Ya, Betul. Tulisan kali ini masih seputar ekonomi dan keluarga.
Ekonomi tak bisa lepas dari uang dan harta, sementara keluarga terdiri diri dari para ahli waris yang paling prioritas mendapatkan hak atas titipan-titipan Allah yang dikumpulkan dan dimanfaatkan selama hidup. Hasil perenenungan sayadi gua sampai pada kesimpulan bahwa perencanaan keuangan keluarga dimulai dari jelas dan halalnya harta yang terkumpul.
Darimana awalnya? Tentu saja pernikahan. Masing-masing calon mempelai bisa jadi sudah punya 'harta bawaan' sebelum menikah dan statusnya harus jelas. Aseli deh, jadi suami itu tidak mudah. Dia harus paham pengaturan harta, mendesain visi-misi sesuai syariah, hingga sehari-hari mencari nafkah
Ekonomi tak bisa lepas dari uang dan harta, sementara keluarga terdiri diri dari para ahli waris yang paling prioritas mendapatkan hak atas titipan-titipan Allah yang dikumpulkan dan dimanfaatkan selama hidup. Hasil perenenungan saya
Darimana awalnya? Tentu saja pernikahan. Masing-masing calon mempelai bisa jadi sudah punya 'harta bawaan' sebelum menikah dan statusnya harus jelas. Aseli deh, jadi suami itu tidak mudah. Dia harus paham pengaturan harta, mendesain visi-misi sesuai syariah, hingga sehari-hari mencari nafkah
Harta istri adalah sepenuhnya hak istri, sementara dalam harta suami ada hak istri dikarenakan seorang suami wajib menafkahi istrinya. Hal ini akan menjadi rumit seiring dengan berjalannya waktu, aset bertambah dan bagaimana status kepemilikan harta itu? Milik bersama?
Kalau istri tidak berpenghasilan sendiri apakah semua harta itu jadi 100% menjadi harta suami? Begitu akad nikah terucap dan status pernikahan sah, sepasang suami istri akan saling mewarisi, jadi perlu dibuat jelas status aset yang dimiliki. Salah satunya dengan membuat kesepakatan awal antara suami istri.
Kasusnya akan sangat bervariasi. Misalkan ada suami yang membangun rumah di atas tanah warisan yang menjadi hak istri, Apakah rumah (dan tanah) itu menjadi milik bersama (50:50)? Kalau melihat budaya di Arab, saat seorang pria melamar seseorang, maka dia harus menyediakan rumah dan isinya plus kendaraan, sebagai mahar. Jadi rumah seisinya dan kendaraan itu 100% menjadi milik istri. Alhamdulillah budaya di Indonesia tidak sebegitunya banget. :-P
Sebelum jauh kemana-mana, saya akan fokus ke kasus saya sendiri. Sebut saja Resolusi 2016 : Peta Harta Keluarga! -- Terdengar keren dan berbau petualangan--
Dalam penyusunan peta ini hal pertama adalah memperjelas status harta.
1. Harta bawaan masing-masing sebelum akad nikah.
Untuk harta bawaan, statusnya jelas. Istri saya sudah punya laptop, perhiasan, buku-buku, handphone dsb sebelelum menikah. Barang-barang itu 100% miliknya. Demikian pula, sebelum menikah saya sudah punya harta bawaan sendiri. Setelah menikah ada kalanya barang-barang tersebut dipakai secara bersama, namun kepemilikannya kembali kepada masing-masing. Bila harta tersebut ingin dihibahkan, dihadiahkan, dipinjam atau dijual, harus dengan ijin dan keridhoan si pemilik. Suami tidak bisa seenaknya jual tanah warisan istri,misalnya, karena itu bukanlah hak miliknya.
2. Harta perolehan selama menikah.
Dalam hal ini istri tidak berpenghasilan/bekerja sehingga harta ini diperoleh dari suami yang bekerja. Solusinya adalah kesepakatan antara suami-istri. Misalkan untuk rumah 60:40, perabotan dan alat elektronik 50:50 dst. Biarpun istri tidak berpenghasilan sendiri, tetap ada peran yang harus dinilai : mengurus keluarga (suami dan anak-anak) dan mengelola keuangan keluarga adalah peran besar yang pantas digaji (oleh suami! hehe). Jadi seorang suami harus ridho bahwa harta perolehan hasil dia bekerja ada hak istri juga di dalamnya. Bicara soal persentase, besarnya dikembalikan ke masing-masing pasangan.
3. Harta Bersama.
Ada kontribusi istri secara materi dalam perolehan harta ini. Misalkan kasus rumah di atas tanah warisan di atas, atau istri turut menyumbang harta dari penghasilannya sendiri dalam membeli aset (rumah, kendaraan, perabotan). Hak istri dan jatah suami harus jelas sesuai kontribusi masing-masing. Dalam kasus si suami meninggal terlebih dahulu, maka istri akan mendapatkan haknya (dari harta bersama) ditambah dengan hak atas nafkah (harta perolehan) lalu ditambah lagi dengan hak waris (1/8 atau 1/4 total harta waris). Tuh, enak khan jadi istri dalam sistem/aturan islam? :-)
Bila sudah jelas status harta dalam pernikahan, maka hal berikutnya adalah memastikan kehalalannya. Termasuk mengeluarkan zakat, alokasi investasi dan pemanfaatan harta tersebut.Suami harus paham soal prinsip ekonomi ( termasuk tentang sektor riil, pasar uang, pasar modal, hehe) supaya bisa mengarahkan kebijakan ekonomi keluarga. Kesepakatan suami istri itu perlu ditulis juga agar bisa menjadi acuan di masa depan.
Satu hal yang perlu dicatat, harta yang ditinggalkan seseorang itu masih bruto, belum menjadi harta warisan sebelum dikurangi biaya pengurusan jenazah (termasuk sewa makam), pelunasan utang dan zakat terutang, wasiat (berlaku buat non ahli waris, max 33% setelah dikurangi biaya dan hutang) dan pajak warisan (10%!!). Setelah 'dibersihkan' oleh keempat hal tersebut harta peninggalan itu baru disebut harta warisan yang pembagian jatah masing-masing ahli waris sudah diatur dengan sangat jelas dalam Al Quran.
Sejenak kembali ke awal, memetakan harta yang sudah ada agar bisa melangkah lebih ringan dalam membuat peta perencanaan untuk masa depan. Bagaimanapun seseorang akan mewariskan harta bendanya yang perlu dikelola agar tidak menjadi pemicu konflik. Semoga amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholih-sholihah bisa menjadi tabungan kami yang sesungguhnya adalah harta yang sejati.
Kalau istri tidak berpenghasilan sendiri apakah semua harta itu jadi 100% menjadi harta suami? Begitu akad nikah terucap dan status pernikahan sah, sepasang suami istri akan saling mewarisi, jadi perlu dibuat jelas status aset yang dimiliki. Salah satunya dengan membuat kesepakatan awal antara suami istri.
Kasusnya akan sangat bervariasi. Misalkan ada suami yang membangun rumah di atas tanah warisan yang menjadi hak istri, Apakah rumah (dan tanah) itu menjadi milik bersama (50:50)? Kalau melihat budaya di Arab, saat seorang pria melamar seseorang, maka dia harus menyediakan rumah dan isinya plus kendaraan, sebagai mahar. Jadi rumah seisinya dan kendaraan itu 100% menjadi milik istri. Alhamdulillah budaya di Indonesia tidak sebegitunya banget. :-P
Sebelum jauh kemana-mana, saya akan fokus ke kasus saya sendiri. Sebut saja Resolusi 2016 : Peta Harta Keluarga! -- Terdengar keren dan berbau petualangan--
Dalam penyusunan peta ini hal pertama adalah memperjelas status harta.
1. Harta bawaan masing-masing sebelum akad nikah.
Untuk harta bawaan, statusnya jelas. Istri saya sudah punya laptop, perhiasan, buku-buku, handphone dsb sebelelum menikah. Barang-barang itu 100% miliknya. Demikian pula, sebelum menikah saya sudah punya harta bawaan sendiri. Setelah menikah ada kalanya barang-barang tersebut dipakai secara bersama, namun kepemilikannya kembali kepada masing-masing. Bila harta tersebut ingin dihibahkan, dihadiahkan, dipinjam atau dijual, harus dengan ijin dan keridhoan si pemilik. Suami tidak bisa seenaknya jual tanah warisan istri,misalnya, karena itu bukanlah hak miliknya.
2. Harta perolehan selama menikah.
Dalam hal ini istri tidak berpenghasilan/bekerja sehingga harta ini diperoleh dari suami yang bekerja. Solusinya adalah kesepakatan antara suami-istri. Misalkan untuk rumah 60:40, perabotan dan alat elektronik 50:50 dst. Biarpun istri tidak berpenghasilan sendiri, tetap ada peran yang harus dinilai : mengurus keluarga (suami dan anak-anak) dan mengelola keuangan keluarga adalah peran besar yang pantas digaji (oleh suami! hehe). Jadi seorang suami harus ridho bahwa harta perolehan hasil dia bekerja ada hak istri juga di dalamnya. Bicara soal persentase, besarnya dikembalikan ke masing-masing pasangan.
3. Harta Bersama.
Ada kontribusi istri secara materi dalam perolehan harta ini. Misalkan kasus rumah di atas tanah warisan di atas, atau istri turut menyumbang harta dari penghasilannya sendiri dalam membeli aset (rumah, kendaraan, perabotan). Hak istri dan jatah suami harus jelas sesuai kontribusi masing-masing. Dalam kasus si suami meninggal terlebih dahulu, maka istri akan mendapatkan haknya (dari harta bersama) ditambah dengan hak atas nafkah (harta perolehan) lalu ditambah lagi dengan hak waris (1/8 atau 1/4 total harta waris). Tuh, enak khan jadi istri dalam sistem/aturan islam? :-)
***
Bila sudah jelas status harta dalam pernikahan, maka hal berikutnya adalah memastikan kehalalannya. Termasuk mengeluarkan zakat, alokasi investasi dan pemanfaatan harta tersebut.Suami harus paham soal prinsip ekonomi ( termasuk tentang sektor riil, pasar uang, pasar modal, hehe) supaya bisa mengarahkan kebijakan ekonomi keluarga. Kesepakatan suami istri itu perlu ditulis juga agar bisa menjadi acuan di masa depan.
Satu hal yang perlu dicatat, harta yang ditinggalkan seseorang itu masih bruto, belum menjadi harta warisan sebelum dikurangi biaya pengurusan jenazah (termasuk sewa makam), pelunasan utang dan zakat terutang, wasiat (berlaku buat non ahli waris, max 33% setelah dikurangi biaya dan hutang) dan pajak warisan (10%!!). Setelah 'dibersihkan' oleh keempat hal tersebut harta peninggalan itu baru disebut harta warisan yang pembagian jatah masing-masing ahli waris sudah diatur dengan sangat jelas dalam Al Quran.
Sejenak kembali ke awal, memetakan harta yang sudah ada agar bisa melangkah lebih ringan dalam membuat peta perencanaan untuk masa depan. Bagaimanapun seseorang akan mewariskan harta bendanya yang perlu dikelola agar tidak menjadi pemicu konflik. Semoga amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholih-sholihah bisa menjadi tabungan kami yang sesungguhnya adalah harta yang sejati.
No comments:
Post a Comment