Saturday, 26 September 2020

Pendidikan Dalam Rumah

Sudah sering dengar "It takes a village to raise a child" tapi ada sambungannya yang jarang ikut tersebut: "It takes a lot of solid, stable marriage to create a village". Yes, betul, karena keluarga menjadi unit organisasi terkecil yang menyusun masyarakat.

Selama masa pandemi, urusan pendidikan/sekolah anak juga tidak bisa berlangsung seperti biasa. Terpusat di dalam rumah, peran orang tua, suami istri, terasa lebih penting agar keseimbangan sehari-hari tetap terjaga. Bila anak usia sekolah yang masih belum mentas dari jenjang SD tidak hanya seorang, kerempongan akan berlipat untuk urusan sekolah dari rumah. Terbersit ide untuk opsi homeschool,lalu referensi terkait pendidikan, kurikulum, konsep, peluang kembali ke sekolah formal dll mulai dikunyah pelan-pelan. Kadang terlalu pelan hingga setelah 6 bulan masih belum ada outputnya.

Mana yang cocok? Kuttab, Montesori, Waldorf, Mason, Malaguzzi, un-schooling, world scholer atau kurikulum lain? 

Sebelum pandemi, saya sempat bertamu ke rumah keluarga yang cukup sukses dengan homeschooling. Anak pertama baru lulus S1 dan diterima kerja di FB. Anak kedua mendapat beasiswa di Stanford dan sedang pertukaran mahasiswa ke Jepang. Anak ke-3 dan 4 masih usia SMP/SD dan ketika saya datang mereka sedang ikut kelas programming gratis yang diadakan di community center. Itu salah satu parameter akademis yang tercapai, sementara parameter adabnya masih sangat menjunjung sopan santun budaya timur, memiliki pemahaman agama yang baik meskipun tinggal dan besar di Amerika.

Ada pula cerita tentang keluarga yang untuk ukuran jaman ini sudah tidak umum karena memiliki 13 anak dan semuanya sekolah rumah hingga usia lulus SMA. Anak pertama lulus S2 pada usia 21 tahun!

Tanpa menjelaskan detail metode/kurikulum homeschool yang mereka terapkan, berikut tips yang mereka bagi untuk memulai hari : 

1. Perbarui niat dan siapkan stok sabar sebanyak mungkin. 
2. Biasakan anak-anak dekat dengan kisah orang-orang sholeh. 
>3. Berdoa sepanjang hari, utamanya buat anak-anak, lalu buat diri sendiri supaya tetap waras. 
4. Percaya diri dengan metode mendidik anak yang sudah dipilih, hasil tidak selalu instan. 


Rezeki tingkat paling rendah adalah harta, sedangkan yang paling tinggi adalah kesehatan dan keselamatan dunia-akhirat. Jadi, generasi yang shalih adalah rezeki yg utama. Sedangkan pasangan yang shalih adalah rezeki yang sempurna. 

Saat membaca seputar Kampung Mafta di Langkat, SumUt, rasanya itu jadi wujud desa/komunitas yang tumbuh bersama mendidik anak-anak dalam lingkungan yang cukup ideal, tidak terjebak oleh social comparison yang biasa terjadi di kota. Keluarga yang hijrah ke sana punya visi yang sama tentang bagaimana menjalani hidup, bukan broken home, sehingga memperkuat konsep " a village to raise a child".


BEKAL-BEKAL PENDIDIKAN YANG BAIK 
"Perjalanan kita jauh, tidak penting sampai dimana jarak yang ditempuh, yang utama kita masih di jalur-Nya. Jalan ke surga itu terjal dan menanjak. Maka perlu kesungguhan, istiqamah dan waspada di setiap langkah dengan memohon pertolongan kepada Allah Azza wa jalla. Kita perlu cahaya dari Allah Ta’ala untuk menentukan jalan yang benar dan lurus dengan menuntut ilmu syar’i terus menerus. Bila ada masalah besar, angin besar yang menerjang, maka cahaya/lentera iman kita akan meredup hingga kadang mati. Maka perlu ada kesiapan korek api untuk menyalakan lagi cahaya yang padam tersebut..." 

WASIAT YANG PERTAMA: Jika engkau mendapatkan hasrat, keinginan tertentu pada anakmu dan tujuan masa depan yang jelas, maka bersemangatlah untuk mengembangkannya, menjaganya dan membangunnya. 

WASIAT YANG KE-DUA: kepedulian orang tua pada anak-anak dalam hal berkonsultasi dengan mereka dan mengambil pendapat mereka akan meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan untuk berpikir. 

WASIAT YANG KE-TIGA: Bercanda dengan anak-anak haruslah dibatasi dan dikontrol dengan ketat, agar tidak mengalahkan dan menyebabkan terlalu jauh (berlebihan) yang melalaikan.

WASIAT YANG KE-EMPAT: Memberikan anak-anak sebagian tanggung jawab yang mudah adalah kesempatan untuk membiasakan mereka merasakan tanggung jawab saat besar nanti, dan memberi tahu mereka betapa pentingnya mereka. 

WASIAT YANG KE-LIMA: Setiap kesalahan yang dikeluarkan oleh anak-anak memiliki tingkat dan metode hukuman yang sesuai, jadi jangan membesar-besarkan, dan tempatkanlah hukuman yang tepat untuk kesalahan yang sesuai. 

>WASIAT YANG KE-ENAM: Menyendiri dengan anak-anak untuk memberikan arahan dan nasihat, dalam sesi khusus, adalah metode pendidikan yang penting untuk perbaikan dan perubahan. 

WASIAT YANG KE-TUJUH: Jangan terlalu sering memberikan nasehat setiap saat, karena yang demikian akan mewarisi kebosanan dan penolakan anak-anak, terutama di masa remaja. 

WASIAT YANG KE-DELAPAN: Masa remaja adalah tahapan yang penting dan serius, yang membutuhkan lebih banyak perhatian dan kesabaran, bimbingan dan pendidikan dalam aspek-aspek perubahan.

WASIAT YANG KE-SEMBILAN: Waspadalah terhadap munculnya perselisihan antara orang tua di depan anak-anak; karena yang demikian itu akan mewariskan kepada mereka pemikiran yang bermacam-macam pada perbedaan. 

WASIAT YANG KE-SEPULUH: Jauhilah membandingkan anak dengan orang lain, terutama teman-teman mereka dan kerabat, jadi jangan katakan: sepupumu lebih pintar daripada kamu, karena yag demikian itu akan berdampak negatif padanya. 

[Haqoib at-Tarbiyah al-Hasanah, karya: Syaikh Shalih Abdul karim hal. 10-11]
}); });


ReAD MoRE・・・

Saturday, 28 March 2020

Investasi di Tengah Ancaman Resesi

Tahun lalu, alhamdulillah kami berkesempatan untuk belajar investasi dalam dunia saham. Tentu saja saya belum ahli dalam analisa finance, sehingga untuk investor pemula seperti saya, diversifikasi portofolio sangat penting untuk menimimalisir resiko. Investasi ini untuk 15-20 tahun, sehingga kami tidak perlu khawatir dengan gonjang-ganjing dunia saham.Pilihannya tentu saja perusahaan yang cukup matang/stabil dan membagi dividen secara berkala. Alih-alih memilih perusahaan yang akan berkembang untuk dijual lagi (harus analisa pasar secara aktif), kami memilih menjadi investor 'pasif' dan fokus kepada dividen dibanding kenaikan harga saham. Faktanya, di tengah harga saham yang anjlok, kami tetap mendapatkan dividen selama bulan Feb dan Maret 2020. 


Ada yang berpendapat bawa saat harga saham turun, adalah saatnya membeli sebanyak mungkin. Hal ini berlaku bila kita sudah punya emergency fund (1 tahun biaya hidup) yang cukup sehingga memang ada 'cash' yang bisa dialokasikan untuk menambah portofolio. Kami tetap dalam jalur, membeli saham secara berkala sehingga dalam satu tahun kami memperoleh biaya rerata saat harganya rendah maupun tinggi. 

Hehe, kondisi dunia sedang carut marut dengan adanya Covid19, termasuk ekonomi dan supply chain makanan maupun industri sehingga memiliki uang tunai saat kondisi buruk menjadi pilihan lebih prioritas. Investasi selain dunia saham, juga nampaknya perlu merambah 'insourcing' : pemanfaatan dan pengembangan sumber daya yang sudah dimiliki. Punya sedikit lahan di rumah? Bikin kebun sayur kecil-kecilan. Saat ada stok sayuran, coba bikin asinan yang daya simpannya lebih lama. Surplus tepung, butter dan telur? Coba bikin kue kering. Punya waktu lebih karena tidak harus kerja ke kantor : baca buku, olahraga indoor, bikin dan kejar target jelang Ramadhan. 

