Sunday, 15 September 2019

Kejutan E1 di awal kelas 1 SD

Sebelum diterima di sekolah umum Amerika, anak-anak yang berasal bukan dari negara berbahasa Inggris akan diuji terlebih dahulu kemampuan bahasa Inggrisnya untuk memastikan apakah anak tesrebut akan bisa mengikuti kelas reguler ataukah perlu masuk kelas khusus English as second language. E1 tahun lalu sudah masuk usia wajib belajar (TK) dan alhamdulillah hasil tesnya dia boleh masuk kelas reguler, jadi tidak terlalu ribet untuk mengikuti kelas khusus di lain lokasi. Tapi baru setahun kemudian, bulan Augustus tahun ini tepatnya saya baru ngeh bahwa skor Eyra bahkan tidak masuk kategori level 1 di ELPAC (English Language proficiency for California). Jadi sebenarnya E1 cukup berjuang keras selama satu tahun kemaren kalau saya hanya melihat skor hasil tes tersebut. Bersamaan dengan "ngeh"nya saya tentang fakta tahun lalu, kami mendapat kejutan besar. Kejutan yang baik.
ELPAC SCORE. E1 tidak mencapai skor minimum level 1 saat assesment masuk TK

Selama setaun pertama E1 di TK saya tidak terlalu memperhatikan hasil tes di sekolah, biasanya yang saya tanyakan saat si anak pulang sekolah adalah apakah di senang hari itu, dia bermain apa saja, hal berkesan apa yang dia pelajari di sekolah. PR juga saya bahas kalau ingat saja, karena tidak wajib dikumpulkan. 

Saya agak pekewuh saat memasuki ruangan untuk pertemuan guru dan wali murid di awal tahun ajaran 2019/2020. Wali kelas E1 mengucapkan selamat berkali-kali saat kami membahas hasil assessment kemampuan E1 sebulan pertama di kelas 1, tentu saja karena saya tidak "ngeh" bahwa assesement dilakukan tiap awal tahun ajaran juga karena saya tidak terlalu paham soal level-level yang ada dalam assessment tersebut. 

“Biasanya kami mengharapkan saat di awal kelas 1, anak-anak berada pada level 1 atau 2”, kata wali kelasnya sambil membuka hasil assessment. 
“Putri anda sudah di level 7. Selamat! Anda harus bangga”, lanjutnya.
 “Maksudnya, ada berapa level standarnya?" saya penasaran.
“Di school district ini, level 7 adalah level tertinggi, diharapkan para siswa mencapai level ini saat mereka mau naik kelas 2."

"Oh, jadi anak saya hasilnya bagus, ya?"
"Sangat bagus! Jadi, yang bisa kami lakukan adalah memberikan materi dan tugas yang lebih menantang agar dia tidak bosan, dan memasukkannya dalam kelompak anak yang kemampuannya hampir sama di kelas.” 
“Syukurlah, saya pikir E1 mau dinaikkan langsung ke kelas 2. Saya khawatir…, " Masih tidak menyangka , pikiran saya melompat bahwa E1 akan dilompatkan langsung ke kelas 2 dari TK.

“Itu bisa saja, tapi prosesnya akan lebih rumit. Saat ini kami rasa E1 cukup nyaman dengan opsi materi yang lebih menantang di kelas 1” jelas bu wali kelas sambil melihat ke mata saya. 

“Nampaknya itu opsi yang baik. Secara fisik E1 kadang lebih kecil dibanding anak TK di sini… jadi, ya, saya sedikit kepikiran hal-hal di luar kemampuan akademis.” 
Ibu wali kelas tersenyum,

 “Kita Bisa lanjut?” 

Saya mengangguk. 

“Ini hasil karyanya saat kami meminta dia menggambar dan menjelaskan apa yang dia gambar. Ini sangat hebat. Kami hanya mengharapkan siswa menuliskan satu atau dua kalimat yang menjelaskan gambar. E1 menulis 2 halaman,” wali kelas E1 menunjukkan gambar lalu membolak-balik kertas assessment yang dipenuhi tulisan E1. 

“Memang masih ada pemakaian huruf besar dan tanda baca yang belum sempurna, tapi menulis kalimat sebanyak ini untuk anak yang baru masuk kelas 1 itu sangat luar biasa. Selamat!” 

Saya tidak tahu hendak berkomentar apa. Masih kaget karena saya hanya menyangka bahwa pertemuan wali murid dengan wali kelas akan membahas rencana belajar di sekolah dan apakah ada kesulitan, atau hal khusus yang perlu diperhatikan dalam perkembangan siswa, akhlak dan tabiat siswa, dsb. Saya tidak pernah menyangka sudah ada hasil assessment awal yang menjadi acuan bahan ajar selama satu tahun. 

 “Sebenarnya saya agak khawatir bagaimana E1 kalau di kelas, apakah dia bisa bersosialisasi dengan baik, apakah dia bisa berkomunikasi dan mengutarakan pendapatnya…” 
“Sama sekali tidak ada masalah. E1 memang tidak selalu angkat tangan di kelas, tapi dia angkat tangan saat dia merasa nyaman untuk menjawab pertanyaan atau mengatakan pendapat.” 

“Syukurlah. Setahun yang lalu dia termasuk novice English learner, di rumah kami biasakan untuk berbicara dalam bahasa Indonesia. Sekilas saya amati kalau E1 sangat-sangat pendiam di kelas, saya tidak yakin apakah itu karena karakternya pendiam atau karena dia bingung berekspresi dalam Bahasa Inggris, atau dua-duanya…” 

“Oh, ya? Itu sangat mengejutkan. Saya pikir E1 sudah fasih berbahasa Inggris sejak sebelum masuk TK. Saya tidak melihat ada masalah saka sekali dalam komunikasi. Saya pikir anda harus benar-benar bangga dengan E1. Dia sangat memudahkan pekerjaan kami selama setahun ke depan.” 

Kami lanjut membahas hasil assessment untuk matematika, hasilnya pun tidak jelek. Kami menghabiskan waktu selama kurang lebih 30 menit membahas soal E1 dan ada sesuatu yang menyentak pikiran saya setelahnya.

Saya berpamitan namun masih masih tak habis pikir kalau E1 ternyata punya kemampuan yang lebih dibandingkan anak seusianya dalam hal akademis. Soal kemampuan bahasanya, saat hendak mau masuk TK, secara keseluruhan skor E1 adalah 361/Level 0 /novice English Learner, Bahasa gamblangnya : Very Poor English Learner. Saat lulus Tk di bulan Juni, alhamdulillah sudah naik ke level 3 dengan score 1441. Etapi, itu tidak menjelaskan hasil assement tadi. per hari itu E1  harusnya sudah masuk level 4 ELPAC. Jadi, kesimpulan saya adi lompatan kemampuan berbahasanya dari level 3 ke 4 banyak terjadi  setelah lulus TK, di antara bulan Juni-Agustus. Apa faktor pendukungnya?


Berawal dari posting sebelumnya, kami "menyimpan" TV dan kami baik-baik saja. Setelah dipikir-pikir, waktu yang terpakai untuk  duduk pasif di depan TV kami manfaatkan untuk kegiatan lain : membaca, bermain dan menanamkan lagi nilai-nilai islam mumpung masih dalam nuansa Ramadan dan hari raya. Tiap minggu kami ke perpustakaan dan E1 boleh meminjam buku dengan tema apapun yang dia mau. Boleh dibilang dalam satu hari E1 bisa memabca buku setidaknya 2 jam. Bila dia suka dengan salah satu buku, dia akan membacanya berulang-ulang bahkan minta diperpanjang saat masa 3 minggu berakhir.

Menariknya, saya (atau kami?) belum secara khusus mengajarkan hitungan, atau "memaksa" rutinitas ibadah karena takut kalau anaknya terpaksa malah ada efek samping saat dia dewasa., namun ternyata E1 cukup bagus kemampuan hitungannya, saat masbuk (karena masih main-main) dan imam sudah salam, E1 menambah rakaat yang tertinggal. Rasanya ada sesuai yang hangat mengalir di dada....

Saya tersadar bahwa meskipun saya bertemu anak-anak setiap hari ternyata ada hal-hal yang mereka serap, mereka pelajari , kuasai, tanpa pernah sengaja di ajarkan. Teringat kata-kata ibu mertua kalau sebagai orang tua harus ekstra hati-hati jika punya anak yang "pintar". Ada keterbatasan dalam menilai anak sendiri dan ada yang luput dari radar meski tekun diamati. Anak-anak akan menyerap kebiasaan dan nilai dari lingkungan lalu berbagai pertanyaan akan terlontar saat mereka merasa ada yang berbeda. PR dalam mendidik nampaknya akan terus bertambah....

Selama ini belum fokus soal kemampuan akademis anak-anak dan lebih banyak terbebani dengan tumbuh kembang mereka, eh, setelah kejadian ini mulai terpikir soal perkembangan akademis E1. Tapi sebaliknya, sebab nampaknya kami tidak harus terlampau khawatir dengan E1 di sekolah, kami bisa lebih fokus lagi membangun memori, kebiasaan dan pola pikirnya, memperbaiki (kalau bisa) kenangan bawah sadarnya sebelum sisi logikanya melesat...

No comments: