Amerika sedang sibuk dengan pemilu dan saya pun tengah sibuk mengurusi tugas akhir. Sebelumnya saya berharap kalau salah satu kandidat kuat Presiden Amerika benar-benar berani beda sesuai dengan semboyan yang digemborkan waktu kampanye. Kenyataanya simpati saya langsung buyar dengan berbagai berita yang isinya menyatakan bahwa dia tak ada bedanya dengan para pendahulunya. Tampaknya jargon bahwa siapapun yang menjadi presiden Amerika tak akan ramah terhadap islam tetap tak tergoyahkan. Kenapa yah agama samawi justru dijadikan penganutnya sebagai sumber konflik? Hingga kekuasaan dalam negara dan fenomena dalam pemerintahan menyimpan berbagai kepentingan dibaliknya.
Huh, saya tidak sudi menyumbangkan waktu lebih banyak untuk memikirkan pemerintah negara yang sudah jelas bukan kawan yang baik.
*+*+*+*+*
Hari ini saya selesai ujian akhir. Berbeda dengan ujian-ujian sebelumnya, hari ini tidak memberikan kesegaran, aroma kebebasan yang biasanya saya nikmati seketika. Masih ada tanggungan lain yang masih jauh dari selesai.
Nah, kali ini saya teringat bahwa adik saya pun akan menghadapi ujian akhir tahun 2008 ini. Sekarang istilahnya apa yah? UN? Unas? Ujian Nasional lah.
Sewaktu di telepon sih, anaknya santai-santai saja. Dia lebih bingung mau melanjutkan kemana setelah lulus SMA. Sebagai kakak sekaligus ayah yang harus membiayai sekolahnya, saya ikutan mikir. Tapi saya baru sadar kalau saya tidak mengenal adik saya dengan baik. Setidaknya saya tak pernah tahu bakat atau jurusan apa yang cocok dengan minat dan hobinya. Juga kemampuannya. Setiap pembicaraan di telepon atau obrolan di YM, dia kuat sekali pengen kuliah di Bandung. Yay! Mahal! Selain itu juga jauh, dan saya tidak (belum) yakin apakah adik perempuan saya itu bisa mandiri dengan baik nantinya.
Apa saya overprotective? Saya pernah memikirkannya saat dia protes dengan banyaknya larangan yang harus dipatuhi. Sepertinya sesuatu untuk kebaikan orang lain itu harus disampaikan dengan lebih bijak. Lalu saya mencoba berpikir seperti dia, usia anak SMA yang sedang tak tentu arah menentukan pilihan. Bukankah saya adalah seniornya yang sudah pernah mengalami gejolak seperti ini? Konsekuensinya, saya harus memberikan solusi, alternatif sekolah lanjutan yang terjangkau, tak terlalu jauh, dan tidak membuatnya tersiksa dengan pelajaran yang dibenci.
Tak terlalu jauh? Ahaha. Awal dia naik kelas XII, saya malah menyarankan untuk mencoba beasiswa ke Jepang. Entah karena dia benar-benar tidak tertarik, pada telepon yang terakhir kali dia mengatakan takut untuk hidup di Jepang. Saya sudah kehabisan ide untuk memotivasinya.
Sebenarnya ada beberapa pilihan kota seperti Surakarta, Semarang, atau Yogyakarta yang menjadi pilihan saya. Tapi saya belum bisa memutuskan. Nah, kalau saran saya dituruti dan justru menjerumuskan dia ke lobang derita gimana atuh? Padahal dia ingin masuk dengan PMDK yang berkasnya akhir bulan ini sudah harus dikirimkan. Ahh, pusing. Tapi alhamdulillah keluarga di rumah dan dia juga mau berbagi pusing. Yah, kita lihat saja nanti alternatif apa yang bisa saya usulkan dua minggu lagi.
No comments:
Post a Comment