Saat terjadi gempa dan tsunami di Jepang tahun 2011 lalu ada himbauan yang masih saya ingat sampai sekarang :

Kakek nenek, inilah saatnya memeras pengalaman hidup untuk menabur nasihat yang baik. Anak-anak, inilah saat untuk menjadi lebih 'matang' dan belajar membantu orang dewasa sesuai kemampuan. Ayah, ibu dan para pemuda , kalianlah tulang punggung masyarakat di lingkungan. Gunakan tenaga muda kalian untuk bermanfaat sebanyak-banyaknya. 

Setiap orang berusaha menjadi dirinya yang terbaik saat situasi sulit,  mengesampingkan hedonism, pleasure, ambisi, kekayaan dan stimulasi pribadi. Dijelaskan dalam Schartz Circumplex : value yang berseberangan akan sulit dijalankan bersamaan. Dalam kondisi tidak biasa, self-transcedence jauh lebih penting dibanding self-enhancement, dan saya rasa masyarakat Jepang lebih terkondisikan untuk kompromi dan menjaga tradisi. Penanaman value ini penting buat anak-anak, sehingga mereka bisa berkontribusi dalam masyarakat kelak, termasuk dalam mengambil keputusan hidup, pemakaian waktu, uang dan pilihan investasi.


ReAD MoRE・・・

Sunday, 15 September 2019

Kejutan E1 di awal kelas 1 SD

Sebelum diterima di sekolah umum Amerika, anak-anak yang berasal bukan dari negara berbahasa Inggris akan diuji terlebih dahulu kemampuan bahasa Inggrisnya untuk memastikan apakah anak tesrebut akan bisa mengikuti kelas reguler ataukah perlu masuk kelas khusus English as second language. E1 tahun lalu sudah masuk usia wajib belajar (TK) dan alhamdulillah hasil tesnya dia boleh masuk kelas reguler, jadi tidak terlalu ribet untuk mengikuti kelas khusus di lain lokasi. Tapi baru setahun kemudian, bulan Augustus tahun ini tepatnya saya baru ngeh bahwa skor Eyra bahkan tidak masuk kategori level 1 di ELPAC (English Language proficiency for California). Jadi sebenarnya E1 cukup berjuang keras selama satu tahun kemaren kalau saya hanya melihat skor hasil tes tersebut. Bersamaan dengan "ngeh"nya saya tentang fakta tahun lalu, kami mendapat kejutan besar. Kejutan yang baik.
ELPAC SCORE. E1 tidak mencapai skor minimum level 1 saat assesment masuk TK

Selama setaun pertama E1 di TK saya tidak terlalu memperhatikan hasil tes di sekolah, biasanya yang saya tanyakan saat si anak pulang sekolah adalah apakah di senang hari itu, dia bermain apa saja, hal berkesan apa yang dia pelajari di sekolah. PR juga saya bahas kalau ingat saja, karena tidak wajib dikumpulkan. 

Saya agak pekewuh saat memasuki ruangan untuk pertemuan guru dan wali murid di awal tahun ajaran 2019/2020. Wali kelas E1 mengucapkan selamat berkali-kali saat kami membahas hasil assessment kemampuan E1 sebulan pertama di kelas 1, tentu saja karena saya tidak "ngeh" bahwa assesement dilakukan tiap awal tahun ajaran juga karena saya tidak terlalu paham soal level-level yang ada dalam assessment tersebut. 

“Biasanya kami mengharapkan saat di awal kelas 1, anak-anak berada pada level 1 atau 2”, kata wali kelasnya sambil membuka hasil assessment. 
“Putri anda sudah di level 7. Selamat! Anda harus bangga”, lanjutnya.
 “Maksudnya, ada berapa level standarnya?" saya penasaran.
“Di school district ini, level 7 adalah level tertinggi, diharapkan para siswa mencapai level ini saat mereka mau naik kelas 2."

"Oh, jadi anak saya hasilnya bagus, ya?"
"Sangat bagus! Jadi, yang bisa kami lakukan adalah memberikan materi dan tugas yang lebih menantang agar dia tidak bosan, dan memasukkannya dalam kelompak anak yang kemampuannya hampir sama di kelas.” 
“Syukurlah, saya pikir E1 mau dinaikkan langsung ke kelas 2. Saya khawatir…, " Masih tidak menyangka , pikiran saya melompat bahwa E1 akan dilompatkan langsung ke kelas 2 dari TK.

“Itu bisa saja, tapi prosesnya akan lebih rumit. Saat ini kami rasa E1 cukup nyaman dengan opsi materi yang lebih menantang di kelas 1” jelas bu wali kelas sambil melihat ke mata saya. 

“Nampaknya itu opsi yang baik. Secara fisik E1 kadang lebih kecil dibanding anak TK di sini… jadi, ya, saya sedikit kepikiran hal-hal di luar kemampuan akademis.” 
Ibu wali kelas tersenyum,

 “Kita Bisa lanjut?” 

Saya mengangguk. 

“Ini hasil karyanya saat kami meminta dia menggambar dan menjelaskan apa yang dia gambar. Ini sangat hebat. Kami hanya mengharapkan siswa menuliskan satu atau dua kalimat yang menjelaskan gambar. E1 menulis 2 halaman,” wali kelas E1 menunjukkan gambar lalu membolak-balik kertas assessment yang dipenuhi tulisan E1. 

“Memang masih ada pemakaian huruf besar dan tanda baca yang belum sempurna, tapi menulis kalimat sebanyak ini untuk anak yang baru masuk kelas 1 itu sangat luar biasa. Selamat!” 

Saya tidak tahu hendak berkomentar apa. Masih kaget karena saya hanya menyangka bahwa pertemuan wali murid dengan wali kelas akan membahas rencana belajar di sekolah dan apakah ada kesulitan, atau hal khusus yang perlu diperhatikan dalam perkembangan siswa, akhlak dan tabiat siswa, dsb. Saya tidak pernah menyangka sudah ada hasil assessment awal yang menjadi acuan bahan ajar selama satu tahun. 

 “Sebenarnya saya agak khawatir bagaimana E1 kalau di kelas, apakah dia bisa bersosialisasi dengan baik, apakah dia bisa berkomunikasi dan mengutarakan pendapatnya…” 
“Sama sekali tidak ada masalah. E1 memang tidak selalu angkat tangan di kelas, tapi dia angkat tangan saat dia merasa nyaman untuk menjawab pertanyaan atau mengatakan pendapat.” 

“Syukurlah. Setahun yang lalu dia termasuk novice English learner, di rumah kami biasakan untuk berbicara dalam bahasa Indonesia. Sekilas saya amati kalau E1 sangat-sangat pendiam di kelas, saya tidak yakin apakah itu karena karakternya pendiam atau karena dia bingung berekspresi dalam Bahasa Inggris, atau dua-duanya…” 

“Oh, ya? Itu sangat mengejutkan. Saya pikir E1 sudah fasih berbahasa Inggris sejak sebelum masuk TK. Saya tidak melihat ada masalah saka sekali dalam komunikasi. Saya pikir anda harus benar-benar bangga dengan E1. Dia sangat memudahkan pekerjaan kami selama setahun ke depan.” 

Kami lanjut membahas hasil assessment untuk matematika, hasilnya pun tidak jelek. Kami menghabiskan waktu selama kurang lebih 30 menit membahas soal E1 dan ada sesuatu yang menyentak pikiran saya setelahnya.

Saya berpamitan namun masih masih tak habis pikir kalau E1 ternyata punya kemampuan yang lebih dibandingkan anak seusianya dalam hal akademis. Soal kemampuan bahasanya, saat hendak mau masuk TK, secara keseluruhan skor E1 adalah 361/Level 0 /novice English Learner, Bahasa gamblangnya : Very Poor English Learner. Saat lulus Tk di bulan Juni, alhamdulillah sudah naik ke level 3 dengan score 1441. Etapi, itu tidak menjelaskan hasil assement tadi. per hari itu E1  harusnya sudah masuk level 4 ELPAC. Jadi, kesimpulan saya adi lompatan kemampuan berbahasanya dari level 3 ke 4 banyak terjadi  setelah lulus TK, di antara bulan Juni-Agustus. Apa faktor pendukungnya?


