Fyuh. Dua detlen besar berhasil diselesaikan, menghadiahkan sedikit waktu luang untuk senam otak. Tapi sebuah berita tertanggal 23 Juni 2008 mengusik perhatian saya. Setelah kasus Tibet, Pemerintah China melakukan aksi penghancuran Masjid di Xinjiang. Kebetulan ada beberapa video di youtube terkait dengan aktivitas muslim di Xinjiang Uyghur. Kali ini kunjungan Rabiya Kadir, seorang tokoh Uygur, ke Jepang untuk menyuarakan HAM diliput oleh televisi Jepang,
Waaa. lagi-lagi pingin nerjemahin, tapi saya perlu waktu. +_+
Lalu tiba-tiba saja saya teringat seorang kawan dari China... ini secuplik kisahnya.
Kenapa harus Pharaoh?" saya masih heran dengan nama panggilan itu.
"Entahlah, mungkin nama itu yang dia tau sedikit bersinggungan dengan kawasan Timur Tengah." Duga-duga mulai menyapa.
Saya makin penasaran, kenapa dia memilih nickname itu seolah tak ada nama lain yang lebih baik. Kawan satu negaranya memilih nickname yang umum dipakai bangsa Eropa atau Amerika: Bill, Linda, Sofia, Bob. Hanya dia yang menurut saya cukup unik dengan memilih nama itu. Pharaoh, Fir'aun. Memang bila dibandingkan rekan senegaranya, dia sedikit berbeda. Kulitnya boleh sama-sama langsat, namun matanya lebar dengan tipe wajah asia barat. Bila saya bertemu di jalan tanpa mengenal sebelumnya, mungkin saya tak akan terpikir untuk menyebutkan Cina sebagai asal negaranya.
Dia guru Taichi saya yang cukup populer di kalangan mahasiswi. Banyak di antara rekan saya yang ikut latihan Taichi hanya untuk bertemu dengan Pharaoh. Setidaknya itu yang tak sengaja terdengar dalam obrolan mereka saat duduk istirahat di tengah latihan. Dia memang unik dan punya karakter yang membuat orang mudah dekat dengannya. Tapi bukan itu yang membuat saya termotivasi untuk lebih dekat dengan Pharaoh. Ya, bukan sosok fisiknya. Bukan pula supaya saya ikutan beken. Saya baru tahu kalau dia seorang muslim. Ini yang membuat radar dan sensor saya langsung menyala. Saya ingin tahu lebih lanjut tentang Pharaoh.
"Saya tidak bisa sholat..." Pharaoh menjawab pertanyaan saya siang itu.
"Apakah ayahmu tidak mengajarkan? "
"Tidak. Ayahku juga tidak bisa sholat."
"Tapi bagaimana kamu masih mendekap identitas sebagai muslim?"
"Kakek. Kakekku bisa sholat, tapi dia tidak mengajarkan kepada anak-anaknya. Madrasah menjadi tempat terlarang dan kami tidak diperbolehkan untuk berkumpul untuk beribadah."
"Sholat Jumat?"
"Ya, hanya orang tua yang boleh ke Masjid. Pemerintah mengawasi dengan ketat."
"Apa kamu mau belajar sholat?"
"Ya, tentu saja. Mau mengajari?"
"Alhamdulillah, tentu saja."
Saya tersenyum. Sebentar lagi Ramadan. Bulan puasa pertama saya di Cikarang sekaligus Ramadan pertama Pharaoh di Indonesia. Ada satu kegiatan yang tertulis dalam agenda saya : Mengenalkan Pharaoh lebih jauh dengan islam. Namun kami tinggal di asrama yang berbeda. Cukup sulit untuk memulai sebuah proses belajar yang intensif sementara terhalang oleh jarak dan kesibukan.
Tiba-tiba saya teringat Cheng Wei. Teman sekamar Andi yang kebetulan punya marga sama dengan Pharaoh. Ya, Pharaoh bernama asli Cheng Fei. Dia berasal dari sebuah propinsi dimana muslim hidup sebagai minoritas. A Wei sendiri cukup akrab dengan kami, karena ping-pong. Karena setiap kamar punya sisa 2 tempat tidur yang tidak ditempati, menginapkan Cheng Fei ke asrama bukanlah hal sulit. Satpam asrama sduah seperti kawan sendiri.
Lalu dimulailah proses belajar itu. Asrama pun mulai sepi, anak-anak mudik menjelang Idul Fitri. Hanya ada saya dan beberapa kawan dari jauh yang tidak ada rencana mudik. Ternyata cukup sulit juga untuk mengajari. Selain Cheng Fei buta huruf Arab, komunikasi dalam bahasa Inggris tetap saja tidak senyaman dalam bahasa Indonesia. Bahasa Cina yang saya pelajari masih terlalu jauh levelnya untuk bisa bercakap-cakap.
Waktu berlalu dengan cepat. Tahu-tahu Idul Fitri tiba. Cheng Fei berhasil menyelesaikan puasa pertama di Indonesia, puasa pertama dalam hidupnya. Mungkin baru sekedar menahan lapar dan dahaga, namun setidaknya dia sudah berusaha. Lidahnya masih sulit melafalkan syahadat, gerakan badannya masih kaku saat mengerjakan sholat.
Masih banyak yang ingin saya bagi. Masih segunung rasanya hal yang belum saya sampaikan. Yah, meski tak sendiri, masih tersisa sedikit kekhawatiran mengenai perkembangan Cheng Fei. Tapi saya harus pergi. Ya, akhir Januari itu ada pemberitahuan akan kelulusan saya melanjutkan kuliah di Jepang. Sebuah pengumuman yang penuh makna. Syukur. Namun banyak hal yang terlanjur saya mulai di kampus ini, lalu saya tinggalkan begitu saja. Ada rasa tak rela. Bagaimana rencana mushola kampus? Bagimana rencana buletin islam? Bagiamana kelanjutan pengajian akhir pekan?
Ah, Bagaimana kelanjutan kisah Pharaoh Cina? Saya benar-benar lupa, hingga tak terasa sudah 4 tahun cerita di atas terjadi. Sekarang saya ingin tahu khabar mereka, yang sudah lulus dan bekerja, tersebar ke seluruh pelosok dunia.
1 comment:
mas...aku juga punya teman china muslim yg tdk tahu sama sekali ttg islam. namun dia tetap muslim walau tdk sholat dan lain2... ga tau juga dengan kehidupan sehari-harinya. dou shiyou? agak kurang dekat soalnya.
Post a Comment