar tentang suatu "kompleks kota mandiri' dimana wilayahnya terbagi menjadi sarana pendidikan, pertanian, rumah sakit dan pasar. Biaya hidup di 'kota' itu tidak berubah selama puluhan tahun. Nilai dolar naik terus terhadap rupiah pun tidak berpengaruh. Saya rasa inilah potret negeri yang berdaulat, efek luar tidak banyak berdampak terhadap kelangsungan kehidupan warganya. Sumber daya yang berada di wilayah kedaulatannya diberdayakan dengan baik dan dikelola dengan penuh amanah.
Saat mulai melihat gejala suatu negeri menuju kehancuran, maka protofolio yang terbangun dan informasi yang berserak harus segera disusun. Aset-aset riil produktif akan lebih banyak manfaatnya dibandingkan aset-aset dalam nominal besar tapi nilai riilnya tak lebih dari kertas bertanda tangan. Yah, saya bisa memahami saat dalam suatu ceramah ada ajakan untuk membangun suatu komunitas mandiri. Produksi dan konsumsi barang hasil buatan sendiri, menghindari produk asing agar bisa berdikari. Sistemnya pun secara bertahap melepaskan diri dari uang fiat yang terlanjur menggurita, heum, naiss.
Ya, saya rasa di sinilah peran golongan menengah yang sudah punya keleluasaan untuk mengalokasikan kemana uangnya hendak dipergunakan. Gaya hidup diproyeksikan agar menjadi permanen muzakki, aset-aset riil segera dimilki, bermain di pasar modal bila ilmu sudah mencukupi. Uang sejati yang mempertahankan daya beli (emas & perak) boleh disimpan, kertas-kertas bertandatangan gubernur bank central disimpan secukupnya untuk sehari-hari, kelebihannya dirubah ke aset riil. Itu kesimpulan saya saat ini.
Intermezzo : Anak saya dibelikan anak ayam seharga 10 ribu/ 3 ekor akhir tahun lalu. Lebaran ini anak ayamnya sudah berumur 7 bulan (baca : jadi ayam betina dewasa), siap dijadikan lauk (;p) dan sudah bertelur 2 hari sekali. Tidak sampai satu tahun, aset anak saya sudah bernilai 10 kali lipat dengan bonus belasan telur. Aset yang produktif, bukan? :-p
Intermezzo 2: peta negara dunia beberapa kali berubah disebabkan gejolak keuangan/keruntuhan suatu negara ataupun perang. Bila suatu negara bangkrut, bagaimana kelanjutannya? jual wilayah? Jual kewarganegaaan untuk orang asing yang mau invest besar? terima dana talangan asing dengan kontrak eksploitasi (kalau punya SDA)? heum, menarik diikuti kelanjutan kisahnya.
Prinsip yang saya pahami sekarang, kita harus bisa melakukan valuasi terhadap suatu materi berdasarkan nilai intrinsiknya untuk menghindari spekulasi dan tertipu. Memajukan perekonomian bisa dilakukan dengan memberdayakan sumber yang ada. Bila ternyata uang tidak cukup, bisa diubah dengan bentuk sumber daya yang lain : manusia.
Hal ini dilakukan sejak jaman manusia membangun piramida di mesir, atau candi Borobudur di Indonesia atau, tidak perlu terlalu jauh kembali ke masa lampau, India melakukannya tahun 1956-1969 : membangun Bendungan dengan puluhan ribu tenaga kerja. Hal ini dilakukan sebab kekurangan dana sehingga untuk menghindari utang luar negeri, dipergunakanlah sumber daya mereka : populasi dan batu (bukan beton). Menariknya proyek ini berhasilkarena kerjasama yang baik anatara pekerja, arsitek, insinyur dan pemerintahnya.
Di periode yang sama, Indonesia sibuk dengan berbagai manipol, peleburan Irian (Ikoet Repoeblik Indonesia Anti Netherland), Ganyang Malaysia, sampai hiperinflasi tahun 1965. Baiklah, di Indonesia pun sebenarnya ada infrastruktur yang terbangun pada masa yang sama seperti GBK, jalan layang (?) semanggi dkk sebagai persiapan Asian games tahun 1962. Tapi.... beda fungsi dengan bendungan tadi donk.
Bangunan di Indonesia manfaat langsung ke produktivitas rakyatnya tidak terasa selain sebagai ajang pamer saat para tamu asing bertandang ke Jakarta. Indonesia dimunculkan agar nampak kaya makmur dan sejahtera. Duitnya pun dari USSR a.ka. ngutang. Saya pun baru ngeh kalau ternyata dari awal Republik ini berdiri pemerintah sudah hutang ke sana-sini, kalau dulu cenderung ke blok timur, sekarang cenderung ke blok barat (?).
