Friday 11 January 2008

Pentas Maya


Kalau dunia ini panggung sandiwara dan manusia adalah para pemainnya, entah berapa banyak topeng perilaku yang diperlukan. Episode-episode kehidupan silih berganti dan senantiasa terrekam dengan baik, tanpa cacat, yang nantinya harus dipertanggung jawabkan. Pemain pun kadang melakukan kesalahan, tidak sesuai naskah, tak sesuai kemauan sutradara. Sayangnya, para pemain tak bisa memutar waktu untuk kembali, dan kesalahan-kesalahan yang terjadi tersimpan sebagaimana adanya, tanpa mungkin diperbaiki, tanpa mungkin ditambah efek atau manipulasi . Rekaman yang begitu murni.

Aku masih beruntung.
Sang Sutradara Hidup begitu menyayangiku, meski entah sudah berapa kali kesalahan yang aku lakukan, kesalahan yang terkadang terlalu bodoh untuk terjadi. Dia selalu mengingatkanku secara tak langsung, melalui para pemain lain yang menjadi karibku, melalui para pemain senior yang sudah mumpuni di atas pentas, melalui episode-episode di panggung lain yang aku saksikan. Terkadang melalui latar tempat yang terlalu sempurna Dia ciptakan.
Kemarin, kembali aku diperlihatkan kepada indahnya langit senja yang temaram, saat mentari nyaris tenggelam. Awan ditembusi sinar-sinar lentera langit yang mulai padam pada batas pergantian siang dan malam. Pemandangan yang membangkitkan kembali mahligai hati yang hampir remuk redam. Retak berserak di tengah nyanyian alam.

Aku sangat beruntung.
Aku hidup, aku bisa melihat, mendengar, meraba, merasa, aku selalu punya tempat bergantung, aku punya teman, aku bisa membantu orang, aku tahu kemana tempat yang bisa menjadi pelarian.

Aku begitu beruntung.
Kesalahan yang aku lakukan dijaga dengan rapat, tanpa meninggalkan bau pesing, kecut, atau busuk yang menempel. Tak terbayang bisa setiap kealphaan yang aku lakukan disimbolkan dengan bau.- Mungkin tak akan ada orang yang tahan berada di dekatku.- Satu hal yang membuatku masih punya muka untuk berkumpul dengan para pemain yang menurutku terbebas dari bau, yang harum mewangi sepanjang waktu.

Aku sangat beruntung.
Panggung tempatku berperan sangat nyaman, tak ada amukan, tamparan, penghancuran, atau pengusiran. Tak ada peran orang-orang tertekan dari kebebasan akan keyakinan, tak ada permusuhan yang menyakitkan. Aku tahu peran-peran sulit yang harus diperankan dalam beberapa panggung lain di luar sana. Peran anak-anak yang tertindas, peran orang tua yang kehilangan anak, peran orang-orang yang kehilangan hak. Tentu gaji mereka lebih besar, tentu imbalan mereka tak bisa dibandingan dengan peran-peran yang selama ini aku mainkan. Tak bisa dibandingan. Tak bisa kubayangkan bila aku yang harus menjadi aktor di panggung seperti itu, entah seberapa banyak air mata, keringat dan darah yang harus aku kerahkan untuk berperan dengan baik. Sampai saat ini aku hanya mampu menyaksikan, membeli karcis mengisi sumbangan, atau menggoyangkan tangkai-tangkai doa agar sarinya sampai ke haribaan. Kita memandang langit yang sama, mentari yang sama, rembulan dan bintang yang sama, menyentuh lautan yang terhubung ke seluruh penjuru, hanya peran-peran lah yang terkadang membedakan...

Terima kasih, Sutradara Hidup, yang masih memberikanku kepercayaan untuk tetap hidup. Memberikanku kes4an untuk memperbaiki kesalahan yang aku lalukan, memberiku entah berapa episode dan skenario lagi yang harus aku perankan.
.....
.....
.....

No comments: