Wednesday, 30 April 2008

Penyakit Bulan Mei

Besok akan masuk bulan Mei. Salah satu jargon di Jepang berkenaan dengan bulan ini adalah go gatsu byou, "Penyakit Bulan Lima". Penyakit yang mewabah di bulan Mei ini bukanlah penyakit fisik yang disebabkan oleh virus atau bakteri. Bukan pula dikarenakan perubahan suhu yang merangkak naik. Jadi? go gatsu byou adalah penyakit mental. Dimaksudkan setelah liburan beruntun yang dikenal dengan golden week, akan muncul gejala malas pergi kerja atau ke kampus, kehilangan nafsu makan, semangat memudar, susah tidur namun enggan bangun di pagi hari.



Banyak referensi yang menuliskan bahwa "Penyakit Bulan Lima" muncul akibat adanya kesenjangan antara idealisme, cita-cita, angan, saat menempuh tahun ajaran baru di bulan April dengan kenyataan yang dialami selama satu bulan pertama. Penyebabnya bisa jadi ketidakmampuan beradaptasi, kekecewaan, dan stress. Saya pun terancam akan mengidap penyakit ini. saya memenuhi persyaratan yang diperlukan. Kampus baru, lingkungan baru, kota baru, orang-orang baru. Masih ditambah dengan segudang rencana dan angan tentang kehidupan di kota ini saat-saat hendak pindahan. Apakah rencana dan angan saya itu mendekati kenyataan? Atau justru terasa sulit untuk diwujudkan? Hehe, bisa jadi jawabnya akan muncul dengan go gatsu byou, saya akan menyandangnya atau tidak.

Saya enggan mengakui, tapi akhir-akhir ini badan terasa lemas dan rasa kantuk lebih sering mampir. Kadang saya melewatkan perjalanan di kereta sambil memejamkan mata karena tak ada tenaga. Weittsss... jangan-jangan saya sudah terjangkit!


ReAD MoRE・・・

Tuesday, 29 April 2008

Runutan Boga

Akhir pekan kemarin, saya diajak ke rumah seorang senior yang bakal kedatangan tamu, kawan lama dari Tokyo. Persiapan pun dilakukan : pengosongan perut. Hihi... Maksudnya sih supaya empunya rumah senang kalau hidangan yang disajikan disantap dengan lahap. Bukan begitu?

Namun ternyata ada hal lain yang menarik perhatian saya untuk ditelaah lebih lanjut. Selain saya, hadir pula rekan lain dari Surabaya, Yogya, Jakarta, Padang, errm... bisa dikatakan kami berasal dari daerah yang berbeda di Indonesia. Lalu apa yang menarik? Kebiasaan makan, lebih spesifik lagi urutan makan. Kenapa? Hmm, saya sudah bersilaturahmi ke beberapa rekans Indonesia yang di Jepang, dan dari lawatan itu saya mempelajari pola makan mereka. Oopss...saya melakukan pengamatan tanpa ijin. Tapi boleh, khan?


Kebetulan seorang sahabat mengingatkan tentang kebiasaan makan kami Ramadhan tahun lalu. Buka puasa langsung dikebut sampai kekenyangan. Memang sih berhubungan dengan pola makan, tapi kali ini bukan, bukan itu. Dia membaca sebuah bab tentang adab makan dalam buku yang ditulis oleh Ibnu Qudamah berjudul Minhajul Qaashidin. Isinya cukup mencenangkan karena bertolak belakang dengan kebiasaan makan selama ini. Dalam bab tersebut ditulis bahwa salah satu adab menghidangkan makanan adalah menghidangkan buah-buahan sebelum yang lain.

Beliau berargumentasi pada ayat al Qur'an surah al Waqi'ah ayat 20-21 yang menyatakan bahwa di surga buah-buahan dihidangkan terlebih dahulu sebelum daging (burung) itu "Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan".

Dari segi iptek sendiri, rasa lapar kenyang sebenarnya terkait dengan kadar gula dalam darah. Saat konsentrasinya melewati batas minimal, itu saat kita merasa lapar. Sayangnya batas atas untuk menyatakan kekenyangan kadang kabur oleh semangat mengisi perut hingga puas. Apa hubungannya dengan kebiasaan makan? Sebenarnya kita bisa memanipulasi rasa kenyang dengan mengatur urutan menu dalam makanan.


Berikut rangkuman dari bahan yang saya baca, dengar, atau saksikan :

1. Awali makan dengan berdoa. Menu pertama adalah yang mengandung banyak air, untuk mengondisikan perut, bisa buah-buahan, yoghurt, atau sup.
Orang Jepang biasa menghidangkan miso-shiru, sup dari dengan kaldu dari kedelai fermentasi dengan isi beragam : sayur, tahu, rumput laut pertama kali sebelum sajian utama.


2. Lanjutkan dengan makanan yang mengandung banyak serat. Manfaatkan gigi yang masih ada untuk mengunyah. Saya menyaksikan di salah satu TV Jepang (hmm... kebenarannya entahlah), seseorang bisa merasa kenyang dengan mengkonsumsi 200 gram kubis setelah mengunyahnya selama 5 menit. Dikatakan sensasi kenyang juga bisa diperoleh dari seberapa lama rahang digerakkan untuk mengunyah.


3. Akhiri dengan makanan yang disukai untuk menciptakan sensasi kepuasan.
Saya mengamati kalau sebagian besar orang Indonesia langsung menuju ke poin ke-3, langsung ke intinya saja. Belum ditambah penggunakan gula berlebih, konsumsi lemat yang tidak sehat dan menu tanpa pertimbangan gizi yang seimbang. Oke lah, itu tidak bisa disalahkan, tingkat kesadaran penduduk untuk menerapkan pola makan dan hidup sehat masih kalah dengan sibuknya pikiran untuk memenuhi kebutuhan primer. Namun, saya pikir itu hanyalah pilihan. Pola makan sehat bukanlah sebuah pola makan dengan menu mewah yang tidak terjangkau. Sebaliknya, bisa jadi menjadi sebuah solusi menuju pola hidup sehat dan hemat. Kok bisa?

Dengan sedikit mengubah pola makan, menyediakan sup (atau sayur berkuah banyak) dan buah di awal perjamuan, akan membantu mengurangi konsumsi makanan pokok (beras dan lauk). Saya membuktikan dengan melakukan percobaan sendiri. Saat saya langsung makan nasi dengan lauk pauk, saya menghabiskan nasi lebih banyak dibandingakan saat saya mengawali dengan makan buah dan yoghurt terlebih dahulu untuk memperoleh rasa kenyang yang sama.


Sekalian ingat, saat belajar membuat kue eropa akhir maret lalu, saya menyadari bahwa kue erora sangat manis. Kenapa? Karena mereka mengambil gula dari sini. Tak ada gula ditambhakan dalam teh/kopi, tak ada gula dalam resep masakan. Oleh karena itulah kue yang manis menemani saat minum teh pahit. Sama dengan upacara minum teh di Jepang. Teh hijau kental, berbusa dan pahit, disantap dengan kue tradisional yang terlalu manis di lidah saya.

Di Indonesia, sepertinya teh dan kopi belum bisa merdeka dari gula, padahal kita juga makan kue, mengkonsumsi kecap, dan mendapat asupan gula dari menu lain. Hmm, nampaknya untuk mengubah kebiasaan makan yang turun-temurun bukan hal mudah. Kecuali ada kesadaraan tentang pola makan dan hidup sehat.



ReAD MoRE・・・

Saturday, 19 April 2008

Kerusakan yang teratur

Pernah mengalami kesulitan dalam menemukan alamat seseorang? Saya pernah dan pengalaman ini justru saya peroleh di negeri saya sendiri. Kadang saya berpikir tidak adakah cara pendataan yang lebih mudah dimengerti tanpa harus menghapalkan nama-nama jalan yang jumlahnya puluhan itu? Kenapa tiba-tiba saya menulis masalah ini? Hehe, sebenarnya karena hobi lama saya : Menggambar tata kota, mendadak minta dieksplorasi lebih dalam.

Saya sempat berpikir kalau bencana tsunami di Aceh justru membawa kesempatan untuk menjadikan Aceh sebagai kawasan percontohan kota modern. Kota modern yang tidak semrawut, teratur dengan baik mulai saluran pembuangan air, limbah rumah tangga, kawasan hijau, lingkungan perumahan, pusat perekonomian, hingga pelayanan administrasi praktis dalam satu atap. Hal ini juga didukung dengan mengalirnya bantuan dari berbagai pihak, termasuk luar negeri, sehingga pikiran saya mungkin terealisasi. Ahaha, okelah, siapa sih saya hingga ide seperti ini harus terwujud? Namun sebaliknya, saya ingin bertanya, tidak adakah orang-orang yang berwenang di atas kursi pejabat sana yang punya pandangan untuk "menyulap" kawasan yang nyaris 100% porak poranda menjadi wilayah cantik yang teratur?


Sudah 3 tahun terlewat, khabar tentang perkembangan Aceh pasca Tsunami mulai jarang terlihat. Berarti angan-angan saya tentang sebuah perubahan yang baik, sama sekali jauh dari mendekati kenyataan. Orang-orang yang kaya tetap leluasa mendirikan bangunan seenak perutnya sedangkan yang tak punya uang memenuhi sela-selanya. Perlahan tapi pasti, perkembangan yang terjadi adalah sebuah kerusakan yang teratur. Teratur oleh perundangan yang tidak mengatur. Bukankah menjadi lebih mudah kalau UU Agraria juga mengatur tentang pengaturan tanah terhadap korban bencana dilengkapi dengan pengaturan wilayah dan perumahan? Atau negeri saya itu dirasa masih terlalu luas, hingga tanah dan pasirnya pun dibiarkan saja untuk memperluas wilayah negara Singapura? Atau, tak adakah orang yang peduli? Yang penting diri sendiri makmur, aman, sentosa, sejahtera... oh la la. Artinya membenarkan bahwa semboyan bhineka tunggal ika diartikan sebagai perbedaan yang dipaksa bersatu! Biar situ menderita yang penting sini sentosa?? Hahaha... jiwa nasionalisme hanya akan muncul bila ada ancaman dari luar, seperti saat lagu-lagu daerah diserobot negeri jiran, atau saat mendukung atlet negeri berjuang dalam ajang internasional, atau saat negeri sendiri direndahkan bangsa lain?


Ah, maaf saya terkadang melantur kemana-mana kalau memikirkan negeri sendiri. Bukan tak cinta, itu bukti kalau saya masih peduli. Saya tak rela membiarkan kerusakan justru diatur secara resmi, tapi saya geram karena tak berdaya. Mungkin saja kekecewaan akan membuat saya menyerah, lalu saya kabur, ogah kembali ke tanah kelahiran, bersikap apatis, cuek, membiarkan peraturan membentangkan jalan menuju kerusakan. Tapi sekarang saya masih tak tega.


Oke, kembali ke masalah tata kota. Sekarang saya tinggal di Nagoya. Kota terbesar ke-3 di Jepang yang sedang kebingungan mencari tempat pembuangan sampah. Kota ini terlanjur menjadi hutan beton ditambah sampah yang dihasilkan penghuninya hingga hitungan ton. Sebuah tempat yang direncanakan menjadi kawasan pembuangan sampah adalah delta sungai yang sekarang masih ramai dikunjungi burung. Sebuah kawasan penangkaran. Tentu saja aktivis lingkungan mengutuk aksi penggusuran habitat burung akibat ulah manusia. Tapi, mau pilih mana: Hidup bersama sampah atau mengorbankan burung untuk kepentingan rakyat?


Setelah mengalami diskusi alot, akhirnya diputuskan untuk mengurangi produksi sampah. Caranya? Recycle! Saya rasa masyarakat Nagoya cukup sensitif dengan masalah pemisahan sampah. Hampir tiap kali saya bertemu dengan orang Jepang dari berbagai instasi, mulai pegawai asrama, dosen di kampus, pejabat international affair, hingga satpam selalu menyisipkan pesan tentang pemisahan sampah. saya pikir wajar saja, karena kebijakan pengurangan sampah ini diresmikan setelah melewati berbagai perdebatan. *sigh*


