Tuesday 15 January 2008

Makanan yang Hilang

Jepang yang terkenal ketat masalah impor barang aku pikir sedikit keterlaluan. Kardus yang sedikit lecet atau cacat sedikit pada barang di kargo yang sampai akan disortir dan dibuang meski cacat yang ada tidak mempengaruhi kualitas barang. Makanan siap santap yang dijual di minimarket pun harus diberesken lebih cepat dari tanggal kadaluarsanya, sayur dan buah yang tak sempurna pun harus tersisih menjadi sampah tanpa sempat bertengger di rak pasar. Meskipun Jepang mengimpor 60% kebutuhan pangannya, 40% sampah basah berasal dari makanan rumah tangga yang tak habis dikonsumsi,belum lagi makanan siap santap yang dibuang sebelum kadaluarsa maupun bahan pangan yang bahkan belum tersentuh tangan. Kelaparan di Jepang bukanlah masalah kekurangan, melainkan distribusi.

Menyadari kenyataan ini, berdirilah bank makanan di Jepang yang berperan dalam menyalurkan bahan pangan layak konsumsi yang dianggap tak pantas sampai ke konsumen. Keberadaannya menguntungkan pihak 'pembuang' yang tak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk pembersihan sekaligus membantu kaum miskin dan terlantar yang kesusahan memperoleh makanan. Tuna wisma mendapat jatah makanan ini tiap pekan, panti asuhan untuk anak terlantar pun tak perlu khawatir dengan masalah gizi. Makanan yang ada tak perlu mubazir terbuang sebelum waktunya.

Masalahnya, keberadaan bank makanan di Jepang belum mampu mendistribusikan seluruh 'sampah' yang ada ke tangan yang membutuhkan. Solusinya ada 2, menambah kekuatan personil bank makanan, atau mengurangi produksi 'sampah'. Setidaknya, masyarakat mulai diajak untuk tidak berbelanja berlebihan, membuat makanan secara berlebihan, atau sebisa mungkin tidak menyisakan makanan.

Padahal tahun lalu banyak terungkap kasus pemalsuan bahan makanan, penggunaan susu basi untuk jajanan, pencampuran daging sapi dengan babi dan ayam, hingga pemanjangan tanggal kadaluarsa. Seharusnya mereka tak hanya ketat terhadap barang impor, tapi juga hasil produksi dalam negeri sendiri. hmmph... .
Rasanya masalah pangan kita sedikit beda dengan Jepang, selain masalah distribusi, Indonesia juga tersendung masalah ketersediaan. Bank Makanan sepertinya masih terlalu dini untuk muncul.btw...

*Setiap hari 35000 anak di dunia meninggal karena kelaparan.
*Anak-anak di Nicaragua harus mengais sampah untuk hidup, makanan adalah barang langka.
*Dibalik tembok restoran salah satu negara afrika, orang-orang kelaparan menunggu sisa makanan tamu.


Haiyahh.. koq jauh-jauh amat. Di Indonesia sekarang aja lagi krisis tahu tempe. Negara luas gini kok yah ikut kocar-kacir saat Brazil n Amerika dilanda kekeringan. Padahal tahu tempe udah jadi makanan sehari-hari rakyat kecil. Beginilah kalau kedelai sebagai bahan baku lauk rakyat masih 70% impor. Lalu saat petani di negara pengekspornya mengalihkan tanaman komoditas dari kedelai menjadi jagung sebagai bahan baku bioethanol -haiah, isu lingkungan lagi kahhh-, produksi dalam negeri gak mampu mencukupi kebutuhan masyarakat. Adalagi kemungkinan sanak saudara di Indonesia masih harus bersabar setidaknya 2 tahun ke depan, karena sampai 2010 harga kedelai masih dipatok di tingkat harga yang sekarang.

Pantas saja waktu nelpon rumah terakhir kali, ibu cerita kalau tempe seharga 1000 rupiah besarnya menyusut. Mungkin pedagang mikir daripada menaikkan harga, mendingan menyesuaikan ukuran sahaja. Lagian masih banyak juga yang masih kesusahan memperbaiki rumah akibat banjir kemaren. Huhuhu... Jangan sampai tahu-tempe menjadi makanan yang hilang dunk...
Kembalikan tahu tempe-kuuuu!!!



link :
(salah satu foodbank di Jepang)

No comments: