Keputusan sulit bagi setiap keluarga. Kabar baiknya, NY Times pernah menuliskan artikel dan membuat simulasi keuangan untuk kebutuhan dasar manusia akan papan ini, di Amrik tentu saja. Silakan telusuri. Bisa juga diseusaikan untuk negara lain saya kira, akan sangat membantu memberi gambaran apakah uang yang akan kita bayarkan sebanding dengan biaya/harga. Ada juga versi video penjelasan soal sewa vs beli di US, silakan akses video di khan academy, excel file juga tersedia.
Faktor pertimbangan dalam link di atas jauh lebih kompleks dibandingkan kesimpulan sementara saya selama ini :
+=+=+=+=+
Sewa : kalau sewa bulanan kurang dari 0.5% nilai properti.
Beli : kalau sewa bulanan lebih dari 1% nilai properti.
Antara 0.5% - 1% ,nilai wajar, pertimbangkan kemampuan finansial saat itu :-)
Nilai bangunan rumah di amrik berkisar $100-200 per square feet, atau 15-30 juta per meter persegi, karena harga tanah relatif murah, biasanya orang menaksir nilai properti dari luas bangunan saja.
Untuk harga di Indonesia saat ini (dengan kualitas yang bagus), perkiraan saya harga per meter perseginya 2-6 juta rupiah.
Bila harga suatu properti satu milyar dengan luas tanah 100 meter persegi dan luas bangunan 60 meter persegi,
nilai bangunannya paling mahal 360 juta, harga tanah sekitar 6 juta per meter persegi. Ini untuk rumah baru dibangun, tentu saja. Harga sewa yang masuk akal adalah kurang dari 60 juta setahun. (6% dari 1 Milyar).
Untuk rumah tipe 36 , luas tanah 72 m2, dengan 2 kamar tidur, 1 kamar mandi untuk keluarga muda, nilai intrinsiknya sekitar 300jutaan. Harga sewa yang masuk akal kurang dari 18 juta rupiah setahun.
Untuk rumah tipe 36 , luas tanah 72 m2, dengan 2 kamar tidur, 1 kamar mandi untuk keluarga muda, nilai intrinsiknya sekitar 300jutaan. Harga sewa yang masuk akal kurang dari 18 juta rupiah setahun.
Selanjutnya menyesuaikan dengan budget masing-masing.
+=+=+=+=+=+
Dengan harga rumah di OC yang tinggi, secara umum, lebih baik baik menyewa, apalagi jika kurang dari 5 tahun. masalah tempat tinggal ini benar-benar menyesuaikan visi misi jangka menengah/panjang sebuah keluarga.
Rumah adalah kebutuhan dasar, memiliki sertifikat rumah adalah pilihan. Secara ideal rumah menjadi pusat aktivitas, bukan hanya sekedar tempat tidur dan menyimpan barang. Artinya, lokasinya harus cukup dekat untuk aktivitas dengan berjalan kaki atau sepeda sehari-hari : sekolah anak dan kantor orang tua, tempat belanja kebuthan sehari-hari.
Sangat tidak efisien jika untuk aktivitas sehari-hari ini perlu ditunjang kendaraan roda empat. Terkecuali darurat : ada orang tua atau anak balita. Bila anggota keluarga cukup sehat fisik dan matang akalnya untuk kegiatan mandiri, rumah yang dekat dengan fasilitas aktivitas anggota keluarga sudah jelas pilihan utama. (halaman belakang, garasi, luas rumah dkk bukan faktor pokok).
Istri saya sudah menyatakan dengan jelas keinginan memiliki (sertifikat) rumah. Artinya bila ingin memaksimalkan rumah tersebut, kegiatan sosial-ekonomi anggota keluarga harus terpusat dalam jejari 5 km, maksimal 30 menit naik sepeda. Terkadang masalah sekolah anak yang jadi pertimbangan, namun insyallah akan saya bahas di tulisan berikutnya tentang solusinya.
Pengalaman pribadi saya sendiri, SD saya berada di seberang rumah. Bila saya lupa minum susu atau sarapan, maka almarhumah ibunda akan membawa gelas/nampan ke depan gerbang sekolah, lalu teman-teman & kakak kelas (yang sebagian besar tetangga) sudah hafal kebiasaan ini dan mencari saya untuk dihadapkan ke ibunda. :-P Itu kalau saya lagi rajin. Kalau sedang malas, maka baru berangkat 5 menit sebelum bel masuk berbunyi. Nyaman sekali bukan? Ortu tidak perlu antar jemput. Sebuah kemewahan sederhana.
Saya sendiri memimpikan rumah sederhana yang efektif, tidak banyak barang dan pemakaian ruang bisa maksimal. Pengalaman hidup di Jepang banyak berpengaruh. Ruang tidur dengan tatami dan futon akan menghemat ruang, tidak memerlukan dipan, jemur "kasur" lebih mudah, juga lebih sehat karena tempat tidur bisa 'disterilisasi' dengan sinar matahari. Kasur pegas? terlalu berat untuk dijemur.
Saya akan memerlukan halaman yang cukup luas untuk ternak ayam & ikan, serta menanam buah dan sayuran. Mahal donk... Mungkin saja. Namun bila tinggal di rumah seperti ini, artinya saya tidak commuting ke kantor dan bekerja 8 jam di luar lagi. Dengan memiliki sertifikat rumah dan rumahnya ditempati sendiri, kebutuhan dasar berupa sandang, pangan dan papan insyallah terpenuhi, saatnya pensiun dini, bekerja menekuni hal yang disukai. Yey! PR besar lagi :family resilient and flexibility.
