Salah satu hal yang membuat shock di tahun pertama saya di amerika adalah betapa negara ini sangat mengandalkan kredit untuk kegiatan ekonomi. Kartu kredit sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal jebakan kartu kredit dan system ini sudah beberapa kali terbukti gagal meningkatkan taraf hidup rakyatnya. Kesenjangan ekonomi menjadi semakin lebar.
Tahun pertama harus dilalui dengan memutar otak agar bisa menyewa apartemen atau membeli kendaraan. Alasannya? Saya tidak punya kredit score.
Yes, dengan system perekonomian yang berdasarkan hutang, bila anda belum pernah berhutang dan membayar transaksi terkait hutang, anda tidak punya kredit skor. Tidak punya skor itu lebih buruk daripada memiliki skor yang buruk. Wew.
Saya pada akhirnya bisa menyewa
apartemen dan membeli kendaraan dengan bunga 0%, tapi pilihan untuk itu tidak
banyak.
Saya tahu bahwa krisis finansial
tahun 2008 diakibatkan oleh kredit subprime, gagal bayar sebab bank mengucurkan
kredit untuk masyarakat yang sebenarnya tidak sanggup membayar angsuran. Namun
saya baru ‘ngeh’ bahwa krisis itu disebabkan karena keserakahan bank! Bunga
untuk pinjaman ditetapkan dari credit score seseorang, secara rata-rata 5%.
Tapi bila terlambat membayar akan kena administration fee dan denda. Tahun 2008
pendapatan 60% keluarga amerika ditopang oleh 2 sumber, suami dan istri yang bekerja di luar rumah, dual income family sudah menjadi hal yang lumrah.
Keluarga menengah ke bawah biasanya
bekerja dengan gaji yang dihitung per jam. Bila terjadi sesuatu dalam
keluarga, maka salah satu suami atau istri harus sementara tidak bekerja untuk
mengurus keluarganya. Taruh anak sakit, sumber pendapatan keluarga akan
berkurang karena ibu tidak bekerja, sementara tagihan bulanan (rumah, mobil,
asuransi mobil, kesehatan) harus dibayar. Pada suatu titik, tagihan tersebut
tidak lagi mampu dibayar karena gap pendapatan dan pengeluaran makin lebar. Salah satu penyebabnya adalah orang cenderung mengambil barang termahal yang sanggup dicicil, bukan barang paling terjangkau yang bisa berfungsi sebagai kebutuhan.
Dalam hal cicilan rumah, bank
menawarkan re-financing : melunasi hutang pada bank lain, lalu peminjam mencicil
ke bank baru. Bunganya? Naik secara rata2 jadi 15%. Dengan kata lain, pencicil
rumah hanya terbebas dari satu hutang, ke hutang lain yang lebih jahat, hingga
akhirnya meletus lah krisis dan para pencicil gagal bayar harus kehilangan
rumahnya. 85% credit sub-prime ini di re-finance. Apakah ini membantu keluarga
miskin? Orang tua, keluarga muda yang tidak paham dan kaum minoritas yang akses
finansialnya terbatas adalah sasaran kredit jahat ini!
Dengan gagal bayar, kredit skor
seseorang menjadi jelek dan akses untuk mendapat hutang sehat menjadi tertutup.
Ada solusinya? Yes, kartu kredit bisa diberikan dengan bunga sangat tinggi, hingga
41% dalam setahun. Karena kebutuhan dasar harus dipenuhi, pilihan buruk ini pun
diambil dan semakian dalamlah hutang itu
tergali….
Belum selesai sampai di situ, bila
kredit skor sudah sedemikian buruk, sekarang bank tidak lagi memberikan akses.
Buka rekening di bank? Tidak bisa. Sementara itu gaji biasanya diberikan bukan
dalam uang tunai, namun cek. Bila seseorang tidak punya rekening di bank, dia
harus mencairkan cek itu ke ‘lembaga pencair cek’ dengan membayar komisi dan
fee lainnya. Biaya lagi.
Dengan system perekonomian yang
semakin canggih, tidak mempunyai akses rekening elektronik/digital menjadi
sebuah problema sendiri. Tidak bisa membeli sesuatu dengan uang tunai, maka
harus membuat ‘kartu transaksi sendiri’ dengan lembag keuangan bukan bank. Anda
memasukkan uang tunai, yang kemudian diubah menjadi uang elektronik. Dan tentu
saja ini tidak gratis. Terbaca polanya? Cek –uang tunai—uang elektronik.
Seseorang tanpa akses perbankan harus mengeluaran biaya ekstra untuk bisa
melakukan transaksi ekonomi.
Data dari biro sensus pemerintah
menunjukkan bahwa gaji rata2 keluarga amerika tahun 2011 sama dengan gaji pada
tahun 1989, padahal tahun 2011 lebih banyak keluarga dengan dual income.
Sekolah di amerika gratis dari TK
sampai SMA, namun wilayah dibagi
menjadi distrik2 sehingga para keluarga akan berebut untuk tinggal di
distrik yang ranking sekolahnya bagus. Akibatnya, harga rumah dan sewa
apartemen di distrik sekolah yang bagus akan meroket. Secara rata-rata naik 70%
dalam 30 tahun. Saya membaca kontrak sewa property dalam 5 tahun, tiap tahun
naik 5%. Bila sewa apartemen per bulan saat ini 1500 dolar, dalam 20 tahun akan
naik dua kali lipat!
Seiring dengan meroketnya harga property,
sebagian besar keluarga hanya akan mampu menyewa. Kepemilikan property akan
berubah dari individu ke perusahaan-perusahaan besar, sehingga control terhadap
kenaikan harga property semakin dikuasai konglomerasi raksasa. Siapa yang
memiliki asset riil rumah itu? Saat krisis dan Saham yang berguguran, siapa
yang sekarang menjadi pemiliknya?
Bayangkan bila pendapatan stagnan, mau
tidak mau harus ada sumber pendapatan lain untuk kelurga. Istri harus bekerja,
bukan pilihan.
Penegluaran untuk rumah 70% up,
kendaraan harus punya dua, 12% dari income untuk membayar cc, dan….kelas
menengah dalam satu tahun membayar 90 milyar dolar untuk bunga kartu credit!
Bunganya saja.
Untuk mencapai taraf kehidupan yang
setara dengan orang tuanya, generasi milenial harus bekerja dengan
sangat-sangat-sangat keras. Status kelas menengah yang dahulu bisa dicapai
dengan pendidikan SMA sekarang bahkan sulit digapai dengan gelar sarjana.
Sementara itu biaya pendidikan tinggi juga teramat tinggi, memunculkan solusi
perampas kesejateraan masa depan : student loan.
Lulus dengan gelar sarjana belum tentu
langsung mendapat kerja, para mantan mahasiswa ini akhirnya kembali tinggal
dengan orang tuanya, bekerja paruh waktu untuk membayar tagihan bulanannya.
Mereka yang diterima bekerja sudah terkena beban cicilan student loan, membayar
cicilan mobil dan paling besar biaya tempat tinggal. Tingginya biaya hidup
membuat usia menikah menjadi semakin tua, solusi lain pun hadir : tinggal
bersama tanpa ikatan, terkadang beberapa anak biologis terlahir dari pola hidup
seperti ini, sebaliknya ada pula, menikah dengan status DINK, double income no kid(s).
Orang tua yang menikah dan memutuskan
untuk mempunyai anak akhirnya harus terus ‘berlari’ untuk sekedar survive.
Bisnis daycare pun berkembang pesat.
Satu tahun ini saya merasa sangat
tidak nyaman dengan system yang berlaku di negeri ini. Di negara bagian tempat
sekarang saya tinggal, biaya hidup termasuk yang paling tinggi di US.
Orang-orang terasa ‘berlari terus’ untuk sekedar memompa jantung keuangan.
Semua dihitung dengan materi yang sarat perangkap
di sana-sini, digelembungkan dengan hutang yang menghancurkan.
Saya jadi ingat
supernova yang cahayanya akhirnya sampai bumi dan bisa dilihat dengan mata telanjang bulan Juni 2015 di
Chile. Para ilmuwan menamakannya, ASASSN-15lh: Supernova paling benderang yang pernah tercatat dalam sejarah, kalau terjadi
di galaksi kita, bumi bisa mengalami siang terus selama berminggu-minggu.
Alhamdulillah, bintang ini berasal dari galaksi yang jauh.
Usia bintang yang mengalami supernova ini 3.80 milyar tahun
cahaya. Artinya supernova terjadi 3.8 milyar tahun yang lalu dan kita baru bisa
menyaksikannya di bumi, 3 tahun lalu…. MasyaAllah.
Saya teringat dengan hutang, dia terjadi sekarang, akibatnya
bisa bertahun-tahun kemudian, kita kenal dengan krisis keuangan. Krisis ini
bisa terjadi di negeri yang jauh dan kita hanya mendengar beritanya saja, tidak
tahu dahsyatnya seperti apa.
Bila kita tidak punya uang, tapi perlu suatu barang, kita
akan berhutang. Malu-malu pinjam ke orang, perlu saksi dan tercatat, bila
mengikuti ajaran islam. Hutang adalah beban, tapi di negeri ini akses hutang
semudah menggesek kartu dalam genggaman. Tidak punya kartu kredit? Jangan
kuatir, begitu anda punya kredit skor yang bagus, kartu kredit diantarkan
sampai pintu rumah anda, tawaran datang bertubi-tubi.
Jangan sampai budaya
hutang mendarah daging hingga orang sudah tidak tahu arti “uang” lagi. Financial literacy terasa penting sekali.