Seperti yang saya tuliskan akhir bulan September yang lalu, saya kehilangan kesempatan untuk menerima beasiswa dari Pemerintah Jepang terhitung April 2010. Jujur saja, waktu itu sempat shock dan sulit menerima penyebabnya. Tapi kalau masih ada waktu untuk kebingungan dan merenungi kejadian yang sudah terlanjur terjadi, bukankah lebih baik menyusun rencana ke depan? Singkat cerita, tersusunlah 5 rancangan karir pada pergantian musim panas-gugur tahun ini. Lima Rancangan? Banyak amat? Bukankan justru bingung sendiri? Seorang kawan menyumbangkan komentarnya. Tapi, yah, begitulah, lebih baik menyusun rencana dengan memikirkan kemungkinan terburuk. Saya siap gagal sekaligus siap menyukseskan rancangan karir sesuai urutan prioritas.
Saat ini saya sudah memulai plan A. Plan B-E baru bisa diwujudkan setelah tahun ajaran baru 2009. Jadi tinggal menghitung waktu saja sebenarnya. Mungkin setelah ada kejelasan tentang plan A, akan saya tuliskan di blog ini. Siapa tahu ada orang yang terbantu dengan informasi tersebut. Well, semoga Allah memudahkan setiap langkah dan menunjukkan manakah pilihan yang terbaik. Seperti biasanya, saya menyebar kail banyak-banyak, semoga saja ada ikan enak yang tersangkut.
Intinya, bila plan A berhasil, artinya saya harus meninggalkan Jepang dengan mengendarai beasiswa ke negara lain. Banyak yang mengingatkan kalau 6 tahun di Jepang akan sia-sia kalau saya tinggalkan begitu saja. Betulkah? I don't think so. Bukankah banyak hal yang sudah saya dapatkan di sini? Bila yang dimaksud adalah kemampuan adapatasi dan penguasaan medan di Jepang akan kehilangan fungsi, saya pikir tidak juga. Alasannya sih gampang. Selain plan A, saya masih merencanakan untuk bertahan di Jepang kok :D Buktinya saya sudah menghitung nominal yang diperlukan. Hehe.
Dibalik kelima rancangan itu, seberanya ada hal yang masih menjadi ganjalan. Pilihan hidup dan kurikulum. Terbaca susah? Yah... kalau kawan saya berpendapat bahwa 6 tahun di Jepang akan sia-saia bila saya cabut sebelum S2, mari kita bandingan dengan kurikulum sekolah di Indonesia. Anak-anak mulai dibebani pelajaran susah sejak masuk SD. Bersinggungan dengan sistem ranking, dan ternayata, apakah pelajaran2 selama SD dan SMP itu akan terpakai dalam kehidupan saat dewasa? Diibaratkan sekelompok orang akan melakukan perjalanan jauh dan tidak tau apa yang akan terjadi selama perjalanan. Pimpinan memerintahkan untuk membawa bekal sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan kekuatan masing-masing orang. Orang yang kuat akan sanggup membawa semua bekal hingga tujuan. Tapi perlu diingat bahwa tidak semua orang itu kekuatannya sama. Bisa jadi orang yang lemah justru tidak bisa mencapai tujuan karena kelelalan oleh bekal yang terlalu berat.
Saya sempat berpikir bahwa penyusun kurikulum pendidikan dasar dan menengah adalah pimpinan yang menyusun daftar bekal untuk para calon pengembara. Dia terlalu khawatir calon pengembara akan kesulitan bila tidak dibawakan bekal banyak-banyak. Salah satu korbannya ya saya ini. Saat SD sudah harus menghapalkan butir-butir pancasila,npasal-pasal, nama-nama menteri yang sering berganti yang membuat saya 'eneg' begitu melihat buku UUD 1945. Belum lagi pelajaran di SMP -yang katanya unggulan- yang ternyata lebih banyak dibandingkan SMP lain. Juga pelajaran sosial yang isinya hanya berulang saat SMP dan SMA. Hmhhm.. Untungnya ternyata saya cukup kuat sehingga bisa melewati masa SD-SMA tanpa merasa keberatan beban.
Tapi pelajaran dasar seperti matematika tidaklah mudah bagi tiap orang. Standar keulusan yang naik, bisa jadi menjadi penghambat masa depan beberapa anak. Ditambah pandangan umum masyarakat yang menganggap jurusan IPA lebih baik. Waktu saya hendak masuk kelas IPS sewaktu SMA, saya malah harus menghadap ke BP. Intinya sih, nilai pelajaran IPA saya dianggap masih sangat cukup untuk masuk kelas IPA. Weitsss, ya ya itu betul, tapi ternyata nilai pelajaran IPS saya lebih tinggi. Memangnya siapa yang lebih sukses? Karena ternyata orang tua saya dan BP memiliki pendapat yang sama, yah terpaksa deh masuk kelas IPA. Memang sih kenyataannya saya bisa masuk 20 besar terbaik lulusan IPA sewaktu SMA dan mungkin sedikit rasa bangga waktu itu membuat saya akhirnya memilih Teknik Kimia sebagai pilihan. Ah, salah. Saya memilih Teknik Industri, tapi karena jurusan ini tidak ada di PU, akhirnya saya dimasukkan bersama anak-anak Teknik Kimia. Huhu.
Di Jepang pun, saya berada dalam jurusan yang sama. Menepis mimpi kecil saya untuk jadi dokter. Kata Psikolog (hmm, sewaktu milih jurusan pun ada konsultasi waktu kelas 3 SMA, bergilir satu-satu, huhu), saya tidak cocok menjadi dokter. Yah, waktu itu saya pun tidak tahu apa yang sebenarnya saya inginkan, dan kemampuan di bidang apa yang bisa saya kembangkan. Lalu setelah 3 tahun menggeluti teknik Kimia, saya merasa salah jurusan. Akibatnya, saya kehilangan motivasi dan nilai semester saya di tahun ke-4 terjun payung. Suer, terjun payung. Sekarang pun saya merasa cemburu kepada anak-anak yang punya pilihan mantab dengan jurusannya, tahu bidang apa yang ingin diperdalam. Tapiii... saya pun tidak mau berlarut-larut merasa salah jurusan. Yah, harus dihadapi dan diselesaikan sampai saya lulus.
Setelah berpikir, merenung, mempertimbangkan dan memilah, akhirnya ada 5 jalan yang mungkin akan saya tempuh. Manakah yang akan benar-benar saya lalui? Hanya Yang Maha Tahu saja yang menyimpan jawabannya.
Intinya, bila plan A berhasil, artinya saya harus meninggalkan Jepang dengan mengendarai beasiswa ke negara lain. Banyak yang mengingatkan kalau 6 tahun di Jepang akan sia-sia kalau saya tinggalkan begitu saja. Betulkah? I don't think so. Bukankah banyak hal yang sudah saya dapatkan di sini? Bila yang dimaksud adalah kemampuan adapatasi dan penguasaan medan di Jepang akan kehilangan fungsi, saya pikir tidak juga. Alasannya sih gampang. Selain plan A, saya masih merencanakan untuk bertahan di Jepang kok :D Buktinya saya sudah menghitung nominal yang diperlukan. Hehe.
Dibalik kelima rancangan itu, seberanya ada hal yang masih menjadi ganjalan. Pilihan hidup dan kurikulum. Terbaca susah? Yah... kalau kawan saya berpendapat bahwa 6 tahun di Jepang akan sia-saia bila saya cabut sebelum S2, mari kita bandingan dengan kurikulum sekolah di Indonesia. Anak-anak mulai dibebani pelajaran susah sejak masuk SD. Bersinggungan dengan sistem ranking, dan ternayata, apakah pelajaran2 selama SD dan SMP itu akan terpakai dalam kehidupan saat dewasa? Diibaratkan sekelompok orang akan melakukan perjalanan jauh dan tidak tau apa yang akan terjadi selama perjalanan. Pimpinan memerintahkan untuk membawa bekal sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan kekuatan masing-masing orang. Orang yang kuat akan sanggup membawa semua bekal hingga tujuan. Tapi perlu diingat bahwa tidak semua orang itu kekuatannya sama. Bisa jadi orang yang lemah justru tidak bisa mencapai tujuan karena kelelalan oleh bekal yang terlalu berat.
