Tuesday, 12 January 2010

Hari ini, 20 Tahun Lalu.

Memikirkan Januari, batin saja kembali menjejak hari Minggu pagi awal tahun 90-an . Saat itu saya tidak peduli dengan tahun, bahkan sampai sekarang saya tidak ingat kenangan saat saya berumur 3 atau 4 tahun. Sampai akhirnya adik saya lahir. Kenapa? Adik saya terancam tidak lahir dengan normal, sehingga pada hari-H saya yang sedang asyick bermain mobil-mobilan dan penggorengan besi turut dipaksa ikut ke rumah sakit. Yah, mungkin ini adalah kenangan masa kecil saya yang bisa diingat cukup detail.

"Adik kamu mau lahir! Ayo ikut!"

Tangan saya ditarik lalu tiba-tiba saja pakaian bau keringat saya sudah berganti. Ini hari Minggu, hari nonton film kartun di TV hitam putih kami! Saya masih menggerutu di dalam mobil, acuh dengan nenek yang sibuk berdzikir. Pikiran saya masih dipenuhi rasa ingin tahu kelanjutan cerita Nobita.


"laki-laki atau perempuan ya?"
"laki-laki!" saya menjawab tegas.
"Perempuan!" kakak tak mau kalah.
"laki-laki supaya bisa diajak maen perang-perangan!"
"Perempuan, supaya gak bikin rumah kotor!"
"Memangnya laki-laki bikin rumah kotor?"
"Lah, kamu! Lantai baru dipel sudah kamu hiasi dengan jejak-jejak kaki. Dipel lagi, eh, abis main di jalan kamu masuk ke dalam rumah gak pakai cuci kaki. Gak ada abisnya!"
"Tapi khan, aku bantu cuci piring..."
"Iya, tapi sabunnya masih nempel."
"Pokoknya laki-laki, kalau tidak aku panggilkan batman!"
"Gak takut!"
"Aku panggil wonderwoman, superman, superboi, ultraman!!!" saya menyebutkan jagoan-jagoan idola."
"Superman ama superboi khan sama saja. Panggil saja semua!"
Deuh, daftar jagoan saya sudah habis. Kalah deh.
"Sudah-sudah, laki-laki perempuan sama saja!" nenek lah yang akhirnya melerai.

Debat selesai. Saya memandangi tiang listrik dan pepohonan di pinggir jalan. Kok bisa bergerak ke belakang ya?

"Eh, eh, kenapa tiang listiknya bergerak ke belakang?"
"Mana ada?"
"Tuh-tuh, coba saja lihat, bergerak ke belakang khan? Pohon-pohonnya juga kok!"
Kakak tetap tidak menunjukkan kepedulian.
"Tuh coba lihat!" Jari saya menunjuk ke salah satu tiang di pinggir jalan, menunjuk terus saat posisi pohon sejajar hingga sudah bergerak ke belakang.
"Itu tidak bergerak, tapi terlihat seperti bergerak ke belakang karena kita bergerak ke depan." akhirnya dia memberikan jawaban.
"Masak sih? kenapa?"
"Pohon khan gak bisa bergerak!"
"Kenapa?"
"Udah dari sononya!"
"Kenapa udah dari sononya?"
"Kalau udah dari sononya yah udah dari sononya!"

Yey! Saya ingat betul awaban andalan tersebut untuk memutus rantai pertanyaan yang saya ajukan.

Kami sampai juga di Rumah Sakit.
"Ibu dimana?"
"Lantai dua." kata nenek.

Saya segera berlari menuju ke lantai dua. Saya menemukan ayah sedang duduk di tempat istirahat.

"Adiknya laki-laki atau perempuan?" tanya saya dengan tak sabar.
"Perempuan."

Kakak tertawa penuh kemenangan. Sementara saya kehilangan semangat untuk melihat adik baru. Rugi. Sudah dibela-belain tidak melihat Doraemon, eh, adiknya perempuan. Tidak bisa diajak main perang-perangan. Setengah diseret, saya ikut juga melihat sang adik dari balik kaca. Dia telentang dengan mata tertutup rapat. Mukanya masih merah dengan rambut tipis yang basah.

Tak terasa sudah 20 tahun berlalu sejak kejadian itu. Sekarang adik perempuan itu sudah berkepala dua, sudah kuliah, sudah ikut kegiatan ini-itu, sudah tidak cengeng, sudah bisa macam-macam. kalau dulu disuruh-suruh terus sebagai anak paling kecil, sekarang sudah bisa dimintai tolong sebagai rekan.

Selamat Ulang Tahun adik perempuan satu-satunya, semoga makin cinta dengan Allah.

No comments: