Wednesday 23 January 2008

Tak Harus Pandai Bicara

Ada beberapa teknik psikologi untuk membuat sebuah percakapan menarik bagi dua orang yang baru pertama kali bertemu. Inilah yang dibahas dalam siaran tameshi-gatten malam ini di NHK (TVRI nya Jepang). Sebenarnya aku menonton tayangan ini pada awalnya untuk mengusir sepi dalam kegiatan kerja bakti bersih asrama yang dilakukan tiap Rabu malam. Ternyata berbagai pengetahuan populer sehari-hari dikupas secara menarik dan mudah dipahami, sehingga meski bermula dari iseng, kini berubah menjadi suatu keperluan.

Menurut episode kali ini, untuk membuat suatu percakapan hidup antara dua orang yang baru pertama kali bertemu tidak mutlak tergantung pada sifat dasar seseorang. Apakah seseorang yang memang banyak bacot, cerewet, mahir berbual-bual itu selalu bisa membuat percakapan hidup? Pada awalnya memang iya. Tapi yang perlu diingat, percakapan tidak bisa dilakukan seorang diri. Makanya seorang yang pandai bicara sekalipun bisa kebingungan mencari bahan pembicaraan tergantung lawan bicaranya. Katanya, berbeda saat mendengar lolongan anjing atau jeritan monyet, ketika mendengar suara manusia, otak kita secara otomatis mengaktivkan bagian bicara selain bagian pendengar. Secara alami, saat ada yang mengajak bicara, kita tergerak untuk menanggapi. Oleh karena itu, siapapun bisa menghidupkan suasana dalam percakapan asal tahu beberapa teknik berikut.


" Anggap Lawan bicara adalah cermin"

Bagaimana bila lawan bicara kita adalah cermin? Sosok yang ada di hadapan kita adalah diri sendiri. Awalilah dengan senyum. Ya ya, bukankah senyum adalah ibadah? Bayangkan bila seseorang bicara tanpa emosi, datar, tanpa ekspresi. Tentunya suasana tak ceria. Dan ini berpengaruh pada lawan bicara. Sepanjang orang itu normal, bila lawan bicara berbincang sambil tersenyum, insyaAllah dia akan ikut tersenyum. Tapi apa yang terjadi bila kita sudah tersenyum, mencoba mengajak bicara dengan berbagai topik, tapi lawan bicara acuh saja? Jadi gak enak sendiri khan? Tersenyumlah, amak orang lain pun akan membalas dengan senyuman.


Intinya tak perlu menjadi orang yang pandai bicara, cukup menjadi orang yang mudah diajak bicara. InsyaAllah. Sewaktu menjadi orang baru di suatu lingkungan biasanya kita akan memilih orang yang nampak paling mudah diajak bicara, bukan? Terlepas diri kita termasuk orang yang pandai berbicara atau tidak, lawan bicara yang pertama kali dicari adalah yang (nampak) mudah diajak berbincang.
Setidaknya, salah seorang dosenku pun bercerita tentang beberapa anak yang ikut ujian masuk dengan suisen (PMDK? PBUD?) kemarin. Ternyata dalam rapat penentuan, dosen ini memilih seorang anak yang mengucapkan salam dengan lantang, senyum, dan mantap mengikuti wawancara. Tipe orang yang mudah diajak bicara dan bisa diharapkan, katanya. Hmm...

Next! Tanpa melupakan senyum, tirulah perilaku lawan bicara. Misalkan pembicara menggerakkan tangannya, lalu kita meniru gerakan yang dia lakukan. Dengan cara ini akan mengurangi degap jantung karena gugup atau tegang, terutama pada saat jumpa pertama. Lawan bicara memegang gelas minuman, kita pun bersiap minum. Lawan bicara menggerakkan tangan ke dada, kita ikutin. Lawan bicara tertawa, kita ikut tertawa. lawan bicara buang angin, kita pun.. -oops. klo ini gak ikutan deh- Yang perlu digarisbawahi, jangan sampai gerakan kita terkesan menghina, harus luwes dan biasa.

Selain meniru bahasa tubuh lawan bicara, satu lagi yang membantu menghangat suasana adalah dengan mengulang kata-kata yang diucapkan.
"Tadi pagi saya menggorenng nasi untuk sarapan..."
"Nasi goreng untuk sarapan ya?"
"Iya... semalam sisa banyak, sayang kalau dibuang"
"Betul, sayang kalau dibuang."


Atau,

"Tahu gak hari ini salju turun loh! Wahh, lebat banget udah 2 tahun gak turun!"
"Eh, yang bener? turun sejak jam berapa?"


Errmm... contohnya jelek yah >___+;


Selanjutnya adalah memulai sedikit tentang topik privat. Sesuai falsafah bahwa lawan bicara adalah cermin, dengan memulai topik yang agak pribadi, lawan bicarapun akan terbuka untuk menceritakan tentang kehidupan pribadinya. Contoh (lagi2).

"bla bla bla blaaaaa..."
"Oh iya, anak saya tahun ini lulus SMA, tapi masih belum memutuskan melanjutkan kemana..."
"Oh yah, saya sih gak punya anak, tinggal berdua dengan istri. Tapi..."


Tuh khan, lawan bicara juga mulai terbuka tentang kehidupan pribadinya (huehehe, namanya juga contoh). Faktor pendukung "ramainya" percakapan, kalau dirangkum jadinya seperti berikut :


1. Senyum, masukan emosi dalam percakapan.
2. Pakai bahasa tubuh, setidaknya tiru gerakan tubuh lawan bicara.
3. Mengulang kata-kata lawan bicara.
4. Mengutarakan topik pribadi


Dengan menerapkan 4 poin di atas, insyaAllah siapapun bisa menjadi orang yang mudah diajak bicara. Kalau mudah diajak bicara tentunya lebih banyak orang yang sukarela menjadi lawan bicara. Begitu katanya. Mungkin juga bisa terapkan dalam wawancara. Soalnya dari tiga universitas yang aku ikutin ujian wawancara, dua dimana aku ikuti dengan senyum dan rileks tuh lulus. Satu lagi gagal (selain karena nilai ujian gak cukup, hiks), yang bikin kecewa sih wawancara tidak berlangsung dengan baik. Alasannya : Gagap abis bangun tidur. Catet : Jangan Tidur sebelum wawancara! - Hmm, paling tidak kalau pun gagal, tapi sewaktu wawancara bisa ikut dengan mengungkapkan apa yang ingin kita katakan, perasaannya lain gak sih? Paling tidak, tak ada penyesalan. Ahh andai saja waktu wawancara bisa begini... Huhuhu, tak ada andai-andai dalam realita euy. Kalau andai jadi nyata, sejarah bisa berubah.

Back to topic...


Ngomong2 soal cermin, Eh, bukankah kita sudah sejak kecil belajar dari meniru? Kita bisa bicara karena meniru bahasa yang dipakai di sekeliling kita, mulai logat, intonasi, dan kosakata. Kita tumbuh sambil meniru kebiasaan orang-orang disekitar kita. Bukankah begitu pada awalnya? Kemampuan akal manusia lah yang kemudain menyaring mana yang cocok, mana yang tidak. Kegemaran lah yang memilih mana yang disuka mana yang bukan. Tak jarang aku pun sering menempatkan orang seperti diri sendiri. Kalau aku tidak keberatan meminjami catatan, aku pikir orang lain pun senang-senang saja meminjamkan catatan. Kalau aku pikir sate itu enak, orang lain pun aku anggap suka dengan sate. Hmm, padahal belum tentu.


Bagaimanapunnn, sesuai tema tulisan kali ini, untuk menjadikan percakapan menarik, insyaAllah bisa dipoles dengan catur sila (halahh) di atas. Bagaimana menurut anda?

No comments: