Lelaki itu memutuskan untuk menyerah. Hah? Inikah hasil segala diskusi, konsultasi, tukar pikiran, minta saran setelah menembus malam-malam hujan di puncak musim dingin? Tapi bagaimanapun saya menghormati keputusannya. Ini hidupnya, sedalam apapun campur tangan, masukan -yang menurut saya baik-, dan tawaran solusi yang bisa ditawarkan orang lain tidak akan banyak merubah keputusannya. Yah, bagaimana mungkin, bila semangat itu sudah tak lagi ada.
Sayangnya dia sudah terlalu banyak melibatkan orang lain dalam masalahnya, namun pada akhirnya keputusan tetap mutlak di tangannya. Kalau saya sarikan (tentunya dari sudut pandang saya), ada beberapa masalah yang harus dibuat jelas. Kesanggupan. Itu yang pertama. Siapa yang tahu kemampuan kita kalau bukan kita sendiri. Orang lain menganggap kita jenius atau bodoh, tak akan berpengaruh terhadap kualitas otak kita kok. Di sini, kesanggupan untuk menerima posisi diri saya rasa penting. Mengakui bahwa kondisi saya sekarang sedang kurang cemerlang itu penting. Kenapa? karena kita hidup dalam masa sekarang. Segala prestasi dan keberhasilan yang berkilauan di masa lampau tidak akan membantu. Kalau diingat dan dibandingkan dengan kondisi riil yang berbeda hanya akan menumbuhkan tekanan batin.
Keterbukaan. Ini yang kedua. Tahu kepahitan pada awal akan lebih baik daripada pahit di tengah-tengah. Maksudnya? Yah, kalau memang ada masalah, tolong jelaskan sejak awal dan jangan membuat transaksi dan jaringan dengan orang lain yang kemudian menyeret orang lain menuju kesulitan. Saya sendiri paling tidak suka bertindak setengah-setengah, terlanjur memulai, tapi kemudian menyerah di tengah jalan, karena pada dasarnya ada problematika yang terpendam, namun ikut terbawa kesana-kemari tanpa dijelaskan ke klien. Apalagi keputusan ang menyangkut karir diri sendiri. Paham resiko sebelum melangkah itu penting. Diibaratkan orang terjun payung. Sebelum terjun harus paham kalau ada kemungkinan payung tidak terkembang, mendarat jauh dari sasaran, hambatan dari hembusan angin, juga masalah yang bisa muncul diluar perhitungan. lalu, apakah setelah terjun lalu takut bisa kembali lagi ke pesawat? Kalau sudah terlanjur terjun, yah berusalah untuk bisa mendarat hidup-hidup. Entah badan harus babak belur, patah kaki, tercebur ke laut atau apapun. Yang penting hidup saja, dengan begitu kesempatan untuk memperbaiki onderdil tubuh yang rusak dan peta masa depan masih tetap terbuka. Kalau memang tidak berani, jangan sekali-kali nekad terjun lalu menyerah di angkasa.
Kasus lelaki ini... Dia paham segala resiko sebelum terjun, lalu dia terjun. Di tengah-tengah dia merasa tak sanggup sampai bawah. Dia ingin melepaskan beban yang menempel di badan sambil memandang beberapa balon udara yang kira-kira bisa diterjuni untuk sementara. Orang-orang di balon udara kaget, berusaha menolong hingga akhirnya lelaki yang terjun itu bisa bertahan barang sebentar di angkasa. Namun balon udara kelebihan beban, sebuah lubang juga terbuka saat penerjun menimpuk balon. Kondisi mereka tidaklah nyaman. Dengan segala upaya, si penerjun menguhubungi orang-orang dalam pesawat untuk menjemputnya kembali sambil menunggu di balon udara yang masih melayang-layang di angkasa....
Tak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantu. Hanya, saya masih yakin kalau Allah tidak akan memberikan ujian melewati kesanggupan seorang hamba. Hidup tidak selalu menyenangkan. Setiap orang punya masalah masing-masing, maka saya beranggapan bahwa merasa diri ini yang paling menderita adalah ciri orang picik yang sempit pikiran. Seiring bertambahnya umur, ujian tidak bertambah ringan. Semakin banyak bahan pertimbangan. Semoga benar bahwa beratnya ujian adalah tanda meningkatnya kualitas kemanusiaan, bertambahnya tingkat kesanggupan, kemampuan dan kesabaran. Yah, semoga benar. Solusi untuk masalah bukanlah dengan melarikan diri, tapi dihadapi dengan berani. Saya juga percaya selalu ada pertolongan lewat perpanjangan tangan Illahi. Menyerah sebelum mencoba? Hari geneee gitu loh!
ReAD MoRE・・・