Saya sempat berpikir bahwa penyusun kurikulum pendidikan dasar dan menengah adalah pimpinan yang menyusun daftar bekal untuk para calon pengembara. Dia terlalu khawatir calon pengembara akan kesulitan bila tidak dibawakan bekal banyak-banyak. Salah satu korbannya ya saya ini. Saat SD sudah harus menghapalkan butir-butir pancasila,npasal-pasal, nama-nama menteri yang sering berganti yang membuat saya 'eneg' begitu melihat buku UUD 1945. Belum lagi pelajaran di SMP -yang katanya unggulan- yang ternyata lebih banyak dibandingkan SMP lain. Juga pelajaran sosial yang isinya hanya berulang saat SMP dan SMA. Hmhhm.. Untungnya ternyata saya cukup kuat sehingga bisa melewati masa SD-SMA tanpa merasa keberatan beban.
Tapi pelajaran dasar seperti matematika tidaklah mudah bagi tiap orang. Standar keulusan yang naik, bisa jadi menjadi penghambat masa depan beberapa anak. Ditambah pandangan umum masyarakat yang menganggap jurusan IPA lebih baik. Waktu saya hendak masuk kelas IPS sewaktu SMA, saya malah harus menghadap ke BP. Intinya sih, nilai pelajaran IPA saya dianggap masih sangat cukup untuk masuk kelas IPA. Weitsss, ya ya itu betul, tapi ternyata nilai pelajaran IPS saya lebih tinggi. Memangnya siapa yang lebih sukses? Karena ternyata orang tua saya dan BP memiliki pendapat yang sama, yah terpaksa deh masuk kelas IPA. Memang sih kenyataannya saya bisa masuk 20 besar terbaik lulusan IPA sewaktu SMA dan mungkin sedikit rasa bangga waktu itu membuat saya akhirnya memilih Teknik Kimia sebagai pilihan. Ah, salah. Saya memilih Teknik Industri, tapi karena jurusan ini tidak ada di PU, akhirnya saya dimasukkan bersama anak-anak Teknik Kimia. Huhu.
Di Jepang pun, saya berada dalam jurusan yang sama. Menepis mimpi kecil saya untuk jadi dokter. Kata Psikolog (hmm, sewaktu milih jurusan pun ada konsultasi waktu kelas 3 SMA, bergilir satu-satu, huhu), saya tidak cocok menjadi dokter. Yah, waktu itu saya pun tidak tahu apa yang sebenarnya saya inginkan, dan kemampuan di bidang apa yang bisa saya kembangkan. Lalu setelah 3 tahun menggeluti teknik Kimia, saya merasa salah jurusan. Akibatnya, saya kehilangan motivasi dan nilai semester saya di tahun ke-4 terjun payung. Suer, terjun payung. Sekarang pun saya merasa cemburu kepada anak-anak yang punya pilihan mantab dengan jurusannya, tahu bidang apa yang ingin diperdalam. Tapiii... saya pun tidak mau berlarut-larut merasa salah jurusan. Yah, harus dihadapi dan diselesaikan sampai saya lulus.
Setelah berpikir, merenung, mempertimbangkan dan memilah, akhirnya ada 5 jalan yang mungkin akan saya tempuh. Manakah yang akan benar-benar saya lalui? Hanya Yang Maha Tahu saja yang menyimpan jawabannya.
2 comments:
baito baito baito...
kapan nyusul?
Post a Comment