Hujan. Seharusnya saya segera meraih sajadah waktu dhuha ini, namun konsentrasi saya lari entah kemana. Padahal waktu hujan termasuk saat terbaik untuk berdoa. Suara bising mesin meraung sejak pagi, anak-anak yang memindahkan barang, langkah kaki, tawa, pintu yang terbanting, pengumuman dan panggilan dari kantor asrama menyebabkan ketenangan pagi yang dihiasi hujan tidak bisa saya nikmati.
Saya sudah menyelesaikan tranfer barang ke kamar baru yang minim privasi. Namun belum ada kata OK atas pemeriksaan kamar lama saya. Masih haruskah saya menggosok lantai? Apakah saya harus mengganti biaya perbaikan dinding yang terkoyak? Hmm... mungkin ketidakpastian ini yang membuat batin saya sulit diajak menikmati damai. Satu lagi, tiba-tiba saja saya merasa sepi. Begitu sepi. Tak ada rekan se-angkatan yang masih di asrama. Satu orang pergi wisata ke Turki, seorang lagi bersenang-senang di Tokyo, dan sisanya sudah keluar dari asrama seminggu yang lalu. Ah, saya tak terbiasa bercengkrama dengan sendiri.
Saya sudah menyelesaikan tranfer barang ke kamar baru yang minim privasi. Namun belum ada kata OK atas pemeriksaan kamar lama saya. Masih haruskah saya menggosok lantai? Apakah saya harus mengganti biaya perbaikan dinding yang terkoyak? Hmm... mungkin ketidakpastian ini yang membuat batin saya sulit diajak menikmati damai. Satu lagi, tiba-tiba saja saya merasa sepi. Begitu sepi. Tak ada rekan se-angkatan yang masih di asrama. Satu orang pergi wisata ke Turki, seorang lagi bersenang-senang di Tokyo, dan sisanya sudah keluar dari asrama seminggu yang lalu. Ah, saya tak terbiasa bercengkrama dengan sendiri.
Mungkin saya hanya tidak rela merasakan perpisahan, setelah banyak ikatan dan jalinan yang terbangun selama tiga tahun. Hal yang sama saat hari terkahir di asrama SMA 5 tahun yang lalu, terasa berat untuk meninggalkan kamar dan kampus. Rasanya masih ingin berlama-lama menikmati masa-masa SMA. Bukan kampus, bangunan, atau masakan yang membuat saya tak ingin pergi melainkan eksistensi orang-orang yang dengan mereka saya berinteraksi. Saat berpisah itu berat. Meski pada kenyataannya kesibukan dan aktivitas di tempat baru, pertemuan dengan orang baru, tantangan baru, perlahan mengikis ikatan lama, dan secara pasti menumbuhkan jalinan baru.
Perpisahan selalu berawal dari pertemuan. Pada mulanya tidak kenal, lalu saling sapa, kenal, menjadi dekat, lalu sewaktu berpisah terasa begitu berat. Kalau tak ingin merasakan perpisahan, tak usah ada pertemuan. Tapi tak mungkin. Baca blog Sahrul, dia meminjam kalimat Jikustik : Pertemuan adalah kesalahan yang indah. Ya, makanya saya pun dengan rela dan tanpa terpaksa menjumpai berbagai kesalahan yang indah.
Ahaha, akhir-akhir ini tulisan saya hanya berkutat masalah keseharian. Ternyata bagi saya, menumbuhkan ide menulis memerlukan beberapa kondisi : kestabilan hati, wawasan baru, stimulus pikiran. Terutama yang terakhir. Pikiran saya dipenuhi rencana pindahan, pengepakan barang, cara pengiriman, perapian ditambah penggunakan energi jasmani yang menyisakan kelelahan.
Saya ingin jalan-jalan! Sejenak ingin lepas dari himpitan tekanan dalam kamar di penghujung musim dingin.
Menjelang waktu Dhuhur, matahari menampakkan wajahnya setelah terhalang titik-titik air yang menjelma garis. Setelah pengecekan kamar lama selesai, saya ingin pergi.
No comments:
Post a Comment