Dengan daur ulang, sampah bisa dikurangi hingga 50% (kata senior saya yang sedang mengambil master bidang lingkungan). Hasilnya memang bisa disaksikan dengan mudah. Kertas yang dipakai oleh instasi pemerintahan adalah 70% hasil daur ulang -hmm, setidaknya itu yang tertulis dalam produk yang saya beli atau saya dapatkan-. Oke, salut buat semangat daur ulangnya. Sayangnya saya masih merasa cukup ribet dengan aturan pemisahan sampah, penggunaan kantung sampah khusus, jadwal pembuangan sampah. Benarkah daur ulang ini efektif mengurangi jumlah sampah? Kalau toh benar, apakah tidak membuat pola berpikir baru dalam masyarakat : Ahhh... belanja saya banyak-banyak, ntar bakal di daur ulang jugaaa. Maksudnya, produksi sampah justru meningkat. Bisa jadi sampah bisa dikurangi hingga 50% dengan daur ulang, tapi jumlah 50% itu khan dari total sampah yang dihasilkan. Bukan tidak mungkin khan kalau setengah jumlah sampah tahun ini ternyata lebih banyak dari tahun sebelumnya.

Satu lagi, daur ulang belum tentu lebih efisien. Untuk mendaur ulang botol plastik, misalnya, masih diperlukan hasil olahan minyak bumi, dan biayanya ternyata lebih mahal dibandingkan memproduksi botol baru. Belum lagi soal energi yang diperlukan. Daur ulang pun perlu dikaji, dan yang lebih penting jangan suka nyampah!
Nah loh koq malah lari ke masalah sampah. Bagaimana sih tata kota di Jepang? Yang pasti bukan sistem bongkar pasang ala ibukota Jakarta. Hihi, masak mau pasang kabel baru, harus menggali jalan, menutup galian lalu bikin jalan baru. Memangnya anggaran berlimpah ruah tanpa harus direncanakan?

Oke-oke... tata kota di Jepang mudah dimengerti -setidaknya saya belum sempat tersesat kalau membaca alamat-. Setiap distrik dibagi menjadi blok yang teratur, sehingga dengan membaca angka yang ada, bisa dikira-kira seberapa jauh lagi sampai di tujuan. Bahkan satuan menit untuk berjalan kaki dikonversikan untuk jarak. Misalkan 10 menit dari stasiun artinya 1 kilometer. Kecepatan rata-rata orang berjalan dalam 1 menit adalah 100 meter. Kalau misalkan tujuan belum tercapai sesuai dengan waktu yang tertulis ada dua kemungkinan :
1. Anda berjalan terlalu lamban
2. Anda tersesat


Oahhmm... sudah malam. Mungkin saya sedikit memaksa menyatukan ide yang berloncatan agar pikiran ini sedikit tenang. Oahmmm... selamat malam!


ReAD MoRE・・・

Friday, 18 April 2008

Menyemai Musim Semi


Kenapa saya memilih untuk melanjutkan sekolah di Nagoya? Tiba-tiba seorang kawan kembali menanyakan hal ini. Hehe, kenapa yah?Hmm, Mungkin sudah menjadi pilihan jalan yang harus saya tempuh. Daripada berpikir ke belakang, lebih baik saya segera berusaha menikmati kehidupan di tempat baru. Yey! Mengawali hari-hari pertama di Nagoya, saya memprogramkan orientasi kota setiap akhir pekan. Tujuannya ada tiga :


1. Supaya tidak tersesat

2. Menemukan jalan ke kampus, toko halal, kediaman orang-orang Indonesia.

3. Bisa memandu orang



Sabtu lalu, saya bersepeda seharian dan alhamdulillah tujuan ke-2 berhasil tercapai, masih ditambah sebuah ricecooker yang saya dapatkan dengan harga miring sehingga tak perlu numpang makan di tempat senior. Hihi... Oh iyah, satu yang dicatat, keliling Nagoya dengan sepeda lebih menyenangkan dibandingkan dengan subway. Alasannya? Tentu saja karena bisa melihat dan memandangi Nagoya. Satu lagi : Sensasi petualangan.

Beberapa foto yang saya ambil dengan kamera (ponsel), seputar sakura, hanami, dan taman yang saya lewati saban hari karena terletak antara stasiun dan kampus.







Di taman ini banyak kejadian yang menarik. Ada ibu-ibu yang membagikan bibel gratisan sehingga saya merasa bertualang dalam The Davinci Code II dan Tom Hanks tinggal beberapa langkah untuk menepuk pundak ini. Yahaha. Tapi maaf, saya menolak barang gratisan kali ini.


Sebenarnya salah satu foto di atas diambil karena saya salah mengambil jalan. Yang mana? Itu tuh, saat orang-orang hanami pada malam hari. Mungkin ini pertama kalinya saya menyaksikan langsung orang-orang duduk beralaskan tikar sambil memandangi (?) sakura bermekaran di malam hari. Saya sangsi apakah mereka benar-benar ingin memandang sakura yang hanya mekar dua pekan, atau sekedar mencari kesempatan minum beramai-ramai di tempat terbuka? Makanya sertelah mengambil foto, saya segera kembali ke jalan yang benar agar terbebas dari orang yang terlalu berjubel dan aroma sake yang menari-nari.


Oh iya. Minggu lalu para senior di nagoya mengadakan pesta penyambutan untuk orang-orang yang baru datang. Saya terlambat hadir. Acara perkenalan terlanjur selesai, sehingga saya langsung terjun ke agenda selanjutnya: Main bola dan makan -tentu saja-. Sebagai anggota bujangers, saya berkesempatan membawa pulang beberapa ekor ikan bakar lengkap dengan sambalnya. Nyummy... untung saja ikan itu tahan lama, karena baru berhasil saya habiskan 5 hari kemudian. Bukan saya tak doyan ikan, porsi makan saya memang dikit koq. Huhu

Hmm, entah kejadian apa lagi yang bakal saya temui, musim semi tahun ini memang harus disemai agar menjadi awal yang membawa arti.



ReAD MoRE・・・

Thursday, 17 April 2008

Menunggu Buka

Kamis ini hujan. Sama dengan minggu lalu. Saya hampir tertipu karena melihat mentari pagi ketika memalingkan muka ke jendela setelah sibuk mencari data sejak lepas subuh. Setelah menutup laptop, saya melihat dengan lebih jelas kalau jalanan sudah basah dan garis-garis air masih berjatuhan menghantam bumi. Tapi saya tidak protes, guyuran air langit ini menyejukkan hawa musim semi yang terlalu cepat terasa panas tahun ini.


Saya mulai terbiasa berdesakan di subway saat berangkat ke kampus. Tiga hari dalam seminggu saya harus ikut kuliah di jam pertama yang mulai pukul 8:50, artinya saya harus keluar dari kamar sekitar satu jam sebelumnya agar leluasa berjalan santai dan terbebas dari kata buru-buru.

Hari ini pun sama dengan Kamis sebelumnya, saya harus menerobos pagar manusia saat hendak keluar kereta. Saya sudah memposisikan diri dekat pintu keluar, namun jarak sekian centi itu harus ditempuh lebih lama dari biasanya. Tapi saya masih bersyukur karena saya hanya sampai pada level berdesakan. Pada jam yang sama saya berangkat ke tempat parttime waktu di Tokyo, saya tergencet dan tidak bisa bergerak. Kalau di pinggir badan saya akan tertempel pada pintu kereta, kalau di tengah, saya harus menghadapkan wajah ke atas untuk bernafas.

Saat orang-orang keluar, maka saya akan terseret arus meski stasiun itu bukan tujuan. Wahaha... kalau ingat kereta api di negeri sendiri. Orang bisa naik turun sesuka hati, naik di atap gerbong juga bisa. Oh iyah, ada juga saat berdesakan, saat harus lebih waspada karena barang berharga bisa jadi pindah tempat.

Menjelang maghrib. Hujan masih turun namun tinggal gerimis. Lampu jalanan mulai menyala, angin sejuk berhembus. Tiba-tiba saja saya ingin melihat pantai. Entah kenapa laut tak terlihat dari lantai 8 gedung ini, padahal tak sampai 30 menit kalau pergi dengan mengayuh sepeda. Aha, kenapa tak bersepeda ria saja akhir pekan besok?


ReAD MoRE・・・

Saturday, 12 April 2008

Kilas Seminggu

Satu minggu pertama di kampus baru. Banyak hal baru yang memerlukan adaptasi.

Senin.


Hari pertama. Jam pertama berisi penjelasan dari Nagafuchi-sensei tentang mata kuliah yang beliau pegang. Namanya : Koherensi Agama dan Sosial Masyarakat. Sebenarnya sks saya untuk ilmu sosial sudah memenuhi syarat untuk lulus. Kenapa saya ambil mata kuliah ini? Karena di silabus tertulis tentang islam dan kebudayaan Indonesia. Saya ingin tahu bagaimana orang asing mempelajari negara dan agama yang saya anut. Ah iya, Nagafuchi-sensei bisa berbahasa Indonesia, kata senior saya di kampus saat ujian pun OK menjawab dalam bahasa. Yeyeye!

Jam selanjutnya adalah eksprerimen. Kebetulan saja saya sudah pernah melakukan eksperimen serupa di kampus lama sehingga waktu yang diperlukan untuk selesai 1 jam lebih cepat dibanding rekans lain. Hmm... mungkin salah satu kelebihan saya adalah soal "kecepatan".

Ah, hari-hari selanjutnya pun tak jauh berbeda sih.

Satu kutipan yang saya petik : "Seorang Profesional tidak akan mencari alasan". Saya ingin jadi seorang pro. Makanya :

1. Saya tidak akan mencari-cari alasan bila saya gagal. Dengan kata lain, tidak ada kata gagal total. Seorang pesumo Jepang berhasil menjadi juara dengan menahan rasa sakit cedera kaki. Cedera tidak menjadi alasan untuk merebut kemenangan. Ada banyak kisah orang Jepang yang saya kagumi. -Orang2 yang sekarang juga masih hidup- Salah satu yang bisa membuat saya menilai seorang atlet itu profesional atau tidak adalah dari komentar dan prestasinya.

Misalnya, ada atlet yang jatuh di awal, namun bisa berhasil merebut juara. Tapiii ada juga atlet yang jatuh terus mengundurkan diri dari pertandingan, ditambah dengan komentarnya yang memuat seribu macam alasan atas kekalahannya. Apa sih susahnya mengakui kalau kondisi lawan saat itu memang lebih baik? Ada juga yang mengundurkan diri karena wasit berlaku tidak jujur. Yahaha... saya mengertin lah perasaan dicurangi, tapi kalau sudah terjun sebagai seorang profesional, harusnya sudah mempersiapkan diri dengan kondisi seperti ini. Makanya terkadang saya berpikir kalau juri yang sebenarnya adalah penonton. Seorang profesional lah yang bisa merebut hati penonton tanpa cacat.

2. Sebisa mungkin saya menyelesaikan order lebih cepat dari waktu yang saya janjikan.

3. Order yang diberikan ke saya akan saya rampungkan lebih baik dari perkiraan.

Yay... banyak yang mau ditulis, tapi 45 menit lagi saya harus ikut wawancara sebagai pengajar "kebudayaan yang berbeda" untuk anak-anak Jepang. Uang terima kasihnya lumayan, antara 500 ribu-600 ribu rupiah untuk 2 jam. Siap-siap dulu ah...


ReAD MoRE・・・

Wednesday, 9 April 2008

Dua Hari Pertama

Saya pikir, jadwal saya di awal April cukup padat dibandingkan kawan lain di Jepang. Belum sempat bernafas lega, sudah harus berlari lagi untuk membereskan kewajiban di kampus baru. Upacara Pelantikan, Orientasi, pembuatan kartu mahasiswa, urusan pindah alamat, kartu asuransi, menata barang-barang pasca pindahan dan tiba-tiba saja saya sudah harus ikut percobaan di hari kedua setelah upacara pelantikan mahasiswa. Tapi mengeluh bukanlah pelarian yang tepat. Kalau ada waktu senggang buat mengeluh, kenapa tidak dipergunakan untuk membereskan hal lain yang masih bertumpuk?


Sedikit di luar perhitungan saya, tahun ajaran ini saya harus mengambil banyak SKS. Alasannya :

1. Sks saya di college diakui lebih sedikit dari estimasi.
2. Saya harus memenuhi syarat minimal jumlah SKS untuk masuk ke Lab tahun depan.
3. Saya ingin mempersiapkan diri untuk ujian Master tahun depan. Jadi tahun depan sebisa mungkin mengambil sedikit SKS sahaja!

Sekarang masih terasa agak berat, mungkin karena saya masih kaget dengan pola hidup yang cepat di sini. InsyaAllah setelah bisa menyesuaikan diri, akan muncul waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Bukan-bukan. Bukan begitu. Saya yang seharusnya membuat waktu luang itu. Bereskan masalah, tetapkan target, sehingga saya punya waktu pribadi yang bisa saya nikmati. Mana sudi harus disibukkan oleh urusan kampus saban hari!

Ya ya. Kemarin alhamdulillah saya sempat ikut main badminton di Gedung Olahraga Nagoya University. Setelah jam ke-8 selesai saya langsung melesat menuju ke sana. Tapiiiiiiii... saya lupa melihat papan pengumuman tentang percobaan hari ini, dan saya terlalu capek untuk turun ke lantai 4 di asrama untuk melihat internet. Oke-oke. Saya mengantuk dan malas sekali malam kemaren setelah seharian menekuni kuliah, membawa buku-buku tebal, bermain badminton, naik turun tangga subway dan kembali ke kamar saya di lantai 8 (eh, ini naik lift sih, hihi). Oops.. apakah saya mengeluh? Yang pasti saya harus mencari perlengkapan yang diperlukan untuk jam percobaan siang ini. Semoga orang-orang yang saya hubungi bisa membawakan barang yang saya perlukan saat sholat dzuhur siang ini. Kalau tidak ada, masih ada pilihan nekad yang lain : berbicara ke sensei tentang kecerobohan saya.



ReAD MoRE・・・

Tuesday, 1 April 2008

Sakura Angkuh

Akhirnya masuk bulan April juga. Bulan yang menjadi tahun ajaran baru di Jepang. Para pelajar kembali ke sekolah dan kampus, anak-anak yang baru lulus menapaki tempat menuntut ilmu yang baru. Satu pemandangan yang sama : Jejak mereka ditemani oleh mekarnya sakura. Seharusnya saya turut senang karena kehadiran saya di kampus baru turut disambut olehnya. Namun sakura yang molek itu nampak begitu angkuh di mata saya. Keangkuhan yang menjadi sosok kesedihan dan perpisahan. Lambang ketidakabadian.


Mahkota yang mekar sempurna itu mulai jatuh satu demi satu. Saya pun turut tercekam untuk segera mengabadikan sosoknya yang mempesona itu sebelum luruh bersama angin. Orang bilang kalau keindahaan selama dua pekan lah yang menjadi pesona sakura. Kecantikan dengan usia yang pendek. Makanya orang terkonsentrasi untuk mengambil gambar yang haya bisa dilakukan hanya 14 hari dalam setahun. Tapi ada untungnya juga, kalau sakura mekar terus selama musim semi, dia kehilangan kekhususannya.

Entah kenapa saat memandang sakura bukan hanya keindahan dan rasa takjub yang muncul dalam dada. Ada juga peringatan akan kefanaan. Yah, tiada yang abadi. Sakura, tak ada yang salah denganmu. Tak seharusnya saya mengataimu angkuh. Kau Mekar dengan membawa kecemasan orang-orang yang takut kehilangan saat mahkotamu mulai berguguran sebelum sempat mereka abadikan. Itu bukan kehendakmu. Itu hanyalah sebagian pelajaran yang disiratkan oleh penciptamu.

Sayonara, saya ucapkan saat kuncup-kuncupmu mulai mekar. Hajimemashite menjadi kata yang sering keluar dari mulut saya saat mahkotamu terbuka sempurna ke lima penjuru. Terima kasih sudah turut menemani saat berpisah. Terima kasih atas sambutan di tempat baru. Terima kasih sudah memberikan satu pelajaran baru tentang kefanaan. Ah, alam memang tempat hikmah bertebaran. Semoga saya lebih peka untuk bisa menemukan.


ReAD MoRE・・・