"Mari bertemu di Shinjuku, west exit. Aku akan menunggu di sekitar wicket."
Hari itu penghujung April. Sakura sudah luruh berganti hijau daun. Langit muram, jejarum air menghujam dari awan-awan kelabu yang bergelayut di atas Tokyo. Sebuah pertemuan direncanakan akan terjadi siang itu. Perjumpaan setelah 6 tahun. Seberapa jauhkah diri masing-masing berubah? Reuni ini seolah menjadi cermin yang memantulkan sosok pada saat titik berpisah yang menjadi awal langkah menapaki jalan yang berlainan arah.
"Waaaa!! Kamu sudah mirip orang Jepang!" gadis itu sedikit memekik saat melihat lelaki berbaju marun yang melambaikan tangan di udara berjalan mendekat.
"Huekekek. Gak mungkin lah. Gimana kabarnya?"
"Baik."
"Okkey. Mau makan apa? Sushi, tempura, udon? Atau mau coba kare?"
"Eh? Selama di Jepang aku belum pernah makan kare. Memangnya ada yang halal?"
"Ada dooonkkk! Jadi makan kare aja kah?"
"okke~!"
"Seeppp! Ayo, ambil jalan ke sini!"
Sosok mereka melebur dalam keramaian Shinjuku, melewati trotoar yang dipadati manusia, menembus udara yang entah kenapa terasa dingin. Hujan hari itu tak hanya menurunkan air, juga suhu.
***
"Bagaimana kabar teman-teman di sana?"
"Hmm... Sudah pada kerja. Hampir semuanya di perusahaan semikonduktor."
"Wow. Lah kamu sendiri?"
"Peneliti. Tapi tidak berhubungan dengan tesis ku waktu S1."
"Yah... kalau sudah kerja, kebanyakan memang sama sekali tidak berhubungan dengan penelitian waktu S1 sih. Eh.. kabar ABC gimana?"
Gadis itu tak segera menjawab.
"Dia belum lulus."
"Aphhaa?! ABC yang pintar itu?!" Lelaki itu terkejut. ABC tak pernah turun dari peringkat satu. sesekali menjadi juara umum angkatan. Sosoknya menjulang berkacamata, olahraga juga gape. Sosok yang nyaris sempurna, salah satu dari dua orang yang tidak pernah dikalahkan oleh lelaki itu secara akademis selama 3 tahun SMA.
"Terus? terus? Masih kuliah?" lelaki itu penasaran.
"Cuti. Selama di sana, dia jarang menampakkan wujudnya. Sekali muncul lewat telepon, biasanya minta bantuan finansial."
"Wah. Udah gak sehat nih. Tapi tapi tapi... masak seeh ABC??! Bukankah dia orang yang terlihat begitu kuat motivasinya?!"
"Sepertinya memang ada masalah. Cuman gak ada yang tahu masalahnya."
Ah yah. ABC sepertinya memang bukan tipe orang yang terbuka. Lelaki berbaju marun itu berpikir bahwa untuk kuliah di luar negeri tidak hanya perlu kepintaran secara akademis. Ketahanan mental terhadap badai yang menghadang juga penting. Terutama bagi mereka yang sering berada di puncak dan jarang merasakan yang namanya gagal. Sekali jatuh akan terasa begitu terbanting. Sakit. Dan perlu banyak energi untuk bangkit.
"Ah yah, emangnya kenapa dulu kamu tidak jadi mampir ke negaraku?" gadis berkerudung hijau itu mengalihkan pembicaraan.
"Owh.. Yang waktu itu kah. Yah, ada seorang anggota rombongan yang agak teledor sehingga keberangkatan kami tidak bisa terlaksana. Hmmph. Begitulah, rencana bepergian bersama sepertinya harus direncanakan dengan matang. Padahal sudah terlanjur dipesankan tiket oleh NGIR untuk ke Indonesia. hiks..."
"Terus duitnya NGIR diganti?"
"Iya lahhh. Nitip ke PUT, yang rumahnya paling dekat dari kotaku. Waktu itu dia lagi mudik ke Indonesia."
"PUT mau nikah loh Juni nanti."
"Heeeeeeeeeeeeeee. Yang benerrrrrrrrrr?? Ama siapa? ama siapa? Jeruk?"
"Adek kelas SMP nya."
"Wewww... Subhanallah. Sayang banget di Jepang lagi gak ada libur bulan segitu. "*sigh*
"Kamu gak berubah yah..."
"Kamu juga kok. Masih tetap kayak dulu."
Mereka tertawa.
***********************************************************
Dalam memori lelaki itu, masa SMA lebih banyak diselimuti kelam. Dia jadi paham kenapa fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Lelaki berbaju marun itu pernah jadi korban. Tapi tak banyak yang tahu. Luka itu menggerus kepercayaan diri, sehingga dia begitu tertekan karena tidak bisa mengekspresikan diri. Yang lebih parah, luka itu masih terasa sampai sekarang, karena kesalahpahaman yang terjadi belum bisa diluruskan dan dia tak tahu siapa yang patut dipersalahkan. Seiring waktu, orang-orang yang pernah membentak dan menyerang secara mental bisa lupa, tapi tidak dengan si korban. Betul kalau luka di hati itu lama kering dan tetap membekas.
To be blamed for something you didn't do
is surely painful and stressful!!
Namun tak semuanya berwarna muram. Meski nyaris terlambat, lelaki itu bertekad untuk berubah. Tak ada yang tahu bahwa titik tolaknya adalah sebuah pertanyaan yang diajukan oleh gadis berkerudung hijau yang ditemuinya 7 tahun lalu. Pertanyaan yang jawabannya dijadikan sebuah kisah persahabatan dan mimpi anak-anak SMA dengan akhir yang begitu manis. Jawaban lelaki itu tak ada dalam cerita. Jawabannya terlalu hambar. Dia masih menata serpihan batinnya yang retak. Jawabannya terlalu sederhana, tapi mungkin dialah yang paling cepat mewujudkannya jadi kenyataan. Kisah itu masih tertoreh dalam sebuah buku dengan hardcover. Perwujudan dari salah satu tugas pelajaran bahasa Indonesia yang dibukukan per kelas. Lelaki itu merasa beruntung karena berada dalam kelas yang hangat di tahun keduanya. Sekarang pun dia masih berterima kasih atas kekocakan, kesolidan dan kekompakan 33 siswa di elite society, komunitas yang mereka beri nama begitu.
********************************************
Reuni, kadang membuka luka lama, tapi lebih banyak ceria yang ditebarnya. Lelaki berbaju marun menghaturkan terima kasih kepada Tuhan, yang sudah mengatur pertemuannyadengan orang-orang hebat. Lelaki berbaju marun itu begitu bahagia saat mendengar NKA akan lulus PhD dua tahun lagi, DEI yang jadi tokoh dan melanglang buana ke berbagai negara, juga cerita gadis berkerudung hijau tentang keberangkatnnya ke Jerman 4 bulan lagi. Yah. Hari itu hujan memang dingin mengguyur bumi, tapi tak mampu mengusir hangat yang mekar di hati.
*bots*
ReAD MoRE・・・