Berawal dari posting sebelumnya, kami "menyimpan" TV dan kami baik-baik saja. Setelah dipikir-pikir, waktu yang terpakai untuk  duduk pasif di depan TV kami manfaatkan untuk kegiatan lain : membaca, bermain dan menanamkan lagi nilai-nilai islam mumpung masih dalam nuansa Ramadan dan hari raya. Tiap minggu kami ke perpustakaan dan E1 boleh meminjam buku dengan tema apapun yang dia mau. Boleh dibilang dalam satu hari E1 bisa memabca buku setidaknya 2 jam. Bila dia suka dengan salah satu buku, dia akan membacanya berulang-ulang bahkan minta diperpanjang saat masa 3 minggu berakhir.

Menariknya, saya (atau kami?) belum secara khusus mengajarkan hitungan, atau "memaksa" rutinitas ibadah karena takut kalau anaknya terpaksa malah ada efek samping saat dia dewasa., namun ternyata E1 cukup bagus kemampuan hitungannya, saat masbuk (karena masih main-main) dan imam sudah salam, E1 menambah rakaat yang tertinggal. Rasanya ada sesuai yang hangat mengalir di dada....

Saya tersadar bahwa meskipun saya bertemu anak-anak setiap hari ternyata ada hal-hal yang mereka serap, mereka pelajari , kuasai, tanpa pernah sengaja di ajarkan. Teringat kata-kata ibu mertua kalau sebagai orang tua harus ekstra hati-hati jika punya anak yang "pintar". Ada keterbatasan dalam menilai anak sendiri dan ada yang luput dari radar meski tekun diamati. Anak-anak akan menyerap kebiasaan dan nilai dari lingkungan lalu berbagai pertanyaan akan terlontar saat mereka merasa ada yang berbeda. PR dalam mendidik nampaknya akan terus bertambah....

Selama ini belum fokus soal kemampuan akademis anak-anak dan lebih banyak terbebani dengan tumbuh kembang mereka, eh, setelah kejadian ini mulai terpikir soal perkembangan akademis E1. Tapi sebaliknya, sebab nampaknya kami tidak harus terlampau khawatir dengan E1 di sekolah, kami bisa lebih fokus lagi membangun memori, kebiasaan dan pola pikirnya, memperbaiki (kalau bisa) kenangan bawah sadarnya sebelum sisi logikanya melesat...


ReAD MoRE・・・

Wednesday, 31 July 2019

TV Lenyap dan Perkembangan E1

Awalnya cukup deg-degan dengan reaksi anak-anak saat kami memutuskan untuk “menghilangkan” TV di rumah kami, namun setelah dijalani selama kurang lebih 3 bulan, dunia kami baik-baik saja meski tanpa TV. Tahun lalu sudah tercetus bahwa kami tidak perlu TV cable, tapi biaya TV+internet lebih murah dibandingkan internet saja (strategy yang aneh), sehingga kami putuskan untuk ambil paket TV+internet. Saya juga beli Smart TV ($15 saja) sekedar untuk menjadi monitor. Setelah kurang lebih setahun TV bertengger di ruang tengah, dia lebih banyak menjadi penyebab anak-anak berantem lalu Ramadan menjadi momen yang tepat untuk melenyapkan penganggu kedamaian di rumah itu. 

Tantangannya adalah bagaimana membuat anak-anak tetap “terhibur” sekaligus “terdidik” setelah TV lenyap, karena paling mudah itu memang ngasih, yang sulit itu ngasah dan ngasuh.

Di Indonesia sudah ada Gernas Baku, Gerakan Nasional MembacaKAN buku, yang dalam panduannya menyebutkan bahwa orang tua (dan masyarakat/lingkungan) perlu mendampingi anak-anak agar punya kemampuan multiliterasi (baca-tulis, angka, finansial, sains, budaya, digital). Dalam Bahasa saya : mencetak generasi yang mandiri sejak kecil. Dalam salah satu ceramahnya, Ust. Budi Ashari menyebutkan salah satu ciri mandiri adalah bisa melayani diri sendiri, tidak minta tolong ke orang lain selama bisa melakukan sendiri. Anak-anak saat ini adalah pemimpin di masa depan : pelayan umat, kalau tidak bisa melayani diri sendiri, bagaimana melayani orang lain? 

Bermain dan rasa ingin tahu yang tinggi terasa menjadi fitrah anak-anak. Tanpa TV mereka tetap bisa bermain memanfaatkan barang-barang yang ada dalam rumah. E1 juga membacaKAN cerita buat E2. Meskipun begitu, kadang E1 tidak paham dengan yang dia baca. Vocab-nya belum banyak. Di sinilah ada ruang buat kami untuk membaca bersama dan berdiskusi sesuai tema yang diminati. Perpustakaan buka setiap hari dan buku bisa dipinjam selama 3 minggu, tanpa batas jumlah. 
Membaca Bersama, E1 cukup ekspresif bercerita :)

Jadwal akhir pekan biasanya jadwal kami seperti ini : 
1. 06:30 – 08:30 : Naik sepeda, sarapan di kedai donat atau toko roti. 
2. 08:30 – 10:00 : E1 cuci sepatu, E1 & E2 bantuin bawa cucian ke laundry. 
3. 10:00 – 11:00 : Baca buku bersama, main bersama, siapin menu makan siang 
4. 11:00 – 13:00 : Ke Perpustakaan mengembalikan buku dan pinjam buku baru sesuai tema yang ingin dibaca, ke recycle center, main di playground.
5. 13:00 – 14:00 : Makan siang
6. 14:00 – 17:00 : Tidur siang + kegiatan dalam rumah ; kalau tidak tidur siang biasanya baca buku yang dipinjam dari perpustakaan atau kegiatan lain (seperti membereskan kamar, belajar menjahit, main puzzle/lego, menggambar/mewarnai, tergantung mood anak). Kalau tidur siang, anak-anak boleh pegang gadget selama 30 menit. (dibisikin supaya nonton Nussa-Rara). 
7. 17:00 – 19:00 : Setelah ashar, matahari sudah tidak terik : Berenang atau main ke Playground 
8. 19:00 – 20:00 : Bebersih diri/mandi, makan malam, persiapan sholat maghrib berjamaah di rumah. 
9. 20:00 – 21:30 : Baca buku, cerita sebelum tidur, cek hafalan surat-surat pendek E1. 

Hari Minggu biasanya waktu sudah ter-plot kegiatan social, misalkan mengajar atau pengajian komunitas Indonesia atau belanja mingguan (banyak diskon buat sayur & buah di supermarket dekat rumah, LOL). Setelah tidak ada TV, E1 semakin rajin membaca buku, E2 ikutan saja meskipun belum bisa membaca. 
Berlatih cuci sepatu dan mainan sendiri

Dalam pengamatan saya, kebanyakan keluarga yang kedua orang tuanya bekerja hanya punya waktu bersama saat malam dan akhir pekan saja. Ini bukan waktu yang “banyak” untuk dihabiskan bersama anak-anak, bila masih ada gangguan gadget, juga tidak ada manual bagaimana caranya menjadi orang tua (pendidik) dengan sempurna dalam waktu yang terbatas. Ada juga kasus dimana akhir pekan masih diisi les tambahan buat anak dimana mengambil jatah interaksi dengan orang tua. 

Dalam setahun ini milestone yang dicapai oleh E1 adalah bisa naik sepeda roda 2 dan membaca. Saat mau masuk TK, E1 masih berstatus English Novice Learner, tipikal pembelajar yang memiliki cukup semangat dan antusiasme namun belum punya kememapuan/pengetahuan yang cukup untuk berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Saat lulus TK, E1 mendapat piagam penghargaan sebagai “awesome reader”, kemampuan membacanya melampuai sebagian besar teman-temannya.  Kekhawatiran jika E1 akan mengalami kesulitan beradaptasi karena bahasa nampaknya bisa dihilangkan dari daftar. 

Sehari-hari kami membaca buku bersama, sekarang E1 konsisten membaca tanda lalu lintas, nama jalan, tulisan di bangunan, juga label produk dan kadang bertanya apa beda/artinya. Saat ini E1 juga sudah bisa berkomunikasi dalam Bahasa Inggris, bahkan kadang dia bertanya terjemahan yang tepat dalam Bahasa Indonesia. 

Saya akui, menyaksikan kemampuan anak berkembang adalah hal yang menggembirakan. Lebih membahagiakan lagi, E1 mulai memaknai konsep yang kami tanamkan. 