Satu lagi, memilih rumah = memilih lingkungan, hal ini terkait dengan tetangga, keamanan, dan ketentraman batin. Pola Keep up with the Joneses, tentu saja bukan pilihan lingkungan yang bagus. Saya masih mengalami lingkungan dimana kita akan meminta tolong ke tetangga sebelum memanggil tukang saat ada masalah di rumah, saling memberi/meminta bumbu dapur lalu mengembalikan dalam bentuk masakan, pengajian lingkungan dari rumah ke rumah, saling sapa saat ketemu di jalan, dsb. Interaksi dengan manusia sangat menentukan kenyamanan. Bila waktu sehari-hari dipakai untuk 3-4 jam commuter, 8 jam bekerja lalu weekend digunakan untuk jalan-jalan, akan lebih sulit membangun koneksi 'batin' dengan tetangga. Ketergantungan akan mobil lebih mengikis lagi nilai sosial ini. Fenomena tidak kenal/bicara dengan tetangga kanan kiri sudah terjadi.
Rumah adalah kebutuhan dasar, memiliki sertifikat rumah adalah pilihan. Secara ideal rumah menjadi pusat aktivitas, bukan hanya sekedar tempat tidur dan menyimpan barang. Artinya, lokasinya harus cukup dekat untuk aktivitas dengan berjalan kaki atau sepeda sehari-hari : sekolah anak dan kantor orang tua, tempat belanja kebuthan sehari-hari.
Sangat tidak efisien jika untuk aktivitas sehari-hari ini perlu ditunjang kendaraan roda empat. Terkecuali darurat : ada orang tua atau anak balita. Bila anggota keluarga cukup sehat fisik dan matang akalnya untuk kegiatan mandiri, rumah yang dekat dengan fasilitas aktivitas anggota keluarga sudah jelas pilihan utama. (halaman belakang, garasi, luas rumah dkk bukan faktor pokok).
Istri saya sudah menyatakan dengan jelas keinginan memiliki (sertifikat) rumah. Artinya bila ingin memaksimalkan rumah tersebut, kegiatan sosial-ekonomi anggota keluarga harus terpusat dalam jejari 5 km, maksimal 30 menit naik sepeda. Terkadang masalah sekolah anak yang jadi pertimbangan, namun insyallah akan saya bahas di tulisan berikutnya tentang solusinya.
Pengalaman pribadi saya sendiri, SD saya berada di seberang rumah. Bila saya lupa minum susu atau sarapan, maka almarhumah ibunda akan membawa gelas/nampan ke depan gerbang sekolah, lalu teman-teman & kakak kelas (yang sebagian besar tetangga) sudah hafal kebiasaan ini dan mencari saya untuk dihadapkan ke ibunda. :-P Itu kalau saya lagi rajin. Kalau sedang malas, maka baru berangkat 5 menit sebelum bel masuk berbunyi. Nyaman sekali bukan? Ortu tidak perlu antar jemput. Sebuah kemewahan sederhana.
Saya sendiri memimpikan rumah sederhana yang efektif, tidak banyak barang dan pemakaian ruang bisa maksimal. Pengalaman hidup di Jepang banyak berpengaruh. Ruang tidur dengan tatami dan futon akan menghemat ruang, tidak memerlukan dipan, jemur "kasur" lebih mudah, juga lebih sehat karena tempat tidur bisa 'disterilisasi' dengan sinar matahari. Kasur pegas? terlalu berat untuk dijemur.
Saya akan memerlukan halaman yang cukup luas untuk ternak ayam & ikan, serta menanam buah dan sayuran. Mahal donk... Mungkin saja. Namun bila tinggal di rumah seperti ini, artinya saya tidak commuting ke kantor dan bekerja 8 jam di luar lagi. Dengan memiliki sertifikat rumah dan rumahnya ditempati sendiri, kebutuhan dasar berupa sandang, pangan dan papan insyallah terpenuhi, saatnya pensiun dini, bekerja menekuni hal yang disukai. Yey! PR besar lagi :family resilient and flexibility.
Satu lagi, memilih rumah = memilih lingkungan, hal ini terkait dengan tetangga, keamanan, dan ketentraman batin. Pola Keep up with the Joneses, tentu saja bukan pilihan lingkungan yang bagus. Saya masih mengalami lingkungan dimana kita akan meminta tolong ke tetangga sebelum memanggil tukang saat ada masalah di rumah, saling memberi/meminta bumbu dapur lalu mengembalikan dalam bentuk masakan, pengajian lingkungan dari rumah ke rumah, saling sapa saat ketemu di jalan, dsb. Interaksi dengan manusia sangat menentukan kenyamanan. Bila waktu sehari-hari dipakai untuk 3-4 jam commuter, 8 jam bekerja lalu weekend digunakan untuk jalan-jalan, akan lebih sulit membangun koneksi 'batin' dengan tetangga. Ketergantungan akan mobil lebih mengikis lagi nilai sosial ini. Fenomena tidak kenal/bicara dengan tetangga kanan kiri sudah terjadi.
No comments:
Post a Comment