01022010 <--- dibaca dari depan atau belakang sama. Hueqeqeq.
Well...
Setelah mendengar cerita seorang senior saya pasca kunjungannya ke Washington DC, ternyata mekin menguatkan kesimpulan bahwa :
1. Orang Jepang jauh lebih ramah.
Tidak pernah terbayangkan kalau saya mengalami kesulitan di tempat umum, stasiun misalnya, lalu petugas yang saya mintai tolong hanya berteriak dari ruangannya sambil memberikan komando. Di Jepang saya terbiasa melihat para petugas tergopoh-gopoh, berusaha memberikan pelayanan yang terbaik. Eh, jangan-jangan saya akan mengalami shock berkelanjutan saat keluar dari Jepang? Ya, itu yang saya alami saat mudik ke Indonesia, atau dalam kunjungan ke negara lain.
2. Subway di Jepang lebih bersih dan nyaman.
Washington DC ternyata sebuah kota tua tanpa banyak bangunan tinggi. Luasnya hanya setengah dati Nagoya. Kecil, dunk. Di sana tak ada kereta, hanya ada subway yang dikisahkan bernuansa seram dan gelap (glek).
Pengalaman seorang sahabat baik saya setelah kunjungannya ke Austria juga menyatakan keterkejutannya. Disangka negara-negara eropa memiliki peradaban lebih tinggi, sehingga yang akan dijumpai adalah kota-kota yang bersih dan masyarakat dengan akhlak yang baik. Hmm, ternyata tidak juga.
Pada sisi lain, jumlah muslim di Jepang semakin banyak. Teman satu angkatan saya yang jadi mualaf tahun lalu bercerita tentang cita-cita menempelkan label halal dalam produk-produk di Jepang. Kalau proyek ini terwujud, subhanallah, hidup di Jepang akan semakin lebih mudah.
Kesimpulan saya : Setelah tinggal di Jepang dimana semuanya terasa baik, indah, praktis dan mudah, akan membuat rawan culture-shock saat mengunjungi negeri lain. Jadi, sebelum shock yang ditimbulkan makin parah, segera tinggalkan Jepang. Atau, berusaha agar tidak keluar Jepang sekalian. Huehuehue
Well...
Setelah mendengar cerita seorang senior saya pasca kunjungannya ke Washington DC, ternyata mekin menguatkan kesimpulan bahwa :
1. Orang Jepang jauh lebih ramah.
Tidak pernah terbayangkan kalau saya mengalami kesulitan di tempat umum, stasiun misalnya, lalu petugas yang saya mintai tolong hanya berteriak dari ruangannya sambil memberikan komando. Di Jepang saya terbiasa melihat para petugas tergopoh-gopoh, berusaha memberikan pelayanan yang terbaik. Eh, jangan-jangan saya akan mengalami shock berkelanjutan saat keluar dari Jepang? Ya, itu yang saya alami saat mudik ke Indonesia, atau dalam kunjungan ke negara lain.
2. Subway di Jepang lebih bersih dan nyaman.
Washington DC ternyata sebuah kota tua tanpa banyak bangunan tinggi. Luasnya hanya setengah dati Nagoya. Kecil, dunk. Di sana tak ada kereta, hanya ada subway yang dikisahkan bernuansa seram dan gelap (glek).
Pengalaman seorang sahabat baik saya setelah kunjungannya ke Austria juga menyatakan keterkejutannya. Disangka negara-negara eropa memiliki peradaban lebih tinggi, sehingga yang akan dijumpai adalah kota-kota yang bersih dan masyarakat dengan akhlak yang baik. Hmm, ternyata tidak juga.
Pada sisi lain, jumlah muslim di Jepang semakin banyak. Teman satu angkatan saya yang jadi mualaf tahun lalu bercerita tentang cita-cita menempelkan label halal dalam produk-produk di Jepang. Kalau proyek ini terwujud, subhanallah, hidup di Jepang akan semakin lebih mudah.
Kesimpulan saya : Setelah tinggal di Jepang dimana semuanya terasa baik, indah, praktis dan mudah, akan membuat rawan culture-shock saat mengunjungi negeri lain. Jadi, sebelum shock yang ditimbulkan makin parah, segera tinggalkan Jepang. Atau, berusaha agar tidak keluar Jepang sekalian. Huehuehue
No comments:
Post a Comment