Okay. Baiklah. Cukup sudah contoh yang ditunjukkan oleh pemerintah dan pelajaran yang berharga telah dicatat dalam 70 tahun Indonesia dalam sejarah. Kedaulatan suatu bangsa bersumber dari kedaulatan setiap keluarga dalam wilayahnya. Mau bicara tentang kedaulatan pangan, kedaulatan beragama, kedaulatan berpendapat dst, suatu bangsa terlihat dari kondisi komunitas terkecilnya.
Sewaktu liburan Lebaran lalu, saya sempat berbincang dengan banyak saudara. Saya bertanya sewaktu para paman yang menjalani hidup sekitar tahun 60-an, apakah benar terjadi kekuarangan pangan? Pelaku-pelaku sejarah itu menceritakan bahwa mereka sempat makan bulgur (pakan kuda?), berbagai umbi pengganti nasi, sampai cerita beras artifisial dari plastik, eh, dari singkong untuk menghiasi meja makan. Tapi ada pula yang berkata, eh? kami tidak pernah kekuarangan pangan, beras selalu tersedia, karena keluarga punya sawah dan tidak pernah membeli beras.
Kenapa kondisinya berbeda? Ada yang sampai tidak tahu negara kekurangan pangan, ada yang menderita kekurangan pangan? Well, karena masih kecil, bisa jadi pelaku sejarah itu tidak terlalu ngeh dengan kondisi bangsa saat itu. Saya melihat ada keluarga yang berdaulat pangan, ada yang tidak.
Ceita lain saya dengar tentang suatu "kompleks kota mandiri' dimana wilayahnya terbagi menjadi sarana pendidikan, pertanian, rumah sakit dan pasar. Biaya hidup di 'kota' itu tidak berubah selama puluhan tahun. Nilai dolar naik terus terhadap rupiah pun tidak berpengaruh. Saya rasa inilah potret negeri yang berdaulat, efek luar tidak banyak berdampak terhadap kelangsungan kehidupan warganya. Sumber daya yang berada di wilayah kedaulatannya diberdayakan dengan baik dan dikelola dengan penuh amanah.
Saat mulai melihat gejala suatu negeri menuju kehancuran, maka protofolio yang terbangun dan informasi yang berserak harus segera disusun. Aset-aset riil produktif akan lebih banyak manfaatnya dibandingkan aset-aset dalam nominal besar tapi nilai riilnya tak lebih dari kertas bertanda tangan. Yah, saya bisa memahami saat dalam suatu ceramah ada ajakan untuk membangun suatu komunitas mandiri. Produksi dan konsumsi barang hasil buatan sendiri, menghindari produk asing agar bisa berdikari. Sistemnya pun secara bertahap melepaskan diri dari uang fiat yang terlanjur menggurita, heum, naiss.
Ya, saya rasa di sinilah peran golongan menengah yang sudah punya keleluasaan untuk mengalokasikan kemana uangnya hendak dipergunakan. Gaya hidup diproyeksikan agar menjadi permanen muzakki, aset-aset riil segera dimilki, bermain di pasar modal bila ilmu sudah mencukupi. Uang sejati yang mempertahankan daya beli (emas & perak) boleh disimpan, kertas-kertas bertandatangan gubernur bank central disimpan secukupnya untuk sehari-hari, kelebihannya dirubah ke aset riil. Itu kesimpulan saya saat ini.
Intermezzo : Anak saya dibelikan anak ayam seharga 10 ribu/ 3 ekor akhir tahun lalu. Lebaran ini anak ayamnya sudah berumur 7 bulan (baca : jadi ayam betina dewasa), siap dijadikan lauk (;p) dan sudah bertelur 2 hari sekali. Tidak sampai satu tahun, aset anak saya sudah bernilai 10 kali lipat dengan bonus belasan telur. Aset yang produktif, bukan? :-p
Intermezzo 2: peta negara dunia beberapa kali berubah disebabkan gejolak keuangan/keruntuhan suatu negara ataupun perang. Bila suatu negara bangkrut, bagaimana kelanjutannya? jual wilayah? Jual kewarganegaaan untuk orang asing yang mau invest besar? terima dana talangan asing dengan kontrak eksploitasi (kalau punya SDA)? heum, menarik diikuti kelanjutan kisahnya.
No comments:
Post a Comment