1. Cantik bukan hanya soal fisik.
 Dalam perjalanan ke sekolah E1 berceloteh : “Ayah, E1 akan cantik kalau pakai baju yang banyak hiasan kupu-kupunya, ya.” Dia meneruskan, “ Tapi harus senyum dan kasih salam juga!” “Iya, kalau baju bagus tapi cemberut dan marah-marah, tidak akan terlihat cantik….” Saya tambahkan. “Iya, Ayah. Allah juga suka kalau kita senyum dan memakai baju yang bagus.” Ucapnya sambil tersenyum  menyapa bapak-ibu guru yang berdiri di depan sekolah. 

2. Mulai Konsisten membantu beberes. 
Alhamdulillah E1 sudah mulai biasa membereskan rumah (menata alas kaki, merapikan mainan, mencuci sepatu sendiri, mengelap jendela kamar seminggu sekali). Salah satu komentarnya yang saya catat baik-baik saat merapikan sepatu dan mainan : “E2 jangan bikin berantakan, Allah suka rumah yang rapi an bersih!”

Mau belajar menjahit? Boleh!
Akhir pekan kemarin tiba-tiba E1 minta diajari menjahit : mulai memasukkan benang ke dalam jarum lalu memasang “love” ke selimutnya (ayahnya deg-degan kalau ketusuk jarum), E1 juga membetulkan tas yang salah satu pegangannya putus. 

3. Mulai mengerti soal isu lingkungan. Misalkan saat anak-anak gosok gigi sebelum tidur, E2 suka main keran air. “E2!! Jangan buka keran kalau tidak dipakai, mubazir!” Saat membaca buku tentang laut E1 komentar, “Ayah, orang yang buang sampah sembarangan harus dislentik, dipukul, ditendang!” “Loh, kenapa?” “Tuh, lihat kasihan turtle, bisa mati karena mengira plastic bag itu jelly fish! They are badboy! That’s not good!” 

4. Berbeda itu tidak apa-apa 
E1 mulai mengerti kalau dia tidak boleh memakan babi dan bahan-bahan haram. Ada satu komentar yang juga saya catat saat dia memakai gamis lengkap dengan kerudung di hari yang panas setelah kami mengantar ibunya ke dokter gigi dan bersiap main di taman. 
“E1, kerudungnya mau dilepas dulu gak? Kita mau jalan kaki bentar.” 
“No, I am OK. Perempuan kan harus pakai kerudung kalau keluar rumah, Ibun juga pakai.” 
Sebagian besar orang tua mengantarkan anaknya ke sekolah dengan mobil, dan E1 bertanya, “Ayah, kenapa kita tidak naik mobil ke sekolah?” 
Jarak rumah ke sekolah hanya sekitar 700m dan bisa ditempuh 10 menit jalan kaki. 
“Coba lihat, antrian mobilnya banyak, tidak? “ E1 melihat parkiran nyaris penuh dan antrian mobil mengular hingga perempatan lampu merah. 
“Repot ya…” katanya. 
“Dengan berjalan kaki, kita bisa menghirup udara pagi, mengamati sekeliling dan olahraga.” 
“Yes, exercise is good for you! “  (kadang E1 mengajak saya berlari hehe)

Secara tidak langsung dia menangkap bahwa apa yang dilakukan orang tua temannya tak jadi soal. Kita punya alasan untuk berbeda. Sependek jarak rumah-sekolah itu pula saya "terhibur" dengan celoteh spontan E1 dalam melihat dunia.

Anak berenang, Ayah membaca. E1 mulai suka menjadi "great helper" di rumah . Hamdallah.


Perjalanan masih panjang, namun waktu kami amat terbatas untuk menyiapkan bekal kemandirian. Mungkin antara 5 -10 tahun ke depan, E1 sudah baligh, artinya sudah harus siap menanggung kewajiban syariah. Artinya dia harus Aqil juga : Menjadi manusia yang mandiri, berwawasan luas dan memiliki jati diri yang kuat. Saat ini, ketiadaan TV banyak membantu kami membangun ikatan yang kuat dan semoga kami dipantaskan menjadi contoh bagi anak-anak yang pemikiran dan kebiasannya bisa mereka terapkan saat dewasa kelak. Setahun ke depan adalah masa transisi saat E1 memasuki usia mumayyiz, dimana E1 mulai harus diajarkan kewajiban syariah seperti sholat (harus belajar soal thaharoh ; wudu, mandi, bersuci sendiri), termasuk tindakan yang berhubungan dengan orang lain, misalkan : jual beli, sedekah, tabungan dkk. (mulai dikenalkan dengan konsep angka dan uang = finansial literasi buat anak 7 tahun).

Saat ini E1 mulai membedakan hal baik dan buruk, hal yang bermanfaat/membahayakan dirinya, mulai mandiri namun belum sepenuhnya. Insyaaalah ada waktu sekitar 10 bulan hingga ia resmi masuk usia mumayyiz... 


ReAD MoRE・・・

Tuesday, 16 April 2019

American Dream & FIRE

Banyak orang datang ke negeri ini untuk mengejar American dream, apatah itu berupa kebebasan yang tidak bisa diperoleh di negeri asal, atau kesempatan berusaha memperbaiki keadaan finansial. Ada banyak tujuan, ada banyak jalan. Negeri ini dengan kelebihan dan kekurangannya masih membuka kesempatan untuk mobilitas sosial. Saya yang terkadang harus bisa merasakan sendiri untuk memetik pelajaran, Alhamdulillah ditempatkan oleh Allah di metropolitan terbesar ke-dua di negeri ini. 

Komunitas sangat beragam, banyak yang datang sebagai pengungsi perang, dari pasca perang dunia dua hingga sekarang... Saya membaca banyak kisah pengungsi itu. Datang tanpa kemampuan bahasa yang cukup, kehilangan harta benda hingga anggota keluarga, pastinya ada trauma yang hanya dimengerti oleh mereka. 

Ada salah satu kisah dimana seorang janda beranak tiga datang sebagai pengungsi dengan ibunya. Dengan segala keterbatasan, si janda bekerja sebagai tukang bersih-bersih dengan upah minimum. Mereka tinggal di apartemen murah dimana neneknya menjaga 3 anak berusia di bawah 8 tahun sambil bercocok tanam di sisa lahan. Hasil sayuran di belakang apartemen itu kadang dibagikan juga ke tetangganya. Tentu saja mereka tidak jajan makanan ke restoran, tidak juga membeli baju baru, tidak ada perayaan di rumah. Hingga akhirnya tabungan sang janda cukup untuk membeli rumah sederhana secara tunai!

 Anak-anaknya bisa kuliah dengan grant/beasiswa dan setelah 30 tahun bekerja serabutan, sang janda bisa mencapai kebebasan finansial, dari asetnya (properti yang disewakan) juga uang pensiun. Itu salah satu kisah yang saya pikir cukup menginspirasi. 

Saat ini orang sudah terbiasa dengan hidup enak dan mudah. Kredit mengucur deras, penawaran diantarkan sampai ke depan pintu rumah. Standar kehidupan memang naik, orang "miskin" pun bisa punya mobil dan berpenampilan modis. Di sisi lain, banyak orang berusia di atas 60 tahun masih harus bekerja dengan tujuan uang, memenuhi kebutuhan dan membayar hutang. Ya,salah satu indikator American dream adalah memiliki rumah impian, dimana tidak semua orang bisa mendapatkannya. 

Saya membaca kisah-kisah orang yang bisa membebaskan diri dari tuntutan finansial. Mereka dikelilingi oleh orang-orang dengan pemikiran yang sama. FIRE, Financial Independence, Retire Early. Pensiun di usia 30an, bukanlah tidak mungkin. Mereka orang-orang yang berani mengambil aksi untuk pilihan gaya hidupnya. Pensiun bukan berarti tidak bekerja, tapi tidak harus bekerja. Intinya dengan menghitung kebutuhan hidup dan menyiapkan aset produktif baik berupa properti, saham, atau usaha yang sudah dipercayakan pengelolaannya ke orang lain. Kecepatan "pensiun" bukan ditentukan oleh seberapa besar pendapatan, melainkan seberapa besar porsi yang bisa ditabung/diinvestasikan.  

Yang sering dijadikan acuan adalah 4% rule hasil dari trinity study, isinya bila kita punya aset 25 kali lipat biaya hidup kita adalam satu tahun, kita bisa menarik 4% tiap tahunnya untuk selamanya. Bila biaya hidup kita dalam satu tahun 100 juta, jika kita punya 2.5 milyar aset produktif (sepertinya saham/surat berharga), maka jika setiap tahun kita menarik 4% tiap tahunnya, kita bisa mengandalkan passive income tanpa harus mengubah gaya hidup. 

Tentunya banyak pilihan investasi yang cocok dengan profil keluarga and resiko yang akan dipilih. Ini jadi PR berikutnya. 


ReAD MoRE・・・