Friday, 30 January 2009

Seiring Kemudahan

Anak sulung wanita itu mengirimkan pesan. Ada kemudahan. Alhamdulillah. Sederetan angka yang menjadi tanggungan kepala keluarga itu dilunakkan oleh perpanjangan tangan-Nya. Inilah jalan keluar. Jalan terbaik saat ini yang harus ditempuh meski mendaki dan penuh kelokan.

"Dua ratus juta, sekitar itu. Kamu punya?"
Lelaki di seberang lautan itu tak segera menjawab. Nominal itu bukan main-main.
"Kalau sebanyak itu aku tidak bisa mengirimkan sekaligus. lagipula tabungan itu rencananya akan dipergunakan untuk kelanjutan kuliahku nanti."
"Tapi ini mendesak. Bukankah peluang S2 itu tetap terbuka meskipun kamu telah bekerja?"
"Huhu... artinya aku harus menunda dulu niat S2 ku? Well, rasanya aku ingin pemecahan lain yang tidak menjadikanku mengorbankan impian sendiri."
Anak sulung itu diam mendengar kata-kata ini.
"Baiklah semoga saja Allah memberikan kemudahan, sehingga kamu tidak perlu menguras tabungan."
"Amin. Semoga saja."

Hari demi hari berlalu. Lelaki di seberang lautan berpikir keras. Sejumlah uang itu diperlukan untuk menjaga kehormatan keluarganya. Supaya mereka tidak terusir dari rumahnya. Supaya mereka tidak terlunta mencari tempat berteduh. Supaya mereka bisa hidup dengan tenang bertetangga dengan orang-orang yang sudah dikenal selama puluhan tahun.

Lelaki itu masih muda. Dia baru saja berusaha habis-habisan memenuhi syarat naik ke tingkat akhir dan masuk ke lab asuhan seorang profesor yang dia suka. Hasilnya belum ada yang tahu. Dalam pengumuman hanya tertulis pertengahan Februari. Ujian akhir semester pun masih menunggu, belum lagi dia harus mencari tempat tinggal baru karena jatah asrama murah segera berakhir dalam satu bulan lagi. Kini dia takut. Takut mendapat telepon dari seberang lautan. Takut tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Takut tidak bisa masuk lab yang dia impikan. Entah sejak kapan dia jadi begitu pengecut.

Akhirnya dia membuat prioritas. Batas aman untuk naik tingkat adalah yang utama. Setelah itu pikirkan bagaimana caranya mendapat uang sebanyak itu. Bismillah. Rasa takut berangsur surut.

Pada hari Jumat di akhir Januari, anak sulung wanita itu mengirimkan pesan kepada lelaki di seberang lautan. Ada kemudahan. Ternyata Tuhan mengirimkannya melalui tetangga wanita itu. Lalu, lelaki di seberang lautan bergegas menelepon wanita itu, memastikan berita dari anak sulungnya. Benar. Sang tetangga yang lembut hati bersedia memberikan bantuan yang boleh dikembalikan kapan saja. Alhamdulillah.

Lelaki di seberang lautan lalu berjanji untuk mengembalikan bantuan itu dalam setahun lagi. Satu tahun, sampai jatah beasiswa yang dia terima berakhir masanya. Satu tahun, yang mungkin jadi tahun terakhir di negerinya berpijak sekarang. Satu tahun yang nampaknya akan banyak diisi dengan baito pagi dan malam. Lelaki itu merasa sedikit tenang, setidaknya keluarganya boleh menghembuskan nafas lega. Selanjutnya adalah giliran tanggung jawabnya.

No comments: