Andai saja sosok dalam foto diatas tergantikan dengan orang-orang di desa Jagabita, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, mungkin hati para dermawan lebih terketuk. (Tentu saja bahasa Perancis dalam Foto akan lebih banyak dipahami dengan diterjemahkan ke bahasa ibu kita, hoho)Eh? Belum pernah dengar nama desa ini? Sama. Saya juga baru membacanya beberapa waktu lalu. Lagi-lagi batin saya teriris saat tahu eksistensi orang-orang yang sangat-sangat kurang beruntung hingga di tahun 2008 pun masih ada komunitas gizi buruk. Bukan di afrika atau negara yang sedang konfik, seperti yang kita -anda,saya- ketahui, Bogor itu ada di Indonesia. Negeri kita sendiri.
Sumber berita itu ada di sini.
Dalam bulan Dzulhijah, salah satu bulan yang istimewa, semangat berqurban semoga saja menjangkau masyarakat itu. Kebijakan pemrintah untuk menurunkan harga bensin dan solar semoga diikuti pula dengan kebijakan lain yang membela masyarakat kecil. Semoga pemilu tahun depan menjadi ajang pemilihan orang-orang yang bersih dan peduli. Tidak hanya perebutan kekuasaan oleh orang-orang yang pintar bermuka dua (atau tiga? empat?).
Kekhawatiran tidak mendapat perpanjangan beasiswa dari pemerintah tidak ada apa-apanya dengan kekhawatiran akan hari esok yang dialami oleh masyarakat desa itu.
Sebelumnya saya tidak pernah menghitung nikmat beasiswa yang ternyata mencapai 1 milyar rupiah -dalam hitungan kasar-, selama 10 tahun terakhir. Artinya, kalau dirata-rata, saya menerima beasiswa sebanyak 100 juta rupiah dalam satu tahun. Nominal yang tidak mungkin sanggup dikeluarkan oleh orang tua saya meski telah menjual rumah dan tanah. Bisa jadi gara-gara saya menerima beasiswa sejak SMP, kepekaan saya terhadap susahnya menikmati sekolah (bukan pendidikan, loh) kehilangan ketajaman.
Sekali lagi saya diingatkan bahwa pandai bersyukur adalah salah satu kunci kebahagiaan. Setidaknya kekhawatiran berlebih bisa ditepis.
Kekhawatiran tidak mendapat perpanjangan beasiswa dari pemerintah tidak ada apa-apanya dengan kekhawatiran akan hari esok yang dialami oleh masyarakat desa itu.
Sebelumnya saya tidak pernah menghitung nikmat beasiswa yang ternyata mencapai 1 milyar rupiah -dalam hitungan kasar-, selama 10 tahun terakhir. Artinya, kalau dirata-rata, saya menerima beasiswa sebanyak 100 juta rupiah dalam satu tahun. Nominal yang tidak mungkin sanggup dikeluarkan oleh orang tua saya meski telah menjual rumah dan tanah. Bisa jadi gara-gara saya menerima beasiswa sejak SMP, kepekaan saya terhadap susahnya menikmati sekolah (bukan pendidikan, loh) kehilangan ketajaman.
Sekali lagi saya diingatkan bahwa pandai bersyukur adalah salah satu kunci kebahagiaan. Setidaknya kekhawatiran berlebih bisa ditepis.
No comments:
Post a Comment