Tiga tahun sudah saya tidak pulang ke rumah. Waktu yang cukup lama membuat perubahan tanpa saya saksikan. Terutama perubahan tentang Ayahanda yang hanya saya dengar dari cerita. Dalam 10 hari di rumah, saya berusaha menyerap segenap informasi mengenai kondisi beliau setelah terkena stroke. Dua tahun lalu, saya pernah menuliskan
tentang golden time untuk menolong orang stroke agar terhindar dari lumpuh. Saya tak pernah berpikir kalau Ayahanda akan mengalami serangan ini sampai dua kali. Sayangnya pengetahuan ini tidak bisa diterapkan karena waktu diketemukan, ayahanda sudah dalam keadaan lemas dan tak bisa bicara.
Berikut yang saya alami selama di rumah :
Hari 1: Saya tidak dikenali oleh ayah. Beliau hanya memandang tanpa mengeluarkan sepatah katapun waktu saya sungkem.
Hari 2 : Ayah tidak mau saya suapi. Hanya Ibunda yang bisa membuat ayah membuka mulut.
Hari 3 : Ayah mengingat saya! Nama saya bisa diucapkan oleh beliau meskipun dengan sengau.
Hari 4 : Ayah sudah mau saya suapi, kali ini beliau berhasil didudukkan di kursi roda setelah berbaring di atas ranjang selama berminggu-minggu.
Hari 5 : Saya mengurus KTP ke RT, tapi tidak dibantu.
pak RT: "Mas khan domisili di Jepang, apa perlu KTP sini?"
Saya :"Loh saya khan masih warga sini?"
"Memangnya WNI atau WNA sih?"
Wadooooooooooooooooohhh. Memangnya saya sudah ganti kewarganegaraan?!
Hari 6 : Langsung ke Kelurahan. Ternyata tanpa pengantar dari RT pun bisa dapat KTP, kok. Sayang Pak Lurah sakit, proses ke Kecamatan baru bisa diurus keesokan harinya.
Lanjut, sowan ke rumah Nenek. Usia beliau tahun ini 87 tahun. Masih sehat sekali, meski sudah diingatkan Paman, masih tetap menyapu halaman rumah sampai pekarangan di belakang. Biarpun begitu, tanda-tanda usia tua tetap terlihat.
"Kamu kapan datang?"
"Hari Sabtu, Nek."
"Oh, kesini sendiri?"
"Tidak, bareng dengan kakak."
"Kamu sudah berapa lama di Jepang?"
"6 tahun"
"Kapan kamu datang?"
"Hari Sabtu lalu, Nek."
"Oh, kamu kemari dengan adik kamu ya?"
"Tidak. Saya kemari dengan kakak, Nek."
"Kapan kamu datang?"
...
...
Hari 7 : Mengurus KTP ke Kantor Kecamatan. Alhamdulillah tidak pakai kena denda biarpun sudah telat. ^_^
Hari 8 : Revisi thesis. GawatTTtt. Belum terpegang semenjak menjejakkan kaki di pulau Jawa.
Hari 9 : Revisi Thesis. Tapi, mendadak listrik mati. Oh tidak~~
Hari 10: Pamitan dengan ayahanda. Secara ajaib beliau bisa bicara dengan jelas!
"Pesawatmu jam berapa?"
"Dari Adi Sutjipto jam 8 malam, Yah"
"Kuncinya mana?"
"Kunci apa?" Saya heran, "Kunci mobil?"
Beliau mengangguk.
"Ayah, mobil kita khan sudah dijual belasan tahun lalu, lupa?"
Beliau diam.
Akhirnya saya ambil foto-foto dengan beliau. Pakai HP saja, karena saya belum punya kamera. Tangan kanan beliau bisa bergerak untuk merangkul pundak saya! Padahal beliau khan susah sekali menggerakkan badannya paska serangan stroke itu. Segala Puji hanya untuk Allah.
Hadiah buat Ayah :
1. Tensimeter digital. Saya pikir penting untuk mengukur tekanana darah beliau setiap hari, sehingga bila ada fluktuasi/penurunan bisa dipantau dan kejadian buruk terantisipasi dini.
2. Alat terapi Infra Merah. Terapi lebih nyaman dilakukan di rumah olej keluarga. Biaya buat terapist tidak murah.
3. Waktu berbincang dengan pijatan tangan dan suapan-suapan makanan.
4. Album foto saya selama di Jepang.
Tiga tahun dan 10 hari. Semoga salam 10 hari keberadaan saya di rumah, bisa menebus rindu setelah 3 tahun tanpa perjumpaan. Ayah, semoga lekas sembuh.