"Jangan sampai terjerat wanita Jepang! Kembalilah ke tanah dimana kamu dilahirkan..."
Kalimat di atas diucapkan saat saya memohon doa restu menjelang keberangkatan ke Jepang 5 tahun lalu. Dilontarkan dari mulut seorang wanita yang begitu saya hormati dan sayangi. Usianya 87 waktu itu, namun masih 'awas' dan mumpuni dengan segala nasihat bijaknya. Eyang Gondo, begitu saya memanggilnya. Beliau sudah saya anggap sebagai nenek sendiri sebagai pengakuan dan penghormatan atas kerelaan beliau menjadi wakil nenek kandung dari ayah (adik beliau) yang meninggal saat saya kelas 2 SD.
Saat saya mudik dari Magelang ketika SMA dan pulang kampung saat libur musim panas, saya selalu menyempatkan diri untuk sowan ke rumah beliau di Taman. Terakhir kali saya berjumpa adalah saat beliau berusia 90 tahun, 2 tahun yang lalu. Setiap kali silaturahmi, menjelang pulang tiba-tiba saja saya sudah dibekali berbagai wejangan hidup.
Lalu beberapa hari yang lalu, saya dengar beliau sakit. Bukan sakit karena usia. Tapi karena menahan amarah terhadap seseorang. Dan sungguh saya merasa terharu karena beliau menahan amarah itu untuk orang yang merongrorng keluarga saya. Saya lebih terharu lagi saat mendengar beliau menitikkan air mata untuk saya. Ya, untuk saya. Cucu kemenakannya. Sungguh saya ingin langsung terbang ke Indonesia dan menjenguk beliau saat mendengar berita ini, lalu sungkem takzim dalam pangkuannya sambil meyakinkan bahwa saya baik-baik saja meski beban mengimpit dari sana sini. Tapi sayangnya saya hanya bisa berdoa semoga segera dikarunia kesembuhan...
No comments:
Post a Comment