Kembali merenung tentang identitas. Serangan media sangat gencar, hingga sebagian kita kadang terkecoh oleh golongan yang mengenakan “pakaian” tertentu untuk membentuk opini massa lalu berhasil mendekati tujuan sejatinya. Pakaian yang dikenakan begitu mempesona sehingga orang langsung percaya dengan penampilan tanpa mencoba mengajak bicara atau mencari tahu bagaimana profil sebenarnya. Istilahnya tabayun/cross check. Jangan sampai dengan polos membenarkan argumentum ad populum, karena sesuatu itu belum tentu benar disebabkan banyak orang mempercayainya. Mungkin derajatnya hanya konjectur saja...
Ya, yang saya maksud adalah kelompok helm putih dan 1s1s yang itu tuh. Dan sebenarnya masih banyak golongan-golongan lain yang disodorkan media dengan menghentak hingga tanpa sadar sebagian kita turut menyebarluaskannya, menyisipkan informasi yang terdistorsi ke orang-orang yang kita kenal.
Isu global atau negeri-negeri yang dengannya ada keterkaitan rasa, sampai sekarang pun saya terseok-seok untuk mengikutinya.
Lalu kembali lagi. Saat musuh sibuk menyamarkan identitasnya, bagaimana dengan identitas yang kita pilih untuk diri sendiri? *Jangan galau kayak Jason Bourne yang diprofilkan punya banyak paspor*
Voila. Sepertinya saya paham kenapa pasangan hidup pun diibaratkan sebagai pakaian. Ya, karena dia menjadi satu identitas kita. Identitas yang dikenakan paling lama setelah nama pemberian orang tua. Bersamanya kita akan menanamkan identitas baru untuk generasi yang akan menghadapi lingkungan dan zaman yang berbeda, saat sang Pencipta menitipkan amanah yang disebut anak.
Saya tersentak karena waktu bersama anak berlalu begitu cepat. Saat anak sulung saya belum lancar bicara, sebelum tidur kami lisankan doa-doa pengantar tidur dilanjutkan ayat-ayat suci yang kami hafal hingga si bocah tertidur. Menjelang usia 3 tahun, dia sudah hafal doa-doa itu. Kini dia menolak saat saya hendak melafalkan ayat-ayat. Kenapa? Dia memilih mendengarkan”kakak” saja. Baiklah, memang bacaan saya tidak sefasih dan semerdu kakak-kakak itu. Anak sulung saya tidak mau lagi mendengar saya mengaji setelah dia terbiasa mendengar tilawah ahmad saud dan Thoha aljunaid.
Awalnya saya merasa biasa saja. Tapi kemudian ada seorang sahabat yang membangunkan alarm kesadaran. “Sunu, kamu udah keliling dunia kemana-mana, tapi kok hafalan segitu saja” Jleb. Panah pengingat yang tepat sasaran. Hafalan saya tidak banyak bertambah, bacaan saya belum bagus. Dan saya tidak membantah, karena si sahabat bisa menambah 2 juz dalam 2 minggu.
Keinginan kami untuk menanamkan kecintaan Quran kepada anak-anak perlu direview kembali. Palu godam seolah dipukulkan ke meja bernama hati. Seberapa jauh kesanggupan kami mengenakan pakaian yang disebut orang tua?
Saya menyaksikan bahwa identitas islam bisa terhapus dalam dua generasi, terutama bila berada di negeri dimana panggilan sholat tidak terdengar dari masjid. Lalu saya merasa sedih,khawatir, resah… Bagaimana kelanjutan keimanan dalam keluarga kami? Bukankah ini adalah warisan yang lebih berharga dibandingan harta dunia? Bagaimana anak keturunan kami bisa teguh mencintai identitasnya dalam tantangan pada jamannya?
Dalam al quran dikisahkan orang-orang sholeh mewasiatkan pesan tentang identitas diri kepada anak-anaknya. Tentang siapa Tuhan dan jangan menyekutukanNya. Kalau dipikir, sekarang ada kemudahan; mukjizat yang menjadi petunjuk sepanjang zaman. Ya, kitabullah yang diturunkan melalui Rasul terakhir.
Dalam keterbatasan waktu kami di dunia, semoga dicukupkan kesempatan untuk menghujamkan pasak-pasak identitas hamba dan kedudukan terhadap pemilik jiwa, membaca dan mengikuti petunjuk agar senantiasa berada dalam koridor menuju surga. Semoga dengan segala ketidak sempurnaan saya bisa menorehkan warna-warna kebaikan ke jiwa-jiwa dalam raga yang sekarang masih mungil menuju dewasa. …. hingga selamat mencapai tempat kembali mereka….
No comments:
Post a Comment