Monday, 3 March 2008

Plesir Fukushima(2)



Hari kedua. Setelah subuh saya memandangi danau Inawashiro yang katanya danau terbesar ketiga di Jepang. Sampai tahun lalu danau ini mempunyai tingkat kebersihan dan kejernihan air nomor wahid, namun karena pencemaran rumah tangga prestasi itu terpaksa lepas tahun ini. Sembilan puluh menit kemudian saya sarapan. Menunya benar-benar "wah". Hotel yang dijabani atlet dari berbagai penjuru dunia memang hebat. Saya tak perlu kebingungan mencari makanan halal. Produk susu, ikan, dan sayuran tersedia dalam berbagai wujud masakan.



Saya segera bersiap menuju area ski-snowboard begitu lift yang membawa ke lereng bagian atas beroperasi pada pukul 08:30. Ini bukan pertama kalinya saya meluncur, namun masih ada kesulitan untuk meluncur sambil menghadap ke belakang. Hari ini saya berniat untuk menyempurnakan teknik meluncur ini. Saya benar-bener ingin bisa, apalagi seorang kawan Jepang saya yang baru pertama kali main snowboard sudah bisa meluncur menghadap belakang. Kalau dia bisa kenapa saya tidak?



Saya pun meluncur sambil berusaha memutar kaki, memindahkan titik berat badan, menggoyang pinggang. Hasilnya saya terjatuh saat hampir menghadap belakang karena kehilangan keseimbangan. Kelebihan snowboard dibandingkan ski adalah bisa mengatur kecepatan meluncur pada lereng curam sekalipun, juga lebih mudah untuk rem. Hanya saja, siapkan celana yang agak tebal, karena pantat akan sering dipakai untuk rem.


Tak lama kemudian, ermm, sekitar 45 menitan lah, saya sudah mulai bisa meluncur menghadap ke belakang, tapi belum stabil, kadang bisa, kadang gagal. Setelah mengulang tiga kali meluncur dari atas, kepercayaan diri mulai muncul. Hehe, lalu saya bisa bergaya keren mengajari cara meluncur menghadap belakang kepada rekan malaysia dan Mongol.







Sisa dua jam sebelum pulang, saya ingin mencoba naik lebih tinggi. Tentu saja levelnya sudah bukan pemula. Kalau tak ada tantangan, mana mungkin ada peningkatan. Tapi ternyata ngeri. Sampai di atas, saya dan dua orang kawan pada foto di atas hanya tertawa-tawa. Jalur luncuran tidak nampak setelah 5 meter karena curamnya. Apalagi jalur di sebelah kanan kami baru saja dipergunakan untuk pertandingan olahraga musim dingin tingkat internasional 2 minggu yang lalu. Levelnya terlalu beda. Bagaimana kami bisa turun?


Setelah saling menyemangati dan membisikkan ke diri sendiri bahwa kami pasti bisa turun mulailah kami meluncur dengan slow mode. Saya sendiri lebih takut kalau menyusup terlalu ke kanan atau kiri yang artinya keluar jalur. Jalurnya sempit, kanan kiri jurang. Hiyy!! Kemampuan mengontrol papan luncur saya masih bernilai 65 dari 100.


Sampai di bawah, ternyata kami selamat. Lalu saya coba naik lagi sendiri. Owh, cuaca buruk, salju tiba-tiba turun, dan puncak luncuran tadi diselimuti kabut. Jarak pandang hanya 5 meter. Tapi saya tetap meluncur. Kalau tidak turun, bagaimana mau pulang?

Lagi-lagi saya sampai bawah dengan selamat. Maksudnya, saya tidak perlu memakai pantat untuk rem. Karena sudah dua kali berhasil, akhirnya saya sok berani mengajak seorang junior dari Thailand. Saat naik sampai atas itulah ada "kejadian".


Junior saya tiba-tiba mengtakan tak mungkin bisa turun. Saya pikir dia bercanda. Saya berikan motivasi dan semangat. Akhirnya dia mau mencoba. Tapi baru 2 meter langsung menjatuhkan diri. Ah, yah. Saya lupa kalau tak bisa memberikan banyak masukan karena dia bermain ski. Akhirnya dia bilang agar saya duluan saja, dia akan turun pakai pantat. Beneran tidak apa-apa kah? Saya yang sudah membuat dia ikut sampai atas merasa bersalah.


Okelah. saya meluncur pelan-pelan sambil menunggu dia sampai. Tapi saya pikir pilihan ini salah. Akan lebih cepat kalo saya meluncur ke bawah, mencari bantuan, lalu kembali ke atas untuk menolong dia turun. Wah, karena ada motivasi menolong orang, saya mendapat keberanian lebih untuk meluncur lebih melaju.


Di tengah jalan, kebetulan saya bertemu dengan dua orang kawan saya (di foto). Langsung saja saya ajak ke atas untuk memberikan bantuan. Awalnya mereka ogah naik lagi ke atas karena sudah merasakan curamnya lereng. Namun dengan kondisi seorang junior yang memerlukan pertolongan, mereka rela juga menemani saya naik lift sampai atas.

Ternyata junior saya tidak jadi turun dengan pantat. Dia menunggu di pos sambil negosiasi apakah boleh kembali turun memakai lift. Sayang sekali tak boleh. Karena ada tambahan 3 orang lain, kami foto dulu. Jarang bisa nampang di lereng yang sama dengan atlet internasional. Hihi, bukannya langsung nolong. Setelah dimotivasi 3 orang seniornya dia berani juga menuruni lereng dengan berjalan. Saya bantu membawa papan ski nya sambil meluncur pelan duluan.


Sampai di bagian yang agak datar, kembali jurus bujukan dilancarkan. Alhamdulillah dia mau mencoba meluncur dengan papan ski. Begini lebih cepat, karena satu jam lagi, bus yang membawa kami pulang dijadwalkan berangkat. Singkat cerita, misi penyelamatan junior berhasil dituntaskan.


Satu pelajaran yang saya peroleh kali ini :


"Kalau dia bisa kenapa saya tidak" bagus untuk motivasi diri sendiri, tapi belum tentu berlaku kebalikannya. Saya berpikir "kalau saya bisa, kenapa junior saya tidak" yang akhirnya membuat junior saya mendapat kenangan buruk dalam wisata kali ini.

No comments: